Skip to main content

Working Moms Dillema

Kesadaran perempuan atas posisinya dalam lingkup sosial serta pemenuhan terhadap hak asasinya, menuntut perubahan peran dan posisi perempuan dalam berbagai bidang. Hal ini kemudian dikenal sebagai emansipasi perempuan.

Emansipasi, dalam banyak hal memberikan ruang terbuka bagi perempuan untuk mangaktualisasikan dirinya secara profesional. Maka ketika perempuan terlibat dalam dunia kerja, hal ini bukan perkara yang baru. Tidak hanya perempuan yang belum menikah, tapi setelah mereka menyandang status istri atau ibu sekalipun bukan sebuah halangan bagi mereka untuk tetap eksis di dunia kerja. Sehingga tidak aneh jika sekarang banyak perempuan di Indonesia yang memiliki jabatan penting di berbagai instansi, baik negeri maupun swasta.

Peningkatan peran perempuan sebagai mitra kerja yang setara dengan laki-laki memikul tanggung jawab perempuan sebagai pribadi yang mandiri dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dengan bekerja, mereka bisa mengaktualisasikan hasil pendidikan yang telah diperolehnya. Pekerjaan yang mereka jalani merupakan identitas yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri. 

Sebenarnya, banyak sekali manfaat dari perempuan yang bersedia bekerja. Namun, ketika mereka sudah terikat dengan institusi pernikahan, tentu konsekuensi yang harus ditanggung pun akan berbeda. Sebab, perempuan tak bisa dilepaskan dari stigma sosial masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai “ibu rumah tangga”. Apapun pekerjaannya di luar rumah, begitu pulang, ia tetaplah seorang ibu rumah tangga dengan seabrek pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. 

Beban ini akan semakin berat jika pasangan suami-istri telah dikarunia keturunan. Tidak menutup mata atas peran suami, tetapi dalam hal ini perempuan dituntut memiliki waktu dan tenaga yang ekstra untuk merampungkan seluruh pekerjaannya itu. Kondisi kemudian memicu lahirnya dilema di kalangan working mom. 


Image via Excelle
Tidak sedikit dari working mom yang mengaku mengalami dilema ketika dihadapkan pada dua pilihan besar, yakni bekerja untuk masa depan keluarga atau berada di rumah saja menjadi full time mother. Keduanya sama penting. Seperti sebuah timbangan, berat pada satu sisi akan membuat sisi lain menjadi tak seimbang.



Tentunya bukan hal yang mudah menjalani peran ganda ini. Bayangkan saja, saat tekanan pekerjaan menguras seluruh tenaga dan pikiran seorang working mom, sepulang dari kantor mereka masih harus tetap mengurusi rumah dan juga anak-anak. Jangankan istirahat, setelah urusan rumah tangga selesai terkadang mereka masih mengerjakan tugas kantor yang terpaksa dikerjakan di rumah. Luar biasa sekali, bukan?

Banyak alasan kenapa seorang working mom tidak bisa begitu saja melepaskan kariernya untuk memilih sebagia full time mother. Pertama, bisa karena keuangan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga, mengharuskan seorang ibu bekerja untuk melengkapi kekurangan tersebut. Apalagi jika ia seorang single mother yang mau tidak mau harus bertanggung jawab secara materi kepada anak-anaknya. Kedua, adanya keluarga yang dipercaya untuk mengasuh anak mereka. Ketiga, ingatan masa kecil yang buruk saat dibesarkan oleh full time mother. Seperti, ingatan ketika melihat ibunya yang tidak mampu memberikan uang jajan karena tidak bekerja.

Memang begitulah seharusnya pekerjaan dan kehidupan keluarga berjalan beriringan tanpa harus menimbulkan konflik dan opini negatif. Adapun manfaat yang bisa diambil dari menjadi working mom adalah:

1. Hubungan keluarga menjadi lebih bahagia.
Pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja cenderung dapat menjalin kerja sama yang baik dalam mengurus anak dan rumah tangga. Ibu yang bekerja juga akan memanfaatkan betul quality time bersama pasangan dan anak-anak. Di waktu yang senggang, keluarga ini akan betul-betul memanfaatkan waktunya untuk bersama, baik sekadar di rumah maupun berlibur.


2. Terhindar dari depresi.
Pada prinsipnya, setiap manusia membutuhkan eksistensi, baik perempuan maupun laki-laki. Dengan bekerja, seorang ibu akan merasa memiliki dunianya yang lain. Hal ini akan membuat mereka terhindar dari depresi. Jika ibu terhindar dari depresi, maka suasana rumah menjadi lebih menyenangkan. 

3. Pergaulan luas.
Umumnya full time mother hanya memiliki ruang pergaulan yang monoton. Hanya berinteraksi dengan anak-anak, asisten rumah tangga atau pun tetangga. Berbeda dengan seorang working mom. Dengan bekerja, pergaulan seorang ibu menjadi luas dan tidak terbatas. Pergaulan yang luas berpotensi dapat memberikan wawasan yang lebih banyak kepada seorang ibu. 

4. Anak lebih mandiri.
Jika seorang ibu berada di dekat anak dalam waktu yang lama, dan terus-menerus, maka mereka akan cenderung bergantung pada ibu tersebut. Pengaruhnya, kemandirian mereka akan terganggu. Lain halnya jika seorang anak tidak terbiasa dengan keberadaan kita sebagai ibunya. Maka ia akan belajar untuk mandiri. Berilah pengertian kepada anak tentang pekerjaan kita dan seberapa banyak waktu yang kita punyai untuk mereka. 

5. Menambah penghasilan.
Poin terakhir ini merupakan konskuensi logis dari sebuah pekerjaan. Artinya, dengan bekerja, seorang ibu akan mampu menutupi kekurangan ekonomi keluarga atau paling tidak ia memiliki tabungan.


Selain sisi positif yang bisa diambil, ternyata seorang working mom juga tidak luput dari opini negatif. Anggapan tentang “lari” dari tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, yang seringkali menyentil perasaan mereka. Belum lagi gejolak lain yang timbul dari diri sendiri, misalnya rasa bersalah. 

Perasaan bersalah terhadap anak karena meninggalkan mereka di bawah pengasuhan orang lain kadang menghantui hati para working mom. Akibatnya, konsentrasi kerja menjadi menurun. Bahkan untuk berangkat ke kantor saja rasanya sangat berat. Namun, jika hal ini dibiarkan berlarut larut, rasa bersalah yang berlebihan akan menimbulkan energi negatif pada anak. 


Working mom yang dihantui rasa bersalah biasanya akan membuat mereka cenderung memenuhi semua permintaan anak. Dengan pemenuhan tersebut, mereka berharap akan membuat anak bahagia dan hilangnya rasa bersalah. Padahal, cara ini bisa membuat seorang anak cenderung memanfaatkan rasa bersalah tersebut untuk menguasai seorang ibu. Untuk itu, ada baiknya coba beri pengertian kepada anak akan peranan kita sebagai seorang working mom. Hal ini justru akan mendidik mereka menjadi anak yang mandiri.


Jika banyak working mom yang bersikeras melanjutkan kariernya di dunia kerja, tidak sedikit juga dari mereka yang terpaksa hengkang dari kantor dan total menjadi ibu rumah tangga. Motivasinya sangat beraneka ragam. Salah satunya bisa karena jumlah anak. Semakin banyak anak yang harus diasuh, seorang working mom lebih besar peluangnya untuk memutuskan resign. Pendapatan suami yang lebih dari cukup, juga memengaruhi keputusan seorang ibu untuk melepas predikat mereka sebagai seorang working mom. Apalagi, jika suami yang meminta istri untuk berhenti bekerja. Mau tidak mau, kita pun akan mengucapkan selamat tinggal pada blazer dan higheels kesayangan. 


Namun, apapun motivasi dalam memutuskan untuk berhenti bekerja setelah bertahun-tahun menjadi wanita karier, bukanlah hal yang mudah. Perlu pemikiran yang matang sebelum mengambil keputusan untuk berhenti.


Apakah kita benar-benar telah siap dengan suasana hidup yang baru? Siapkah kehilangan eksistenssi diri? 

Kita butuh kesiapan mental untuk menghadapi transisi besar, yakni dari lingkup dunia kerja menjadi dunia rumah tangga. Jangan sampai, ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan tersebut malah berdampak buruk bagi kita dan juga keluarga. 


Umumnya, lingkup dunia rumah tangga jauh lebih sempit dibandingkan lingkup dunia kerja. Di dunia kerja, seseorang dimungkinkan untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan beragam latar belakang. Sementara dunia rumah tangga tidaklah demikian. Si ibu umumnya hanya berinteraksi dengan anak, asisten rumah tangga, atau tetangga. Kejenuhan akan mungkin sekali menyerang kita sebagai full time mother baru. 


Untuk itu, selain kesiapan mental, ada baiknya kita juga merencanakan apa yang bisa kita lakukan di rumah. Misalnya memanfaatkan hobi menulis di saat anak-anak sedang tidur, mencoba peruntungan di dunia online shop? Atau masih banyak lagi hal-hal menarik yang bisa kita lakukan sebagai ibu rumah tangga, sesuai dengan bidang yang diminatinya. 


Jika bekerja bukan sebagai tuntutan ekonomi karena suami telah mapan dengan penghasilannya, maka waktu yang senggang dapat dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini dimaksudkan agar seorang ibu tak kehilangan eksistensinya dan tetap memliki pergaulan yang luas. 

Catatan:
Saya memakai istilah working moms untuk ibu yang bekerja di luar rumah, working at home moms untuk ibu yang bekerja di rumah, dan full time mother untuk mereka yang mendikasikan diri sepenuhnya untuk menjadi seorang ibu (ibu yang tidak bekerja profesional).

Comments

  1. Hai Bunda, jangan lupa ikutan lomba foto sama lomba nyanyi #bazaarbunda2 di Jogja, berhadiah jutaan rupiah & free treatment 1 tahun loh. Cek instagram kami yaa @bundaestibabyspa. Info/pendaftaran: WA: 0838-4905-1617 (Ana)

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk