Skip to main content

Tiga Tipe Teman dalam Hidupku

Pagi ini terasa cerah sekali karena badan sudah enakan. Dari pengalaman dua hari mengalami sakit yang amit-amit enggak mau kuulangi lagi, aku jadi bisa mengelompokkan tiga orang dalam hidupku.
  1. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan seperti dewa yang merengkuh beban tersebut dari pundakku. Mereka akan dengan tulus berkata: "Bersandarlah di pundakku", "Apa yang bisa kubantu?", "Sini aku yang bereskan" dan macam-macam kalimat yang bikin beban itu terasa ringan. Untuk itu, kuucapkan "Terima kasih, teman". 
  2. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan membuatku seimbang, karena merasa tidak sendirian. Mereka akan dengan berbusa-busa menceritakan masalah mereka yang setipe dengan apa yang kualami. Kehadiran-kehadiran cerita tersebut membuat bebanku terasa ringan, karena tahu bahwa ada orang lain yang sama atau lebih. Untuk itu, "Thanks teman membuatku seimbang"
  3. Mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, akan membuatku makin sakit karena omongan-omongan negatif yang pahit sekaligus menusuk. Dengan sadar atau tidak, mereka berkata; "Makanya kamu itu jangan gini dong", "Paling kamunya yang salah" dan bla bla bla lainnya. Pernahkah mereka berpikir bahwa mereka itu amat bijak membuat seseorang yang dirundung malang, makin malang karena matanya ditubles? Suruh melihat apa yang sebenarnya sudah dilihatnya. Sakit tahu. Tapi begitu, "Thanks teman, membuat hidupku lengkap"
Sebenarnya masih ada satu tipe lagi, yakni mereka yang ketika kucurhati tentang sakit atau masalah, tidak akan berkomentar. Diem. Cuek. Hal ini membuatku sulit menilai apakah mereka masuk dalam tiga tipe di depan atau tidak. Ya gitu deh. 

Nah kamu yang mana nih gaes?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk