Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2015

Laki-laki Kena PMS? Yaelah

Sumber Gambar:  id.aliexpress.com Satu satunya lelaki yang kukenal enggak percaya bahwa wanita kena PMS itu berbahaya ya cuma suamiku sendiri. Itu kejadian sebelum kami menikah.  Ya, hampir setiap aku period, atau menjelang period, dia selalu sewot dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan "Dikendalikan dong emosinya", "Ah itu sih akal-akalan kamu aja biar bisa marah", "Jangan mengkambinghitamkan mens terus sih", "PMS itu cuma mitos" dan sebagainya.  Ih. Bener-bener minta dicium itu manusia.  Padahal, menstruasi kan mules, pegel, dan enggak nyaman banget. Bayangin deh, orang sakit gigi aja bisa ngamuk kalau ada yang teriak-teriak di deketnya. Kenapa emangnya? Ya karena enggak nyaman. Orang merasa enggak nyaman itu emosinya suka labil. Emang bisa dikendalikan sih, tapi bukan mitos banget kalau yang dirasain perempuan pas period itu emang bikin sensi.  Gitu-gitu aku malah keceplosan berujar "Coba kalau Mas yang menstruasi. Apa bi

Casimira, Where are You? Aku Kangen Beraaaattt

Aku sengaja tidak pergi kemanapun selepas pulang dari kantor. Hanya memarkir Casimira yang diam dan benar-benar diam di garasi rumah.  Saat itu, aku merasa tidak perlu memahami apakah dia sedang marah, terluka, atau bersedih hebat akibat keputusanku untuk menjualnya. Toh, dia hanya mesin tua yang suka ngambek. Mesin yang sangat rumit dipahami melebihi rumitnya memahami laki-laki kena PMS. Harusnya dengan kenyataan itu aku bisa sangat mudah melepas Casimira. Tapi ternyata tidak. Aku nyatanya terlalu sedih untuk bisa memahami bagaimana keadaan perasaannya yang sensitif. Maka, p ukul 10 malam, aku memaksakan diri bangun dari tempat tidur, berjalan ke garasi rumah, memeluknya lamaaaaaa sekali. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Meski hanya mesin tua, tapi sungguh, Casimira itu spesial. Sangat spesial bagi hidupku. Penyelamatku. Teman kemana pun aku pergi. Dengan hubungan yang ganjil seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa gampang melepaskannya pergi? Mana mungkin? Tapi semuanya sud

(Gagal) Makan Hati

Hati yang telanjur beku ini sedang kucoba hangatkan kembali. Tapi sial. Bukankah hati yang sudah kelewat lama dibekukan mungkin tidak baik digunakan? Maka, aku tak jadi makan hati. Tak Bisa. Hati yang rusak tak bisa jadi korban "makan hati". Aku pun tersenyum. Merasa menang. Sesuatu yang tak layak digunakan, biarlah pergi ditampung tempat sampah (dapur). 

Ketika Kamu Pergi, Mungkin Matahari Tidak Akan Kembali Lagi.

Aku membuka kembali kain putih yang menutupi wajahmu. Pucat. Seperti perasaanku yang kini tak punya warna lagi.  Bibirku terasa bergerak sedikit. Membentuk senyum paling sederhana yang masih bisa kulakukan. Membuat orang-orang di sekitarmu menatapku heran. Mungkin karena tak sewajarnya aku begini. Bahwa yang wajar bagi mereka ialah kesedihan, isak tangis untukmu,  mata bengkak, hidung merah dengan wajah yang lebih pucat dari wajahmu.Tapi aku tak mau. Bukan karena kepergianmu membuatku bahagia, tapi aku tahu, satu-satunya cara membuatmu bahagia adalah melihatku seperti ini.  Maka aku tersenyum lagi. Dan aku memang selalu tersenyum jika melihat wajahmu yang pulas tertidur.  "Kenapa?" tanyamu, suatu hari.  Aku sengaja tidak menjawab. Dan kamu akan memonyongkan bibir, menarikku ke dalam pelukan lalu kita lepaskan segala beban. Selalu seperti itu. Kamu tidak pernah benar-benar mau tahu alasanku. Dan ini tetap jadi rahasia bahwa sebenarnya hanya ketika kamu tidur,

Saat lelah dan memilih pergi

Kalender di ruang kerjamu masih menunjukan bulan yang sama pada tahun yang sama pula. Empat purnama lamanya.  Harusnya, 11 hari lalu kalender ini kuganti dengan yang baru. Tahun baru. Cerita baru?  Ah, mungkinkah? Seperti kalender yang berhenti dibuka, cerita kita pun rasanya sama sekali belum selesai. Hanya menggantung tak rampung. Tidak jelas. Tidak tahu bagaimana mengakhirinya.  Aku sengaja tak menyentuh apapun lagi di ruangan ini. Juga asbak batu yang masih menampung putung-putung rokok terakhirmu, foto kita dalam figura, buku-buku lama, sofa tempat kita berciuman dan meja kaca yang kini dihuni debu-debu dari fentilasi. Aku hanya sesekali membuka pintunya, lalu kembali dengan dada yang penuh.  Betapa senyap ruangan ini.  Biasanya, kamu selalu memutar musik lawasan dengan keras tanpa peduli apakah aku suka atau tidak, berteriak minta ini itu tanpa peduli aku keberatan atau tidak, menghabiskan berbatang-batang rokok sampai batuk, tanpa peduli bahwa perbuatanmu mengancamku. 

Mengubah blogspot jadi domain berbayar

Penting enggak sih punya domain sendiri? Jawabannya tentu subjektif banget ya. Ada yang kekeuh memakai blogspot dan wordpress, tapi ada pula yang mempersuasi pakai domain berbayar biar kesannya jadi profesional. Ah profesional, padahal yang pakai domain gratisan juga banyak yang lebih keren kok dibanding yang sok profesional.  Buat saya pribadi, mau pakai blogspot atau domain sendiri, itu hanya soal pilihan.  Dulu saya pengin banget punya web sendiri. Tapi sayangnya istilah domain dan hosting aja enggak ngerti. Lalu setelah saya tanya-tanya, ujungnya malah bimbang sendiri buat punya domain dan hosting pribadi. Bimbang kalau selanjutnya enggak bisa bayar, bagaimana? Bimbang karena blog ini sudah lumayan banyak isinya kok malah membangun rumah baru. Bimbang karena denger-denger web itu pakai quota ya, jadi bakalan berat dibuka kalau isinya kebanyakan. Bimbang, karena khawatir kalau kelak enggak dibayar semua isinya akan hilang. Dan banyak lagi kekhawatiran lainnya. Sebenarnya sa