Skip to main content

Laki-laki Kena PMS? Yaelah

Sumber Gambar: id.aliexpress.com
Satu satunya lelaki yang kukenal enggak percaya bahwa wanita kena PMS itu berbahaya ya cuma suamiku sendiri. Itu kejadian sebelum kami menikah. 

Ya, hampir setiap aku period, atau menjelang period, dia selalu sewot dengan kalimat-kalimat yang menyakitkan "Dikendalikan dong emosinya", "Ah itu sih akal-akalan kamu aja biar bisa marah", "Jangan mengkambinghitamkan mens terus sih", "PMS itu cuma mitos" dan sebagainya. 

Ih. Bener-bener minta dicium itu manusia. 

Padahal, menstruasi kan mules, pegel, dan enggak nyaman banget. Bayangin deh, orang sakit gigi aja bisa ngamuk kalau ada yang teriak-teriak di deketnya. Kenapa emangnya? Ya karena enggak nyaman. Orang merasa enggak nyaman itu emosinya suka labil. Emang bisa dikendalikan sih, tapi bukan mitos banget kalau yang dirasain perempuan pas period itu emang bikin sensi. 

Gitu-gitu aku malah keceplosan berujar "Coba kalau Mas yang menstruasi. Apa bisa mengendalikan diri?" Geblek. Sembarangan ngomong banget nih. 

Maka, kata-kata jadi doa itu kejadian beneran. 

Awalnya aku enggak menyadari bahwa ini kesalahanku juga. Hanya ngebatin, kenapa sih tiap aku period, pacarku malah lebih sensi kayak remaja menstruasi? Kan aku yang haid, kenapa dia yang jadi uring-uringan enggak ada sebab. 

Sungguh. 

Awalnya aku beteeee banget. Lah dia kan harusnya jadi obat kok malah kesetrum PMS. Jadi PMS jamaah dong. Kan koplak. 

Sampai kesadaran itu akhirnya muncul. 

Aku memang harus mulai terbiasa menghadapi diriku yang PMS sekaligus bonus suami yang enggak mungkin bisa memahami situasi kayak gini, sekalipun dia (tanpa disadarinya) udah menjelma jadi aku PMS yang suka dikritiknya dulu-dulu. 

Jadi, ati-ati ya ama doa. 

Aku aja menyesal, kenapa sih dulu enggak sekalian bilang "Kamu aja deh yang PMS, akunya enggak". Gitu kan enak. Aku pasti akan jauh lebih pintar memahami orang PMS jadi-jadian

Comments

  1. Suamiku juga awalnya menganggap PMS itu mitos, lama-lama paham juga kalo PMS itu bukan fiktif belaka :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyes kan. Kita mah enggak pengin manja atau dimengerti. Tapi yg enggak ngerti itu yg butuh diedukasi halah bahasanya hahaha

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk