• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Sumber Gambar: id.aliexpress.com
Satu satunya lelaki yang kukenal enggak percaya bahwa wanita kena PMS itu berbahaya ya cuma suamiku sendiri. Itu kejadian sebelum kami menikah. 

Ya, hampir setiap aku period, atau menjelang period, dia selalu sewot dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan "Dikendalikan dong emosinya", "Ah itu sih akal-akalan kamu aja biar bisa marah", "Jangan mengkambinghitamkan mens terus sih", "PMS itu cuma mitos" dan sebagainya. 

Ih. Bener-bener minta dicium itu manusia. 

Padahal, menstruasi kan mules, pegel, dan enggak nyaman banget. Bayangin deh, orang sakit gigi aja bisa ngamuk kalau ada yang teriak-teriak di deketnya. Kenapa emangnya? Ya karena enggak nyaman. Orang merasa enggak nyaman itu emosinya suka labil. Emang bisa dikendalikan sih, tapi bukan mitos banget kalau yang dirasain perempuan pas period itu emang bikin sensi. 

Gitu-gitu aku malah keceplosan berujar "Coba kalau Mas yang menstruasi. Apa bisa mengendalikan diri?" Geblek. Sembarangan ngomong banget nih. 

Maka, kata-kata jadi doa itu kejadian beneran. 

Awalnya aku enggak menyadari bahwa ini kesalahanku juga. Hanya ngebatin, kenapa sih tiap aku period, pacarku malah lebih sensi kayak remaja menstruasi? Kan aku yang haid, kenapa dia yang jadi uring-uringan enggak ada sebab. 

Sungguh. 

Awalnya aku beteeee banget. Lah dia kan harusnya jadi obat kok malah kesetrum PMS. Jadi PMS jamaah dong. Kan koplak. 

Sampai kesadaran itu akhirnya muncul. 

Aku memang harus mulai terbiasa menghadapi diriku yang PMS sekaligus bonus suami yang enggak mungkin bisa memahami situasi kayak gini, sekalipun dia (tanpa disadarinya) udah menjelma jadi aku PMS yang suka dikritiknya dulu-dulu. 

Jadi, ati-ati ya ama doa. 

Aku aja menyesal, kenapa sih dulu enggak sekalian bilang "Kamu aja deh yang PMS, akunya enggak". Gitu kan enak. Aku pasti akan jauh lebih pintar memahami orang PMS jadi-jadian. 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Aku sengaja tidak pergi kemanapun selepas pulang dari kantor. Hanya memarkir Casimira yang diam dan benar-benar diam di garasi rumah. 

Saat itu, aku merasa tidak perlu memahami apakah dia sedang marah, terluka, atau bersedih hebat akibat keputusanku untuk menjualnya. Toh, dia hanya mesin tua yang suka ngambek. Mesin yang sangat rumit dipahami melebihi rumitnya memahami laki-laki kena PMS. Harusnya dengan kenyataan itu aku bisa sangat mudah melepas Casimira. Tapi ternyata tidak. Aku nyatanya terlalu sedih untuk bisa memahami bagaimana keadaan perasaannya yang sensitif. Maka, pukul 10 malam, aku memaksakan diri bangun dari tempat tidur, berjalan ke garasi rumah, memeluknya lamaaaaaa sekali. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Meski hanya mesin tua, tapi sungguh, Casimira itu spesial. Sangat spesial bagi hidupku. Penyelamatku. Teman kemana pun aku pergi. Dengan hubungan yang ganjil seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa gampang melepaskannya pergi? Mana mungkin? Tapi semuanya sudah tidak bisa ditawar. Ini demi keluarga. Demi keluargaku, Casimira harus berkorban. 

"Kenapa sih manusia suka semena-mena sama mesin tua yang tinggal nunggu pensiunnya ini?" Tiba-tiba ocehan Casimira kembali terngiang di telinga. 

Ah, Casimira yang malang. Sungguh malang. Sudah berbulan-bulan kuperlakukan tidak layak, kini harus pula menanggung beban manusia. Untung waktu itu aku belum gendutan. (Eh. apaan sih ini. )

Maka pagi harinya, Casimira melaju ke stasiun bersama suamiku. Dia dipack, dan dipulangkan ke Cilacap, ke kota kelahiran kami. Dalam perjalanannya itu, aku terus berdoa, mendoakan bahwa siapapun pemiliknya nanti, dia akan jauh lebih dicintai. Casimiraku, ya Allah Casimira. 

Sampai suatu hari, aku pulang ke Cilacap. Kagetlah aku, ternyataaaaaa Casimira ada di rumah dan melempar senyum jail saat melihatku datang. Aku mengelus kepalanya sebentar dan tidak banyak berinteraksi. 

Dari cerita Mama, Casimira sengaja dipertahankan dan motor adikkulah yang terpaksa harus dijual. Pantesan dia semringah. 

Tapi jangan senang dulu, Cas, batinku. Setelah aku lepaskan, nasibmu masih abu-abu selama berada di sini. 

Dan, benarlah. Casimira ternyata berjodoh kembali dengan Jogja. Ia dibawa adikku untuk mengganti motornya yang dijual. Pasti Casimira sangat senang. Dia kan cinta mati sama jalanan Jogja. Dia sendiri yang suka ngoceh kalau lagi aku naikin. Tapi, siapa pula yang tahu nasib suatu barang. Lepas dari manusia satu, akan beda pula nasibnya. 

Belum sebulan di Jogja, dia sudah dititipkan di tempat gadai motor. Berbulan-bulan pula lamanya. Tak heran, jika aku jadi makin sering memimpikannya. Tapi mau bagaimana lagi, waktu itu aku serius enggak bisa membantunya kabur. 

Lalu, setelah ditebus pulang, adikku kembali mengantarkan Casimira ke pegadaian. Kampreeeet. Kali ini, barangkali Casimira sudah pasrah. Seperti pasrahku, bahwa tanpa kehadiran Casimira gerakku jadi sangat terbatas. Aku seperti dipenjara tanpa punya kebebasan kemana-mana. 

Sampai suatu hari, aku mendengar bahwa Casimira tidak akan dijemput pulang. Oh, malangnya kamu Nak. Maafkan aku yang tidak sempat mengucapkan kata pisah dan menolongmu pergi dari tempat semacam itu. Semogaaaaa kebahagiaan menyertaimu. Semoga tuan barumu lebih bersihan, dan enggak telat-telatan nyervisin kamu, ya. Amin. 
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Hati yang telanjur beku ini sedang kucoba hangatkan kembali.
Tapi sial. Bukankah hati yang sudah kelewat lama dibekukan mungkin tidak baik digunakan? Maka, aku tak jadi makan hati. Tak Bisa. Hati yang rusak tak bisa jadi korban "makan hati". Aku pun tersenyum. Merasa menang. Sesuatu yang tak layak digunakan, biarlah pergi ditampung tempat sampah (dapur). 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku membuka kembali kain putih yang menutupi wajahmu. Pucat. Seperti perasaanku yang kini tak punya warna lagi. 

Bibirku terasa bergerak sedikit. Membentuk senyum paling sederhana yang masih bisa kulakukan. Membuat orang-orang di sekitarmu menatapku heran. Mungkin karena tak sewajarnya aku begini. Bahwa yang wajar bagi mereka ialah kesedihan, isak tangis untukmu,  mata bengkak, hidung merah dengan wajah yang lebih pucat dari wajahmu.Tapi aku tak mau. Bukan karena kepergianmu membuatku bahagia, tapi aku tahu, satu-satunya cara membuatmu bahagia adalah melihatku seperti ini. 

Maka aku tersenyum lagi. Dan aku memang selalu tersenyum jika melihat wajahmu yang pulas tertidur. 
"Kenapa?" tanyamu, suatu hari. 
Aku sengaja tidak menjawab. Dan kamu akan memonyongkan bibir, menarikku ke dalam pelukan lalu kita lepaskan segala beban. Selalu seperti itu. Kamu tidak pernah benar-benar mau tahu alasanku. Dan ini tetap jadi rahasia bahwa sebenarnya hanya ketika kamu tidur, kamu berhenti bicara, berhenti memberi ngilu dengan kata-katamu, berhenti membuat dadaku penuh dengan segala amarahmu, berhenti membuat pikiranku luap dengan teori-teorimu. Hanya dengan begitu, ada cinta yang menggebu-gebu kepadamu. 

"Apakah kita masih saling mencintai?" tanyamu beberapa hari lalu. Aku mengangguk pelan, tak yakin. Pun kamu yang memandang jauh ke arah matahari turun. Sama-sama tak yakin. 

Sebenarnya aku sudah lama menyadari bahwa kita mengalami kejenuhan akut. Sebuah hubungan yang berada di titik jenuh, akan tampak datar ketika kita duduk berduaan. Sama sekali tidak menarik. Membosankan. Ada saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi, kamu tidak salah. Kita sudah berusaha bahagia. Kamu begitu rupa mengusahakan kebahagiaan itu kembali lagi dengan mengajakku ke pantai, liburan ke Bali, makan di tempat-tempat romantis, atau sekadar menginap di kamar murah pinggir kota. Kamu memang laki-laki yang keras kepala demi kita. Meski sebenarnya, aku ingin berkata dengan lirih ; berhentilah. Kita sudah terlalu lelah. Pergilah. Dan sekarang, kamu benar-benar pergi. 

Sesuatu yang mengerikan terjadi. Aku tidak pernah membayangkan kamu benar-benar pergi. Menjauh dariku. Sangat jauh tanpa akan pernah kulihat lagi wajahmu yang lelap tertidur. 

Bukan main sakitnya. Membuat urat-uratku susah bergerak. Membuat dadaku setelahnya hampa tanpa isi. 

Hari-hariku ke depan pastilah akan dipenuhi masa lalu. Tentang kamu, hanya tentang kamu. Bahkan aku sama sekali tidak tahu, di masa depan itu, masih adakah yang perlu aku tuju? Tanpamu. Ya, karena tanpamu. 

Aku menutup kembali kain putih yang menjadi tanda perpisahan kita. Kain yang menutup wajahmu dari cinta yang menggebu-gebu begini. 

Kamu akhirnya pergi. Meski sejatinya, semua yang kita miliki memang akan pergi. Bahkan jika kelak diriku pergi dari hidupku sekalipun, aku tidak mungkin sanggup mencegahnya. Maka, aku tak perlu menangis kehilanganmu. Sebab bertahun-tahun lamanya, toh aku pun telah kehilangan diriku sendiri. Kehilangan kebebasanku. Kehilangan mimpi-mimpiku. 

Tapi ketika akhirnya kamu pergi, kebebasaan itu justru menguap bagai mimpi. Kamu  pergi dengan membawa segala-galanya dariku. Tanpa sisa. Hingga aku limbung berdiri. 


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kalender di ruang kerjamu masih menunjukan bulan yang sama pada tahun yang sama pula. Empat purnama lamanya.  Harusnya, 11 hari lalu kalender ini kuganti dengan yang baru. Tahun baru. Cerita baru? 

Ah, mungkinkah?


Seperti kalender yang berhenti dibuka, cerita kita pun rasanya sama sekali belum selesai. Hanya menggantung tak rampung. Tidak jelas. Tidak tahu bagaimana mengakhirinya. 


Aku sengaja tak menyentuh apapun lagi di ruangan ini. Juga asbak batu yang masih menampung putung-putung rokok terakhirmu, foto kita dalam figura, buku-buku lama, sofa tempat kita berciuman dan meja kaca yang kini dihuni debu-debu dari fentilasi. Aku hanya sesekali membuka pintunya, lalu kembali dengan dada yang penuh. 


Betapa senyap ruangan ini. 


Biasanya, kamu selalu memutar musik lawasan dengan keras tanpa peduli apakah aku suka atau tidak, berteriak minta ini itu tanpa peduli aku keberatan atau tidak, menghabiskan berbatang-batang rokok sampai batuk, tanpa peduli bahwa perbuatanmu mengancamku. 


Ah, rasanya ada 1002 alasanku untuk protes. Tapi tak bisa. Kamu bukan tipikal lelaki yang mau dikritik. Maka lakukanlah. Terserah. Seperti aku menyerah berharap jika kita bisa berbagi cerita dengan leluasa. Sesuatu yang tak mungkin.  Sebab yang ada, kita selalu berakhir dengan memberi sakit satu sama lain. 


Seperti saat itu, ketika aku terlambat datang ke restoran yang kamu pesan untuk merayakan hari jadi kita. Lima menit saja, berbuntut perdebatan sepanjang malam. Sesuatu yang sangat sepele, tapi membuat perasaanku ngilu bukan main. 


"Kita hanya butuh jarak" katamu yang pergi sehabis membanting gelas kopi di hari yang masih begitu pagi. 


Mungkinkah, kamu lelah dengan aku yang selalu salah? Sebab, tanpa mau kuakui, sebenarnya hatiku pun tak mampu lagi bertahan kerna merasa tak pernah benar di matamu. 


*Cerita ini ditulis dalam sekali duduk, setelah berkali-kali mendengarkan cerpennya Avianti Armand dibacakan oleh Nadia: Tentang Tak Ada, bagian Pergi dan Pulang"
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Penting enggak sih punya domain sendiri? Jawabannya tentu subjektif banget ya. Ada yang kekeuh memakai blogspot dan wordpress, tapi ada pula yang mempersuasi pakai domain berbayar biar kesannya jadi profesional. Ah profesional, padahal yang pakai domain gratisan juga banyak yang lebih keren kok dibanding yang sok profesional. 

Buat saya pribadi, mau pakai blogspot atau domain sendiri, itu hanya soal pilihan. 

Dulu saya pengin banget punya web sendiri. Tapi sayangnya istilah domain dan hosting aja enggak ngerti. Lalu setelah saya tanya-tanya, ujungnya malah bimbang sendiri buat punya domain dan hosting pribadi. Bimbang kalau selanjutnya enggak bisa bayar, bagaimana? Bimbang karena blog ini sudah lumayan banyak isinya kok malah membangun rumah baru. Bimbang karena denger-denger web itu pakai quota ya, jadi bakalan berat dibuka kalau isinya kebanyakan. Bimbang, karena khawatir kalau kelak enggak dibayar semua isinya akan hilang. Dan banyak lagi kekhawatiran lainnya. Sebenarnya saya enggak paham banget sih soal web. 

Sampai suatu hari, adik saya bilang kalau alamat blog saya bisa diubah dengan menghilangkan kata "blogspot"nya. Itu saya masih ragu. Masa sih? Jangan-jangan pakai cara enggak bener tuh. Ilegal.

Tapi saya jadi penasaran. Maka, saya googling dan ternyata prosesnya sama aja sih. Beli domain berbayar, lalu dikawinkan dengan blog yang sudah ada. Legal bok! Tahu begitu, saya ngiler bangeeeeeet jadinya. Secara, alamat dengan blog gratisan kan panjang banget. Suka ngabisin karakter kalau ngetwit. Ya, sesimple itu sih pengin mengubah blogspot, ke domain pribadi. Sebelum dibeli orang tentunya. 

Pas mau beli domain, saya tanya sama temen, "Kalau kelak aku mati, terus anak cucuku enggak gemati sama blogku sampai enggak dibayar, apakah semua tulisanku bakalan hilang?" Ia jawab enggak. Ketika saya enggak bayar, otomatis blog ini akan berubah ke alamat semula. Jadi saya enggak perlu khawatir kalau tiba-tiba saja isi blog ini akan lenyap dari dunia maya. 

Ya, dengan alasan begitu, saya mantap mengubah alamat blog ini menjadi lebih pendek. Cukup tikahkumala.com. Pendek kan? 

Caranya simple kok, kalau kamu tertarik tinggal beli aja domain yang kamu mau. Setelah itu, berkomunikasilah via kontak yang ada di web penjualnya. Minta dituntun. Abis itu, jadi deh. 

Tapi saya enggak tahu, apa risiko dan kelemahan dari blog yang dikawinkan begini. Mungkin kamu tahu?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ▼  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ▼  August (6)
      • Laki-laki Kena PMS? Yaelah
      • Casimira, Where are You? Aku Kangen Beraaaattt
      • (Gagal) Makan Hati
      • Ketika Kamu Pergi, Mungkin Matahari Tidak Akan Kem...
      • Saat lelah dan memilih pergi
      • Mengubah blogspot jadi domain berbayar
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates