Skip to main content

Ada Apa Dengan Cinta? Ih Kepo Banget Deh (Cerita Film)

*Maaf! Isi mengandung spoiler*

April 2016. Saat fans berat Rangga sudah tak sabar pecahkan bisul kangen menanti si ganteng Nicholas tampil di bioskop, fokus saya justru pada brambang yang mahal, lalu masih sempat bersyukur karena perut kenyang bisa ikut #HaulPram ke-10 di Indonesia Buku. 

Ah, apalah haul Pram itu, bisikmu? Beruntung saja enggak kena grebek isu kekiri-kirian. Tentunya mengenang keromantisan mantan Rangga secara berjemaah lebih asyik kan, yah? Apalagi bagi mamah-mamah muda yang waktu Nicholas lagi imut-imutnya dulu sudah bisa berdesakan masuk ke bioskop. Jadi, nonton AADC2 itu semacam nostalgia, "Papih enggak perlu cemburu sama Rangga ya!"

Sedangkan saya, beuh nostalgia apanya? Tahun 2002 saya justru jauh lebih imut dari Rangga. Waktu itu saya masih berstatus anak SMP yang tak pernah membayangkan ada tempat bernama bioskop di dunia ini. Jadi kalau ngaku ngebet ketemu Nicholas karena nostalgia, mungkin saya amnesia sedikit (ikut-ikutan tren biar ngehits), lah wong Rangga di ingatan saya itu Revaldo, jeSaya kan jemaah serial televisi Ada Apa Dengan Cinta yang diputar RCTI. 

Eh, tapi situ tahu Revaldo kan? Itu loh artis yang bolak-balik dipenjara. Plis jangan lupa. Kasihan banget sih Rangganya gue mah?   

Saya kesampaian nonton AADC asli sekitar tahun 2006. Tentunya enggak membekas blas. Otak saya sudah keburu menobatkan Revaldo sebagai Rangga dan Ririn Dwi Aryanti sebagai Cinta. Bukan Dian Sastro Wardoyo si cantik idola kaum jomblo. 

Saya sebenarnya heran juga pada diri sendiri, meski AADC pertama enggak membekas, kok ya kemudian ngebet pengin nonton AADC2. Mungkin biar kekinian--jargon enggak mutu blas yang tetep kekinian. Lalu karena berniat nonton itu, di minggu pertama film tersebut diputar, saya menolak membaca segala macam review yang mungkin spoiler. Juga rasa-rasanya pengin memblock akun-akun penebar status 'sudah nonton' yang bikin hati makin iri. Bahkan ketika mereka bilang kecewa sehabis nonton, sempet-sempetnya saya membatin, "Syukurrr alhamdulillah." Dih, penyakit hati mah gitu ya? 

Kenapa saya enggak buruan nonton sih? 
Iya, penginnya sih nonton secepatnya. Tapi enggak ada pasangan. Hebohnya kan ada adegan ciumannya segala. Masak harus nonton sama mantan yang sudah dimakan ikan hiu? Secara, suami saya menolak diajak ngemovie, je. Bukan film seleranya, dia bilang. 

Akhirnya saya yang sudah tak kuat lagi menolak baca segala macam review berpotensi spoiler itu, hanya bisa duduk termenung di ruang tamu sambil melihat keluar rumah. Di luar pagar, saya lihat ada dua ibu-ibu sedang bertemu. 
"Sudah nonton AADC, Mbak? Piye critane?" terdengar pertanyaan tetangga saya untuk orang yang ditemuinya itu.  
Mendengar itu, mendadak saya berdoa dalam hati. Please jangan dijawab! Please tulikan saya sejenak Tuhan. 
"Uwiss, Bu. Cinta akhirnya nyusul Rangga ke New York," Pyarrrrr!!!! Fuck! Spoiler yang tak bisa ditolak. 

Maka, sejak kejadian itu, saya semakin uring-uringan. Saya merayu suami sendiri, tapi tetap saja gagal. Lah kok teman saya tiba-tiba bilang begini, "Sudah, enggak usah nonton aja, Tik. Jelek kok. Tak ceritain aja sini."

"Enggak mau! Jangan dibocorin, Mbak!!!" teriakku.
"Halah, akhirnya Rangga dan Cinta balikan kok."
"Mbaaaakkkkkk, please!!!"
"Alya akhirnya meninggal, ih sebel," lanjutnya dengan cengengesan.
"Stooopppp!!!" teriakku lagi.
"Biar kamu enggak nonton sih, Tik," jawabnya setelah saya lemas dan pasrah. 

Tapi sebenarnya, saya mah lupa Alya itu yang kayak gimana? Pokoknya jangan browsing dulu. Sudah telanjur gemesss, harus segera nonton.

Akhirnya, setelah dua minggu lebih film AADC2 diputar di bioskop, dan saya selalu gagal merayu suami, waktunya tiba juga. Saya menemukan pasangan baru buat nonton. Seorang jomblo yang lagi cari pasangan juga. Jodoh mah enggak kemana ya?

Setidaknya, dengan nonton berdua sama dia, saya tak perlu antre tiket. Tinggal berangkat di jam putar film, itu pun pakai telat segala. 




Daaaaan ... film yang saya kira romantis bertaburan puisi itu ternyata tak lebih dari dagelan. 

Iya, beruntung saya sudah dijejali kekecewaan jemaah sosmed, sehingga sudah ancang-ancang untuk enggak berekspektasi tinggi dengan film AADC2. Saya menikmati film tersebut dengan standar yang rendah serendah-rendahnya. Biar enggak jatuh tertimpa tangga, istilahnya. Jadi ya beneran. Menurut saya, film AADC2 itu hanya membekas sebagai film lucu setengah matang. Lucunya pun cuma ketika ditonton. Kalau diceritakan lagi, ya jadi garing. 

Namun, meski begitu, saya kira film AADC2 tersebut mengusung kritik pedas untuk dunia zaman sekarang ya? 

Lihatlah, hanya karena tokoh Rangga itu cakep, populer, legendaris, lantas apapun yang dilakukannya (seakan-akan) menjadi benar. Perselingkuhan itu benar. Merebut tunangan orang itu benar. Sebuah pembenaran yang diaminin banyak orang, tanpa sadar, hanya karena itu dilakukan oleh tokoh yang dikagumi. Bahwa Rangga bersatu dengan Cinta adalah hal yang (diharapkan banyak orang) harus terjadi. 

Menurut saya sih begitu. Jangan marah ya wahai fans berat Rangga! Ini mah hanya catatan nyinyir dari penonton movie amatir. Peace....

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk