• HOME
  • BIBLIOGRAFI
  • REVIEW BUKU
  • PENULISAN KREATIF
    • Artikel/Tips
    • Cerita Pendek
    • Fiksi Abu-Abu
    • Puisi
  • EJAAN-PENULIS
  • STORIES
    • Anak
    • Anything
    • Event
    • Komunitas
    • Kuliner dan Wisata
    • Produk
    • Tokoh
  • EJAAN-PENULIS
  • TENTANG SAYA
    • Biodata
    • Editor Buku
    • Jasa Penulisan Buku
Powered by Blogger.

Jurnal Tikah Kumala

Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.

Pagi ini terasa cerah sekali karena badan sudah enakan. Dari pengalaman dua hari mengalami sakit yang amit-amit enggak mau kuulangi lagi, aku jadi bisa mengelompokkan tiga orang dalam hidupku.
  1. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan seperti dewa yang merengkuh beban tersebut dari pundakku. Mereka akan dengan tulus berkata: "Bersandarlah di pundakku", "Apa yang bisa kubantu?", "Sini aku yang bereskan" dan macam-macam kalimat yang bikin beban itu terasa ringan. Untuk itu, kuucapkan "Terima kasih, teman". 
  2. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan membuatku seimbang, karena merasa tidak sendirian. Mereka akan dengan berbusa-busa menceritakan masalah mereka yang setipe dengan apa yang kualami. Kehadiran-kehadiran cerita tersebut membuat bebanku terasa ringan, karena tahu bahwa ada orang lain yang sama atau lebih. Untuk itu, "Thanks teman membuatku seimbang"
  3. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan membuatku makin sakit karena omongan-omongan negatif yang pahit sekaligus menusuk. Dengan sadar atau tidak, mereka berkata; "Makanya kamu itu jangan gini dong", "Paling kamunya yang salah" dan bla bla bla lainnya. Pernahkah mereka berpikir bahwa mereka itu amat bijak membuat seseorang yang dirundung malang, makin malang karena matanya ditubles? Suruh melihat apa yang sebenarnya sudah dilihatnya. Sakit tahu. Tapi begitu, "Thanks teman, membuat hidupku lengkap"
Sebenarnya masih ada satu tipe lagi, yakni mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, tidak akan berkomentar. Diem. Cuek. Hal ini membuatku sulit menilai apakah mereka masuk dalam tiga tipe di depan atau tidak. Ya gitu deh. 

Nah kamu yang mana nih gaes?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hampir setiap bulan saya membuat outline buku. Menyusun bab demi bab, lalu mengirimkannya kepada pimpinan redaksi untuk dipertimbangkan. Dari pengalaman berbulan-bulan itu, setidaknya ada tiga cara yang pernah saya lakukan.





Cara Pertama : 
  • Outline disusun serupa daftar isi. 
  • Pemberian judul bab per bab masih buruk. Masih sebatas ide-ide yang disusun semau saya. Satu dua kata kadang masih ambigu, dan tentu saja yang bisa memahami isi outline ini hanya saya. Sebab, bentuknya masih serupa catatan pengingat si penulis. 
  • Saya mengirimkan outline model begini biasanya ketika diorder nulis oleh penerbit yang memang benar-benar editornya sudah dekat. Jadi, akan ada penjelasan lisan ataupun keterangan-keterangan yang tidak formal untuk memperjelas maksud dari outline tersebut. 
  • Pesan: Jangan kamu lakukan model pembuatan outline pertama ini jika jalur yang ditempuh adalah pengajuan outline ke penerbit secara reguler. Karena ketika kamu mengirimkan outline seperti ini, pasti banyak ditolaknya. Kenapa? Coba renungkan, bagaimana seorang editor akan meng-ACC outline tersebut jika tampilannya saja sudah tidak menarik. Pun editor yang mengakuisisi bisa saja gagal memahami apa yang akan kamu tulis. 

Cara Kedua : 
  • Outline disusun serupa daftar isi.
  • Gagasan-gagasan yang ada sudah diolah dalam diksi yang tepat sehingga tercipta judul bab yang menarik. 
  • Bab per bab tersebut masih berupa judul yang menarik saja, tidak disertai penjelasan untuk memperjelas apa yang akan saya tulis. 
  • Kelemahan model ini adalah akan menimbulkan perbedaan persepsi antara editor dengan penulis. Maksudnya, karena tidak ada penjelasan yang detail, maka editor bisa kepleset memahami maksud kita. 
  • Kelemahan lainnya, yakni ada saat di mana ingatan kita yang terbatas ini tidak sanggup mengingat apa yang akan ditulis nanti. Meskipun judul cantik tadi sudah tertulis sebagai judul. 

Cara Ketiga
  • Outline disusun serupa daftar isi. 
  • Gagasan diolah dengan diksi yang tepat untuk dijadikan judul bab yang menarik. Kemudian disertai dengan penjelasan yang detail. 
  • Bagi penulis, model ini sebenarnya menguntungkan karena membuat lebih fokus pada apa yang akan ditulis. Selain itu, juga lebih mudah dipahami editor dan menarik perhatiannya. Apalagi kalau niatnya untuk diajukan ke penerbit secara reguler, atau diikutkan lomba. Jadi, pilihlah model ini. Hanya saja, jika saya diorder penerbit untuk membikin outline sesegera mungkin, cara ini tidak dilakukan karena ribet hahaha. 
Gitu aja deh, curhat kali ini. 

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Usianya sekira 60an tahun. Amat lembut, santun, khas betul perempuan Jogja masa lalu. Eh bukan, mungkin juga bukan kerna ia perempuan Jogja lantas harus berperawakan lemah lembut, bukan? Kukira, ini hanya persoalan kesadaran pada usia. Semakin tua, seseorang barangkali memang semakin tenang dan matang.


Ya, perempuan itu. Setiap aku berhenti di depan rumahnya untuk membeli bensin, ia akan buru-buru keluar dengan langkah yang sudah tidak lincah. Tertatih-tatih, mengesani usianya yang bukan muda lagi.

Rumahnya masih berdinding bambu. Mencolok sekali. Rumah bambu di antara bangunan-bangunan modern yang kian tumbuh, jelas membuatnya mudah diingat. Tapi sebambu-bambunya rumah itu, ia tentu tetap lebih kaya dari aku. Ya, aku suka berpikir bahwa setiap orang yang memiliki rumah di tanah kota pastilah ia seseorang yang mampu. Mampu mencari uang untuk membeli tanah mahal di kota. Kan tahu sendiri, berapa harga tanah zaman sekarang? ‪#‎EhCurhat‬

Beberapa bulan lalu, baru kusadari jika rumahnya sudah berubah. Bukan lagi berdinding bambu, melainkan menyusul sebelah-sebelahnya yang juga bergaya semi modern.

"Mungkinkah rumahnya itu dibangunkan oleh anak-anaknya?" Pikirku, yang berprasangka bahwa di usia 60-an tahun seseorang tidak lagi memikirkan soal sandang dan papan.

Hari kemarin, aku sangat terburu-buru untuk pergi. Namun, saat melajukan Miola kulihat bensinnya sangat tipis. Dalam perjalanan, aku menimbang-nimbang; di tempat manakah sebaiknya aku berhenti membeli bensin? Kerna ke pom jelas tidak memungkinkan. Maka aku memiliki empat batasan.

Pertimbangan pertama, penjualnya harus bukan orang yang kukenal. Pasti bakalan lama ditanya ini itu mau kemana kalau sudah langganan. Dua, bukan penjual yang harus lebih dulu menakar bensinnya dalam derijen. Ribet dan lama. Tiga, aku malas menyebrang jalan, jadi sebaiknya memilih tempat jual bensin yang ada di sebelah kiri. Keempat, penjualnya ramah dan agamis. Penting sekali penjual agamis, biar tidak diakal-akali harga dan literan yang kelewat banyak dikurangi. Empat batasan itu ternyata membuatku berhenti di halaman rumah ibu tadi.

Aku membunyikan klakson sebagai tanda akan membeli bensin. Namun ibu tadi tidak buru-buru keluar seperti biasanya. Lalu kubunyikan lagi, menunggu sesaat, hingga terdengar suara laki-laki dewasa dari dalam rumah "Kae wong tuku"

Sekarang aku melihat perempuan itu tertatih-tatih keluar, menghampiriku. "Ngersake pinten Mbak?"

Satu jawabku.

"Niki lagi ujian dados mboten enten sing mbantu", katanya sambil menuang bensin ke dalam tangki Miola. "Pun kelas tigo, dados sibuk belajar" lanjutnya. Awalnya aku cuma senyum. Tidak tahu siapa dan apa yang sedang dikomentarinya.

Aku bertanya memang sekolah di mana? "MTS, kelas tigo. Lagi ujian sekolah." jawabnya.

Lah ujian nasionalnya itu kapan? Aku kembali basa basi dengan bahasa Jawa. "Duko. Kulo nggih mboten ngertos niku," jawabnya dengan ekspresi menyesal. Mendengar itu aku pun jadi ikut menyesal, kenapa pula harus basa basi. Aku sendiri tidak tahu kapan adikku ujian nasional. Adikku juga sudah kelas tiga SMP.

"Wingi malah kegasruk. Samparane dijahit ping 7. Teng mriko niku Mbak" Ia menceritakan kejadian kecelakaan sambil menunjuk lokasi di sebelah rumahnya.

Cucu nggih Bu? Berapa yang ikut di sini? "Sanes, Mbak. Putro kulo" jawabnya dengan lemah lembut.

Wow, setua dia masih punya bungsu kelas tiga SMP? Keren.

"Namung setunggal niku putro kulo, Mbak" Hah? Anak tunggal seusia kelas tiga esempe? Jadi sekarang usia ibu ini berapa ya? Waktu hamil anak pertama usia berapa? Bagaimana kehidupannya di masa lalu. Aih, aku speechless. Mematung, tak bicara. Aku bahkan tidak ingat kalau sedang buru-buru pergi.

"Kulo diparingi kepercayaan pun sepuh Mbak. 38 nembe diparingi putro". Oke, ini kisah yang amazing sebenarnya. Tapi aku mesti buru-buru.

Maka sambil tersenyum, kuangsurkan uang pas, dan lantas berpamitan.

Dalam perjalanan aku mulai berhitung. Usia 38 hamil. Kira-kira saja di usia 39 baru melahirkan. Anaknya kelas tiga MTS; biasanya usia 7 tahun masuk SD, menempuh enam tahun masa studi jadi usia lulusnya 13 tahun, lalu MTS selama 3 tahun. Tambah-tambah tambah, kira kira sekarang usia perempuan itu 55 tahun.

Lah kok sudah sesepuh itu ya fisiknya? Sudah seperti usia kepala 6. Atau jangan-jangan aku salah denger, bahwa sebenarnya dia diberi momongan di usia 48? Soalnya aku terkejut sekali waktu itu. Tapi usia 48, itu amazing banget kalau masih produkti dan belum menopause.

Ah, apa sih bagi Gusti Allah yang tidak mungkin.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar




Incipit, aneh ya istilahnya? "Tapi, dalam sejarah dunia buku, incipit sudah sedemikian tua, mendahului judul" kata Dian R. Basuki. 

Aku sedang buka-buka lembaran Ruang Baca (Tempo) edisi Januari 2006 yang ada di Warung Arsip~ketika tak sengaja nemu istilah tua yang baru saja kudengar: incipit dalam tulisannya Dian R. Basuki. 

Konon istilah yang berasal dari bahasa Latin ini sudah ada sejak zaman klasik. Zaman itu orang lebih mudah menyebut incipit daripada judul. Tidak ingat judulnya, yang penting bisa menghafal incipit-nya, maka bisa ketemu sama teks yang dimaksud. 

Ngomong-ngomong, apa sih definisi incipit itu?
Menurut Dian, incipit adalah kata-kata pertama dalam suatu teks, yang bisa merujuk pada novel, puisi, cerpen atau lagu. Misalnya, ketika ada yang berbicara "Kalau sampai waktuku..," maka kita pasti langsung ingat sajaknya Chairil Anwar yang berjudul Aku. Nah itulah incipit. 


Saat kita nulis di MS Word, lalu mau menyimpan tulisan tersebut. Pastilah akan muncul kata-kata pertama kita yang diusulkan jadi judul. Itulah incipit. Jika kita tidak membuat judul sendiri di tulisan tadi, secara otomatis beberapa kata pertama itu menjadi default name bagi file kita. Dan jika kita tidak mengganti default name itu setiap kali mengetik naskah baru, maka yang muncul dalam folder kita adalah direktori incipit yang terbentuk secara otomatis. Hasilnya akan seperti katalog perpustakaan Sumeria, yang kata Dian memakai incipit. Wow, bisa kebayang enggak sih perpustakaan semacam itu? 



Nah sekarang tebakan, ini #incipit yang merujuk teks berjudul apa, coba? 

"Akhirnya bumi betawi terhampar di bawah kaki, ..."

#mumetohahaha
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

Buku Baru Saya

Buku Baru Saya

Popular Posts

  • Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?
  • Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan
  • Tiga Nama Palupi yang Kece Badai dalam Hidupku

Member Of

Member Of
Blogger Perempuan

Arsip Blog

  • ►  2019 (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2017 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (1)
  • ▼  2016 (14)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (1)
    • ►  March (1)
    • ▼  February (4)
      • Tiga Tipe Teman dalam Hidupku
      • Tiga Cara Membuat Outline (Buku)
      • Perempuan Penjual Bensin dan Kehamilan di Usia yan...
      • INCIPIT : istilah lama jarang terdengar
  • ►  2015 (51)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (6)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)
    • ►  April (14)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (7)
  • ►  2014 (37)
    • ►  December (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  May (8)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (14)
  • ►  2013 (19)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (7)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)
  • ►  2012 (33)
    • ►  December (5)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (6)
    • ►  August (2)
    • ►  July (12)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates