Ketika Kamu Pergi, Mungkin Matahari Tidak Akan Kembali Lagi.

by - August 19, 2015

Aku membuka kembali kain putih yang menutupi wajahmu. Pucat. Seperti perasaanku yang kini tak punya warna lagi. 

Bibirku terasa bergerak sedikit. Membentuk senyum paling sederhana yang masih bisa kulakukan. Membuat orang-orang di sekitarmu menatapku heran. Mungkin karena tak sewajarnya aku begini. Bahwa yang wajar bagi mereka ialah kesedihan, isak tangis untukmu,  mata bengkak, hidung merah dengan wajah yang lebih pucat dari wajahmu.Tapi aku tak mau. Bukan karena kepergianmu membuatku bahagia, tapi aku tahu, satu-satunya cara membuatmu bahagia adalah melihatku seperti ini. 

Maka aku tersenyum lagi. Dan aku memang selalu tersenyum jika melihat wajahmu yang pulas tertidur. 
"Kenapa?" tanyamu, suatu hari. 
Aku sengaja tidak menjawab. Dan kamu akan memonyongkan bibir, menarikku ke dalam pelukan lalu kita lepaskan segala beban. Selalu seperti itu. Kamu tidak pernah benar-benar mau tahu alasanku. Dan ini tetap jadi rahasia bahwa sebenarnya hanya ketika kamu tidur, kamu berhenti bicara, berhenti memberi ngilu dengan kata-katamu, berhenti membuat dadaku penuh dengan segala amarahmu, berhenti membuat pikiranku luap dengan teori-teorimu. Hanya dengan begitu, ada cinta yang menggebu-gebu kepadamu. 

"Apakah kita masih saling mencintai?" tanyamu beberapa hari lalu. Aku mengangguk pelan, tak yakin. Pun kamu yang memandang jauh ke arah matahari turun. Sama-sama tak yakin. 

Sebenarnya aku sudah lama menyadari bahwa kita mengalami kejenuhan akut. Sebuah hubungan yang berada di titik jenuh, akan tampak datar ketika kita duduk berduaan. Sama sekali tidak menarik. Membosankan. Ada saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi, kamu tidak salah. Kita sudah berusaha bahagia. Kamu begitu rupa mengusahakan kebahagiaan itu kembali lagi dengan mengajakku ke pantai, liburan ke Bali, makan di tempat-tempat romantis, atau sekadar menginap di kamar murah pinggir kota. Kamu memang laki-laki yang keras kepala demi kita. Meski sebenarnya, aku ingin berkata dengan lirih ; berhentilah. Kita sudah terlalu lelah. Pergilah. Dan sekarang, kamu benar-benar pergi. 

Sesuatu yang mengerikan terjadi. Aku tidak pernah membayangkan kamu benar-benar pergi. Menjauh dariku. Sangat jauh tanpa akan pernah kulihat lagi wajahmu yang lelap tertidur. 

Bukan main sakitnya. Membuat urat-uratku susah bergerak. Membuat dadaku setelahnya hampa tanpa isi. 

Hari-hariku ke depan pastilah akan dipenuhi masa lalu. Tentang kamu, hanya tentang kamu. Bahkan aku sama sekali tidak tahu, di masa depan itu, masih adakah yang perlu aku tuju? Tanpamu. Ya, karena tanpamu. 

Aku menutup kembali kain putih yang menjadi tanda perpisahan kita. Kain yang menutup wajahmu dari cinta yang menggebu-gebu begini. 

Kamu akhirnya pergi. Meski sejatinya, semua yang kita miliki memang akan pergi. Bahkan jika kelak diriku pergi dari hidupku sekalipun, aku tidak mungkin sanggup mencegahnya. Maka, aku tak perlu menangis kehilanganmu. Sebab bertahun-tahun lamanya, toh aku pun telah kehilangan diriku sendiri. Kehilangan kebebasanku. Kehilangan mimpi-mimpiku. 

Tapi ketika akhirnya kamu pergi, kebebasaan itu justru menguap bagai mimpi. Kamu  pergi dengan membawa segala-galanya dariku. Tanpa sisa. Hingga aku limbung berdiri. 


Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....