• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Kesadaran perempuan atas posisinya dalam lingkup sosial serta pemenuhan terhadap hak asasinya, menuntut perubahan peran dan posisi perempuan dalam berbagai bidang. Hal ini kemudian dikenal sebagai emansipasi perempuan.

Emansipasi, dalam banyak hal memberikan ruang terbuka bagi perempuan untuk mangaktualisasikan dirinya secara profesional. Maka ketika perempuan terlibat dalam dunia kerja, hal ini bukan perkara yang baru. Tidak hanya perempuan yang belum menikah, tapi setelah mereka menyandang status istri atau ibu sekalipun bukan sebuah halangan bagi mereka untuk tetap eksis di dunia kerja. Sehingga tidak aneh jika sekarang banyak perempuan di Indonesia yang memiliki jabatan penting di berbagai instansi, baik negeri maupun swasta.

Peningkatan peran perempuan sebagai mitra kerja yang setara dengan laki-laki memikul tanggung jawab perempuan sebagai pribadi yang mandiri dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dengan bekerja, mereka bisa mengaktualisasikan hasil pendidikan yang telah diperolehnya. Pekerjaan yang mereka jalani merupakan identitas yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri. 

Sebenarnya, banyak sekali manfaat dari perempuan yang bersedia bekerja. Namun, ketika mereka sudah terikat dengan institusi pernikahan, tentu konsekuensi yang harus ditanggung pun akan berbeda. Sebab, perempuan tak bisa dilepaskan dari stigma sosial masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai “ibu rumah tangga”. Apapun pekerjaannya di luar rumah, begitu pulang, ia tetaplah seorang ibu rumah tangga dengan seabrek pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. 

Beban ini akan semakin berat jika pasangan suami-istri telah dikarunia keturunan. Tidak menutup mata atas peran suami, tetapi dalam hal ini perempuan dituntut memiliki waktu dan tenaga yang ekstra untuk merampungkan seluruh pekerjaannya itu. Kondisi kemudian memicu lahirnya dilema di kalangan working mom. 


Image via Excelle
Tidak sedikit dari working mom yang mengaku mengalami dilema ketika dihadapkan pada dua pilihan besar, yakni bekerja untuk masa depan keluarga atau berada di rumah saja menjadi full time mother. Keduanya sama penting. Seperti sebuah timbangan, berat pada satu sisi akan membuat sisi lain menjadi tak seimbang.



Tentunya bukan hal yang mudah menjalani peran ganda ini. Bayangkan saja, saat tekanan pekerjaan menguras seluruh tenaga dan pikiran seorang working mom, sepulang dari kantor mereka masih harus tetap mengurusi rumah dan juga anak-anak. Jangankan istirahat, setelah urusan rumah tangga selesai terkadang mereka masih mengerjakan tugas kantor yang terpaksa dikerjakan di rumah. Luar biasa sekali, bukan?

Banyak alasan kenapa seorang working mom tidak bisa begitu saja melepaskan kariernya untuk memilih sebagia full time mother. Pertama, bisa karena keuangan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga, mengharuskan seorang ibu bekerja untuk melengkapi kekurangan tersebut. Apalagi jika ia seorang single mother yang mau tidak mau harus bertanggung jawab secara materi kepada anak-anaknya. Kedua, adanya keluarga yang dipercaya untuk mengasuh anak mereka. Ketiga, ingatan masa kecil yang buruk saat dibesarkan oleh full time mother. Seperti, ingatan ketika melihat ibunya yang tidak mampu memberikan uang jajan karena tidak bekerja.

Memang begitulah seharusnya pekerjaan dan kehidupan keluarga berjalan beriringan tanpa harus menimbulkan konflik dan opini negatif. Adapun manfaat yang bisa diambil dari menjadi working mom adalah:

1. Hubungan keluarga menjadi lebih bahagia.
Pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja cenderung dapat menjalin kerja sama yang baik dalam mengurus anak dan rumah tangga. Ibu yang bekerja juga akan memanfaatkan betul quality time bersama pasangan dan anak-anak. Di waktu yang senggang, keluarga ini akan betul-betul memanfaatkan waktunya untuk bersama, baik sekadar di rumah maupun berlibur.


2. Terhindar dari depresi.
Pada prinsipnya, setiap manusia membutuhkan eksistensi, baik perempuan maupun laki-laki. Dengan bekerja, seorang ibu akan merasa memiliki dunianya yang lain. Hal ini akan membuat mereka terhindar dari depresi. Jika ibu terhindar dari depresi, maka suasana rumah menjadi lebih menyenangkan. 

3. Pergaulan luas.
Umumnya full time mother hanya memiliki ruang pergaulan yang monoton. Hanya berinteraksi dengan anak-anak, asisten rumah tangga atau pun tetangga. Berbeda dengan seorang working mom. Dengan bekerja, pergaulan seorang ibu menjadi luas dan tidak terbatas. Pergaulan yang luas berpotensi dapat memberikan wawasan yang lebih banyak kepada seorang ibu. 

4. Anak lebih mandiri.
Jika seorang ibu berada di dekat anak dalam waktu yang lama, dan terus-menerus, maka mereka akan cenderung bergantung pada ibu tersebut. Pengaruhnya, kemandirian mereka akan terganggu. Lain halnya jika seorang anak tidak terbiasa dengan keberadaan kita sebagai ibunya. Maka ia akan belajar untuk mandiri. Berilah pengertian kepada anak tentang pekerjaan kita dan seberapa banyak waktu yang kita punyai untuk mereka. 

5. Menambah penghasilan.
Poin terakhir ini merupakan konskuensi logis dari sebuah pekerjaan. Artinya, dengan bekerja, seorang ibu akan mampu menutupi kekurangan ekonomi keluarga atau paling tidak ia memiliki tabungan.


Selain sisi positif yang bisa diambil, ternyata seorang working mom juga tidak luput dari opini negatif. Anggapan tentang “lari” dari tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, yang seringkali menyentil perasaan mereka. Belum lagi gejolak lain yang timbul dari diri sendiri, misalnya rasa bersalah. 

Perasaan bersalah terhadap anak karena meninggalkan mereka di bawah pengasuhan orang lain kadang menghantui hati para working mom. Akibatnya, konsentrasi kerja menjadi menurun. Bahkan untuk berangkat ke kantor saja rasanya sangat berat. Namun, jika hal ini dibiarkan berlarut larut, rasa bersalah yang berlebihan akan menimbulkan energi negatif pada anak. 


Working mom yang dihantui rasa bersalah biasanya akan membuat mereka cenderung memenuhi semua permintaan anak. Dengan pemenuhan tersebut, mereka berharap akan membuat anak bahagia dan hilangnya rasa bersalah. Padahal, cara ini bisa membuat seorang anak cenderung memanfaatkan rasa bersalah tersebut untuk menguasai seorang ibu. Untuk itu, ada baiknya coba beri pengertian kepada anak akan peranan kita sebagai seorang working mom. Hal ini justru akan mendidik mereka menjadi anak yang mandiri.


Jika banyak working mom yang bersikeras melanjutkan kariernya di dunia kerja, tidak sedikit juga dari mereka yang terpaksa hengkang dari kantor dan total menjadi ibu rumah tangga. Motivasinya sangat beraneka ragam. Salah satunya bisa karena jumlah anak. Semakin banyak anak yang harus diasuh, seorang working mom lebih besar peluangnya untuk memutuskan resign. Pendapatan suami yang lebih dari cukup, juga memengaruhi keputusan seorang ibu untuk melepas predikat mereka sebagai seorang working mom. Apalagi, jika suami yang meminta istri untuk berhenti bekerja. Mau tidak mau, kita pun akan mengucapkan selamat tinggal pada blazer dan higheels kesayangan. 


Namun, apapun motivasi dalam memutuskan untuk berhenti bekerja setelah bertahun-tahun menjadi wanita karier, bukanlah hal yang mudah. Perlu pemikiran yang matang sebelum mengambil keputusan untuk berhenti.


Apakah kita benar-benar telah siap dengan suasana hidup yang baru? Siapkah kehilangan eksistenssi diri? 

Kita butuh kesiapan mental untuk menghadapi transisi besar, yakni dari lingkup dunia kerja menjadi dunia rumah tangga. Jangan sampai, ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan tersebut malah berdampak buruk bagi kita dan juga keluarga. 


Umumnya, lingkup dunia rumah tangga jauh lebih sempit dibandingkan lingkup dunia kerja. Di dunia kerja, seseorang dimungkinkan untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan beragam latar belakang. Sementara dunia rumah tangga tidaklah demikian. Si ibu umumnya hanya berinteraksi dengan anak, asisten rumah tangga, atau tetangga. Kejenuhan akan mungkin sekali menyerang kita sebagai full time mother baru. 


Untuk itu, selain kesiapan mental, ada baiknya kita juga merencanakan apa yang bisa kita lakukan di rumah. Misalnya memanfaatkan hobi menulis di saat anak-anak sedang tidur, mencoba peruntungan di dunia online shop? Atau masih banyak lagi hal-hal menarik yang bisa kita lakukan sebagai ibu rumah tangga, sesuai dengan bidang yang diminatinya. 


Jika bekerja bukan sebagai tuntutan ekonomi karena suami telah mapan dengan penghasilannya, maka waktu yang senggang dapat dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini dimaksudkan agar seorang ibu tak kehilangan eksistensinya dan tetap memliki pergaulan yang luas. 

Catatan:
Saya memakai istilah working moms untuk ibu yang bekerja di luar rumah, working at home moms untuk ibu yang bekerja di rumah, dan full time mother untuk mereka yang mendikasikan diri sepenuhnya untuk menjadi seorang ibu (ibu yang tidak bekerja profesional).
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Pagi pagi sekali, aku nyaris meloncat saking kagetnya mendengar Rumi, nyonya rumah ini yang tadi kulihat memasuki kamar mandi mendadak berteriak memanggil suaminya.

"Masssss!" 

Astaga! Petasan aja mungkin kalah kencengnya, mengingat ini berbunyi di pagi yang masih sepi sekali.

Untung aku tidak latah yang lantas membunyikan klakson, atau menabrak roolingdoor garasi demi mendengar teriakan tersebut. Aku cukup tahu diri untuk tidak membuat kehebohan yang ganjil di pagi hari. 

Tapi kemudian ... keganjilan yang lain justru muncul dari dalam kamar mandi. 

Ya, dari dalam kamar mandi, aku bisa mendengar dengan jelas ada suara isak tangis Rumi di sana. Sebentar menangis, sebentar tertawa. Sumpah mati aku penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi. Seandainya saja aku manusia, dan bukannya motor Supra Fit kelahiran 2006 bernama Casimira, tentunya aku sudah mendekati pintu kamar mandi itu. Mengetuknya pelan, dan bertanya, "Kau, baik-baik saja kan Rum?"

Atau kalau ia membutuhkan pelukanku karena suatu hal yang buruk, aku akan menawarkan pundakku yang lapang supaya ia nyaman bersandar. Tapi ini mustahil, aku kan hanya sebuah mesin tua yang bahkan setiap harinya berkelahi dengan pikiran Rumi. 

"Aku baik-baik saja Casimira" jawab Rumi yang keluar dari kamar mandi dan menatapku sebentar dengan mata yang sembap. 

Aku lupa, kalau Rumi dan aku sebenarnya memiliki 'hubungan' yang ganjil ketika berada pada perasaan paling payah bernama "kesedihan". Pada situasi semacam itu, Rumi bisa membaca pikiranku, begitupun aku membaca pikirannya. Ya, dengan cara inilah kami berkomunikasi; bertengkar setiap hari. 

Mungkin karena kesedihan di hidup kami datang setiap hari, makanya kami selalu punya alasan untuk saling berkomunikasi. Dan aku sama sekali tidak mampu membayangkan, seandainya kesedihan itu kelak akan hilang. Barangkali hanya aku saja yang akan tetap bersedih berhari-hari karena tidak lagi bisa mengatakan sesuatu kepada Rumi. 

Hei. Astaga...Rumi barusan bisa membaca pikiranku, tapi kenapa aku tidak bisa mengetahui apa yang sedang dialaminya? Aku tiba-tiba saja merinding. 

Apakah ini sudah waktunya berakhir? Apakah, selamanya aku tidak akan bisa membaca pikirannya lagi. 

"Jangan lebay deh Cas" teriak Rumi dengan mulut terbuka dan datang menghampiriku. Mungkin ia sadar bahwa aku tidak bisa membaca pikirannya. Padahal biasanya tanpa Rumi bersuara, aku bisa mendengar kata-katanya. 

"Karena aku sedang sangat bahagia Cas, bukan sedih. Aku bahagiaaaa karena aku hamiiiiiiilllll" teriak Rumi di hadapanku. Matanya bersinar-sinar. "Aku menangis karena aku sangat bahagia, bukan sedih." Rumi menjelaskan sejelas-jelasnya. Dan, aku cuma membalasnya dengan jawaban "oh?". Lalu karena aku merasa ikut bahagia, aku merasa tidak perlu melanjutkan kata-kataku lagi. Rumi tidak akan mendengarnya. 

"Tapi sayang dia enggak di sini. Seandainya saja Mas Han ada ... " Rumi berkata setengah berbisik. Matanya menerawang. 

Sekian detik setelah ucapannya berhenti, aku justru mampu membaca pikiran Rumi dengan jelas. Bagaimana ia sangat menginginkan Han berada di dekatnya saat ini? Betapa Rumi ingin sekali menyampaikan kabar gembira tentang kehamilannya secara langsung kepada suaminya itu. Betapa Rumi merasa sangat bodoh karena tadi berteriak memanggil Han, padahal ia tahu bahwa suaminya tidak berada di rumah ini. 

Han sedang keluar kota. Mengurus pekerjaannya. Dan di rumah ini, tinggal aku dan Rumi yang kesepian. 

"Tapi besok Han akan pulang kok Cas. Mari kita hapus kesedihan ini. Aku tidak ingin bersedih karena itu akan memengaruhi kehamilanku" kata Rumi sambil berlalu dari hadapanku. 

Penipu!
Mari kita hapus kesedihan ini, Cas. Katamu. Hsssssyahhh. Ajakan semacam apa itu, Rum? Bahkan sekarang aku bisa mendengar dengan jelas kegelisahan dalam hatimu. Kegelisahaan yang bahkan tidak bisa kunalar karena itu mutlak di wilayah manusia. 

Ini tentang pernikahan. 
Mungkin sedikit-sedikit aku bisa memahaminya. Karena bagaimana pun, kenapa aku bisa berkomunikasi dengan Rumi adalah sejak ia merasakan kesedihan dari sebuah pernikahan. Aku membacanya dari pikirannya sepanjang hari. 

Sudah dua tahun lamanya aku mengabdi untuk Rumi. Dan sudah dua tahun juga Rumi menikah, tapi belum kunjung mendapat keturunan. Barangkali karena keduanya terlalu stres. Dan lebih stres lagi karena tekanan yang datang dari keluarga dan lingkungan sama sekali tidak bisa terhindarkan. 

Menurut Rumi, anak bukanlah tujuan utama dari sebuah pernikahan. Tapi bagi laki-laki, barangkali definisinya akan berbeda. Dan sebenarnya, aku tidak benar-benar paham tentang itu karena aku tidak bisa membaca pikiran Han. Ya aku tidak bisa membaca pikiran Han, kecuali mengira-ngira karakternya ketika ia mengendaraiku.

Sebagai motor yang sudah berusia cukup tua, jelas aku berpengalaman untuk menilai karakter setiap orang yang mengendaraiku. Sehingga aku tahu, mana pengendara yang baik, egois, sembrono, terlalu hati-hati, atau yang penakut. Bukankah benar bahwa karakter seseorang bisa terbaca dari cara ia berkendara? Menurutku sih begitu. 

Menurutku, pengendara yang suka melanggar lampu merah pastilah bukan tipe manusia yang penyabar. Kalau menunggu lampu hijau menyala demi keselamatannya saja tidak mau, bagaimana ia sabar dengan hal hal yang lain. Apalagi kalau tidak ada polisi, merasa tidak ada yang mengawasi, pengendara itu langsung melanggar lampu merah. Padahal kan itu berbahaya. 

Lalu tentang pengendara yang sering melanggar marka. Tujuannya untuk menyalip agar perjalanannya lebih cepat. Pengendara semacam ini mungkin di dunianya memiliki karakter yang suka memakan hak orang lain, masa bodo dengan keselamatan pengguna jalan, karena keselamatannya sendiri saja tidak ia pedulikan. Begitu pun ketika aku melihat ada pengguna jalan yang maunya menang sendiri, merasa paling benar, dan tidak mau mengalah. Aku yakin sekali, kalau dalam hubungannya dengan teman dan orang lain, pengendara itu sangat egois.

Aku jadi bertanya-tanya: apakah nyawa manusia itu tidak begitu penting sehingga mereka berhak menyepelekannya? 

Dari penilaianku tentang Han, ia sebenarnya lelaki yang perhatian. Ia lebih merawat aku daripada Rumi. Tapi, ketika di jalan, Han bukanlah pengendara yang baik. Itu asumsiku. Sedangkan Rumi, berbeda dengan han. Bagiku Rumi adalah pengendara yang super hati-hati. Dari kedua perbedaan itu, aku sudah bisa mengira-ngira bahwa pemikiran mereka tidak mungkin bisa sejalan.  

"Jangan berkata seperti itu, Cas" Tiba-tiba Rumi kembali berdiri di hadapanku. 
"Tapi kau setuju kan bahwa Han bukan pengendara yang baik?"
Rumi diam. Dalam diamnya aku bisa mendengar bahwa ia berkata "Kau benar, Cas". 

***
Keesokan harinya, Han benar-benar pulang ke rumah. Aku menyaksikan bagaimana laki-laki berusia 35 tahun itu menciumi Rumi dengan cinta yang menggebu-gebu. 

"Sungguh? Aku akan menjadi Ayah?" teriaknya sambil mengelus elus perut Rumi. Aku melihat kesedihan kesedihan yang semula menguar di rumah ini dalam sekejap menjadi kebahagiaan. 

"Aku tespack sudah positif sih. Tapi biar yakin, nanti kita periksa ke dokter ya, Mas"
Han mengangguk mantap. 

Dan, sekira azan ashar bergema, aku dikeluarkan dari garasi rumah. Mungkin ini waktunya untuk pergi ke dokter. Kulihat Rumi juga sudah berdandan dan siap mengunci pintu rumah. 

"Dapet antrean ke berapa?" tanya Han ke pada Rumi
"Dokter yang ini harus datang langsung deh, Mas. Enggak bisa pesen nomor via telepon" jawab Rumi.
"Wah antre panjang dong. Ya udah deh, kita cepet-cepet aja ke sananya. Mas males nunggu lama."

Deg. 
Mendengar kalimat terakhir itu, jantung Rumi maupun jantungku seperti dijatuhi petasan yang ujungnya sudah dinyalakan. Was-was akan meledak. Ya, petasan itu pasti akan meledak kalau Rumi sampai menolak untuk cepat-cepat sampai ke rumah sakit. Aku mendengar dia berbisik "Kalau Mas Han ngebut, aku pasti tegang. Dan kasihan kandunganku kalau aku stres". kata Rumi khawatir. Tapi kalimat itu tidak sampai kepada Han. Akulah yang mendengar semua itu. 

Rasanya aku ingin sekali mengendalikan lajuku lebih pelan lagi supaya Rumi tidak stres. Tapi Han terlalu dominan untuk bisa dikendalikan.

"Menurutmu bahaya enggak sih Mas, anak kecil diberdirikan kalau mbonceng motor?" tiba-tiba Rumi bersuara. Mungkin supaya ia lebih rileks. 
"Niat mereka kan supaya anaknya senang. Enggak ada salahnya sih menurutku"
"Tapi itu bahaya Mas."

 Ya, menurutku juga bahaya. Kalau sampai motor yang dinaiki oleng, anak yang berdiri itu pasti akan terpental jauh. 

Tapi obrolan Han dan Rumi terhenti. Seperti jalan buntu. Sudah kubilang, kalau mereka itu tidak pernah satu pemikiran. 

BRAAAAK! Aku melewati sebuah lobang jalan yang dalam. 

"Awwww!" Aku dan Rumi berteriak. 

Gila!!! Bagaimana mungkin Han sembarangan seperti ini. Rumi kan sedang hamil. 

"Maaf-maaf. Mas enggak lihat Dik"
"Makanya pelan-pelan dong Mas." Kata Rumi agak ketus.
Iya, pelan-pelang dong biar bisa lihat kalau ada lubang. 

"Mas sudah pelan kok. Tapi jalannya aja yang berlobang"
Hah? Ini serius kalau Han menyalahkan jalan berlubangnya? Bener-bener laki-laki paling benar sedunia.

Brakkkk! 

Astaga, begini lagi? 

"Masss?"
"Mas sudah hati-hati"

Tapi beberapa meter kemudian. 
Brakkkk!

Astaga. Sekarang, aku mendengar Rumi merintih kesakitan. 

Braaaak!!! 

"Astaga Dik, maaaaaaf. Adik tadi ngajak bicara sih, jadi Mas enggak konsentrasi dan melewati lubang terus menerus"

Huffft. Aku mendengus kesal seperti manusia.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku masih mendengar Rumi merintih kesakitan. 
"Kenapa Dik?"
"Enggak tahu, Mas. Sakit banget nih" jawab Rumi sambil memegangi perutnya. Dan aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi. 

Ketika Rumi dan Han menjauh, aku merasa punggungku basah dan tercium bau amis. Dari jauh aku melihat ada warna merah menempel di celana Rumi. 

Aku menunggu mereka dengan khawatir. Dua jam lamanya Rumi tidak kembali. Hanya Han yang beberapa kali mengajakku pulang ke rumah untuk mengambil berkas-berkas yang entah apa fungsinya, lalu kembali ke rumah sakit. 

Sampai senja menghilang, dan hari berganti malam Rumi tidak juga kembali menemuiku. Sekarang, aku sangat mengkhawatirkannya. "Kau kenapa Rum? Pulanglah..."

-------
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.
  • Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu
  • Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ►  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ▼  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ▼  November (2)
      • Working Moms Dillema
      • Rum, Pulanglah ...
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates