Casimira, Where are You? Aku Kangen Beraaaattt

by - August 28, 2015

Aku sengaja tidak pergi kemanapun selepas pulang dari kantor. Hanya memarkir Casimira yang diam dan benar-benar diam di garasi rumah. 

Saat itu, aku merasa tidak perlu memahami apakah dia sedang marah, terluka, atau bersedih hebat akibat keputusanku untuk menjualnya. Toh, dia hanya mesin tua yang suka ngambek. Mesin yang sangat rumit dipahami melebihi rumitnya memahami laki-laki kena PMS. Harusnya dengan kenyataan itu aku bisa sangat mudah melepas Casimira. Tapi ternyata tidak. Aku nyatanya terlalu sedih untuk bisa memahami bagaimana keadaan perasaannya yang sensitif. Maka, pukul 10 malam, aku memaksakan diri bangun dari tempat tidur, berjalan ke garasi rumah, memeluknya lamaaaaaa sekali. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Meski hanya mesin tua, tapi sungguh, Casimira itu spesial. Sangat spesial bagi hidupku. Penyelamatku. Teman kemana pun aku pergi. Dengan hubungan yang ganjil seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa gampang melepaskannya pergi? Mana mungkin? Tapi semuanya sudah tidak bisa ditawar. Ini demi keluarga. Demi keluargaku, Casimira harus berkorban. 

"Kenapa sih manusia suka semena-mena sama mesin tua yang tinggal nunggu pensiunnya ini?" Tiba-tiba ocehan Casimira kembali terngiang di telinga. 

Ah, Casimira yang malang. Sungguh malang. Sudah berbulan-bulan kuperlakukan tidak layak, kini harus pula menanggung beban manusia. Untung waktu itu aku belum gendutan. (Eh. apaan sih ini. )

Maka pagi harinya, Casimira melaju ke stasiun bersama suamiku. Dia dipack, dan dipulangkan ke Cilacap, ke kota kelahiran kami. Dalam perjalanannya itu, aku terus berdoa, mendoakan bahwa siapapun pemiliknya nanti, dia akan jauh lebih dicintai. Casimiraku, ya Allah Casimira. 

Sampai suatu hari, aku pulang ke Cilacap. Kagetlah aku, ternyataaaaaa Casimira ada di rumah dan melempar senyum jail saat melihatku datang. Aku mengelus kepalanya sebentar dan tidak banyak berinteraksi. 

Dari cerita Mama, Casimira sengaja dipertahankan dan motor adikkulah yang terpaksa harus dijual. Pantesan dia semringah. 

Tapi jangan senang dulu, Cas, batinku. Setelah aku lepaskan, nasibmu masih abu-abu selama berada di sini. 

Dan, benarlah. Casimira ternyata berjodoh kembali dengan Jogja. Ia dibawa adikku untuk mengganti motornya yang dijual. Pasti Casimira sangat senang. Dia kan cinta mati sama jalanan Jogja. Dia sendiri yang suka ngoceh kalau lagi aku naikin. Tapi, siapa pula yang tahu nasib suatu barang. Lepas dari manusia satu, akan beda pula nasibnya. 

Belum sebulan di Jogja, dia sudah dititipkan di tempat gadai motor. Berbulan-bulan pula lamanya. Tak heran, jika aku jadi makin sering memimpikannya. Tapi mau bagaimana lagi, waktu itu aku serius enggak bisa membantunya kabur. 

Lalu, setelah ditebus pulang, adikku kembali mengantarkan Casimira ke pegadaian. Kampreeeet. Kali ini, barangkali Casimira sudah pasrah. Seperti pasrahku, bahwa tanpa kehadiran Casimira gerakku jadi sangat terbatas. Aku seperti dipenjara tanpa punya kebebasan kemana-mana. 

Sampai suatu hari, aku mendengar bahwa Casimira tidak akan dijemput pulang. Oh, malangnya kamu Nak. Maafkan aku yang tidak sempat mengucapkan kata pisah dan menolongmu pergi dari tempat semacam itu. Semogaaaaa kebahagiaan menyertaimu. Semoga tuan barumu lebih bersihan, dan enggak telat-telatan nyervisin kamu, ya. Amin. 

Tulisan Terkait

1 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....