Skip to main content

Kebahagiaan Itu Adalah Kamu

Ketika aku tidur, aku masih bisa mendengar suaramu yang halus memanggilku dengan mesra; kamu sedang memintaku untuk lekas bangun. 

18 Oktober 2015. Ini Minggu pagi yang dingin. Tak bisakah aku tidur lebih lama lagi, Mas? Lelah sekali rasanya perjalanan mudik kemarin. 

"Sungguh nih, Adik enggak mau diajak sarapan di luar?" Lagi-lagi suaramu terdengar menggoda. Tawaran yang sekian lama kunanti-nanti itu, bagaimana mungkin aku tolak. Maka aku pun bergegas bangun. Tidak mandi, hanya mencuci muka dan memoles wajah dengan make up. 

Ketika aku berganti pakaian, dari dalam rumah terdengar deru mobil dinyalakan. Pasti itu kamu pelakunya. "Sudah siap?" Tiba-tiba kamu muncul dari balik pintu. Aku mengangguk cepat. Tentu saja aku tidak mau moment yang baru akan diciptakan ini menjadi berantakan hanya karena kamu yang tidak suka menunggu. 

"Jangan terburu-buru. Dandan aja yang cantik. Mas akan menunggu." Katamu sambil tersenyum. Lemparan senyum yang dulu sekali sering membuat dadaku menghangat. Ah, mungkinkah akan ada pagi yang lain yang seindah hari ini Mas? Kamu baik sekali. Lalu kukatakan padamu, bahwa penampilanku sudah cukup. Lagian kan cuma sarapan di luar. Bahkan kamu saja hanya mengenakan kaus putih, dan celana batik. Jadi rasanya serasi apabila aku tidak berlebihan berdandan. 

"Biar Mas yang mengunci pintu. Adik langsung ke mobil aja" Perintahmu. Benarkah? Aku tidak salah dengar kan? Biasanya, aku yang selalu sibuk mengunci rumah, terburu-buru hingga selalu saja ada barang yang tertinggal, itu semua karena kamu yang tidak sabaran menunggu. 

Kita mau sarapan di mana nih?
"Sudah. Nanti juga tahu." 

OMG, ini surprise? Aku suka sekali dengan kejutan. Semoga saja kejutan yang sesuai ekspektasi. Jarang-jarang kan kamu menentukan tempat makan sendiri. Pakai dirahasiakan lagi. 

Dan sampailah kita di tempat yang kamu tuju; PANTAI. 
Ternyata kamu membawaku ke Pantai Depok. Sarapan seafood. 

Jauh banget Mas, demi untuk sarapan doang. 
"Sesekali kan enggak papa Dik"
Biasanya Mas males kalau urusan seribet ini.
"Sesekali kan boleh" Kamu kembali tersenyum. Manis sekali. Dan entah kenapa, dadaku berdebar seperti ketika kencan pertama. 

Sudah lama ya Mas, kita tidak seperti ini?
"Makan berdua, maksudnya? Di rumah kan sering"
Bukan, Mas. Kayak gini ini, kita duduk berdua tanpa memegang gadget. 
"Hahahaha" Hah? Emezing! Kamu tertawa tanpa sedikit pun kesan tersinggung. Lalu kita pun tertawa lepas bersama-sama. Selepas ombak yang pecah di pinggiran pantai. 

Sebenarnya aku sempat putus asa untuk bisa kembali menempatkanmu di posisi semula; sebagai pasangan, teman, sekaligus parter sehidup semati. Maaf kalau ini harus aku katakan. 
"Apa masalahnya? Mas pikir kita baik-baik saja" Kamu terpancing emosi.
Aku menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan-lahan. Terbayang sudah bahwa selanjutkan obrolan kita akan semakin panas. Mungkin kita akan bertengkar lagi. Kebiasaan yang berulang, setiap kali kita mendiskusikan sesuatu dan pikiran kita berbeda. Tak pernah sama.  
"Kenapa?"
Mungkin aku akan seperti Ibu, Mas, yang terkadang perlu bertindak tanpa Bapak ketahui. Yang perlu sembunyi-sembunyi supaya kemarahanmu tidak meledak. Barangkali Mas, dalam diriku ini telah tumbuh alarm yang setiap saat akan berbunyi untuk selalu berhati-hati bicara padamu. Bukankah, kamu pun ingin hubungan kita baik-baik saja?
"Bulshit!"
Mas, terkadang nakhoda tak boleh dibebani banyak hal demi ia bisa berpikir jernih. Supaya ia mampu menentukan arah yang tepat dan menjaga perahunya tidak oleng. Kan, kamu itu nakhoda rumah tangga kita, Mas. Jadi, tak perlulah semua-mua yang bisa kusimpan dan kuatasi harus dilepaskan menjadi kalimat yang membebanimu. 

Mendadak kamu diam. Mungkin kamu merasa menyesal telah mengajakku sarapan di luar. Aku juga menyesal Mas, tidak seharusnya kalimat-kalimat barusan dilepaskan. 
"Kamu tidak perlu seperti Ibu, Dik. Sebab aku tidak mungkin mengawini ibuku sendiri"

Tidak tahu kenapa, mataku terasa panas sekali mendengar ucapanmu yang sendu. Maka tumpahlah segala beban itu di hadapanmu. Maafin aku Mas. Dan kamu memelukku. Pelukan yang sama yang selalu kamu berikan ketika aku rapuh di masa lalu. 

"Sudah dong nangisnya. Malu. Kita kan ke sini untuk senang-senang"
Ah, sarapan pagi penuh dusta. 
"Itu kan judul cerpennya Puthut Ea. Sudah dong, mana nih senyumnya istriku?"
Aku tersenyum kecut. Hidungku pasti jadi tampak bengkak setelah menangis barusan. Habis ini kita ke mana, Mas?
"Nanti juga tahu"
Ada apa sih Mas? Rahasia-rahasiaan melulu.

Selepas sarapan, kamu melajukan mobil ke arah Parangtritis. Naik ke bukit-bukit, dan memasuki halaman sebuah losmen. 

Mas janjian ketemu orang?
"Enggak. Mas sudah reservasi buat kita nginep"
Hah?
"Kemarin katanya pengin merayakan anniversary kita?"
Aku tersenyum malu-malu. Ternyata kamu memenuhinya Mas. Terima kasih telah mengusahakan supaya aku bahagia.
"Sebenarnya Mas enggak suka sih namanya perayaan. Apalagi kemarin kita kan sudah mudik. Pergi juga namanya."

Pergi mudik itu kebahagiaan yang lain, Mas, yang berbeda dengan merayakan anniversary. 
"Ya, Dik, iya, kemudian aku tahu, bahwa perayaan memang mestinya bersanding dengan peristiwa yang menggembirakan. Maka aku pun semalaman bertanya-tanya; apakah pernikahan kita cukup pantas untuk dikatakan sebagai peristiwa yang menggembirakan? Apakah kita benar-benar bahagia untuk pantas merayakannya?"

Lalu? 
Aku serius menunggu ucapanmu selanjutnya.
"Dan Mas merasa bahagia, itulah sebabnya kita harus merayakannya, bukan?"
Aku memelukmu erat sekali. Kita sudah berada di dalam kamar. Sebelum check in, kamu sempat mengeluarkan ransel dari bagasi mobil yang berisi pakaian kita. 

Ah, kamu merencanakannya dengan baik Mas. 
"Untuk kamu Dik, untuk istriku tercinta"
Apakah kita siap menghadapi tanggal 19 di mana usia pernikahan kita telah mencapai tiga tahun, Mas?
"Selama kita bergandengan tangan, apa yang perlu kita takutkan?"
Ya, barangkali satu-satunya ketakutan yang kumiliki ialah kehilanganmu. 
"Jangan berpikir yang tidak-tidak"
Aku serius Mas.

Kamu kembali memelukku.

Dan senja pun menawarkan malam yang sangat indah. Mimpi-mimpi yang indah, di mana pagi harinya aku terbangun di pelukanmu. Sudah tanggal 19 0ktober 2015. 

Happy anniversary, Sayang. Apa harapanmu?
"Husttt, Mas masih ngantuk"
Sudah pagi tahu Mas. 
"Husttt"

Ah, bahagia itu terkadang emang sederhana. Hanya melihat wajahmu pulas tertidur aja bagiku cukup. Apalagi kamu sudah boleh renang. Tapi jangan renang di pantai ya. Bahaya. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk