Skip to main content

Lima Waktu, Saat Penulis Butuh Transportasi Berbasis Online

Tiga tahun lalu, saya 'kehilangan' motor yang setiap hari saya bawa ke kantor. Motor pemberian orangtua itu, saya pulangkan ke kampung halaman untuk biaya mengurusi Adik. Sejak tak ada motor, tentu suamilah yang kemudian jadi sopir pribadi untuk mengantar jemput saya. Seminggu dua minggu semuanya memang terlihat berjalan baik. Namun, pada pertengahan Januari 2014, akhirnya saya tak tahan dan memutuskan resign dari kantor karena tak tega membebani suami sepanjang hari. 

Jika saya ingat kenangan itu, saya suka membatin, "Seandainya dulu sudah ada ojek online di Yogya, mungkin dalam kondisi terdesak saya tak perlu repot dan merepotkan suami."

Ya, bagi saya pribadi aktivitas antar-jemput itu sangatlah merugikan. Pagi-pagi saat suami seharusnya nulis, ia justru kehilangan gairahnya karena mengantar saya ke kantor. Demikian pun saya yang akhirnya banyak menghabiskan waktu hanya untuk menunggu suami datang menjemput. 

Berangkat dari kerepotan itulah, maka kehadiran aplikasi transportasi berbasis online menurut saya sangatlah brilian. Seperti halnya Uber yang sudah masuk ke Yogyakarta. Kita cukup tekan satu tombol, dapatkan perjalanan ke mana saja. Segampang itu ya zaman sekarang. Kita bisa memanggil ojek tanpa perlu keluar ruangan. Kita bisa pergi  ke mana saja tanpa harus menunggu jemputan terlalu lama. Kenapa begitu? Karena aplikasi transportasi online ini akan menghubungkan driver mereka yang posisinya paling dekat dengan kita. Jadi cepet kan? 


Tampilan aplikasi Uber

Saat saya datang ke acara "Gathering with Uber Jogja" di Agenda Resto & Vibes pada 26 Januari 2017, Mas Gia Andhika bercerita mengenai Uber yang lahir tahun 2010 dan melakukan perjalanan pertamanya di San Fransisco. Tahun 2014 Uber masuk ke Indonesia, yaitu Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Ada enam pilihan layanan Uber yang ada di Indonesia, mulai dari uberX, uberPOOL, uberMOTOR, uberBLACK, uberXL, dan uberTRIP. Namun, di Yogyakarta sendiri baru tersedia uberMOTOR. 
 Dua Pengurus Uber Yogyakarta

Sebagai blogger amatir, saya pikir-pikir ada baiknya seorang penulis menggunakan Uber pada waktu-waktu berikut ini. 

  1. Book Signings di Luar Kota | Ketika kamu sedang berada di luar kota untuk acara book signings atau bedah buku, kamu akan sangat terbantu jika memanfaatkan aplikasi Uber. Misalnya kamu butuh jemputan dari bandara menuju lokasi, atau dari lokasi menuju hotel. Dengan memanfaatkan transportasi berbasis online, kamu tidak perlu merepotkan pihak penerbit, panitia, ataupun teman. Selain bisa mandiri, kamu juga akan lebih tenang jika menggunakan transportasi yang memberikan ansuransi keselamatan bagi penggunanya.  
  2. Wisata Literasi | Sebagai penulis, melakukan wisata literasi tentu menjadi hal yang penting ya. Maka manfaatkanlah Uber untuk mengantarmu sampai tujuan. Selain kamu tinggal naik dan diantar oleh driver berpengalaman, kamu juga bisa tahu estimasi biaya yang harus ditanggung. Tidak perlu nawar-nawar lagi, atau terkejut dengan argo yang bikin pingsan. 
  3. Bertemu Editor | Ketika naskahmu sedang dalam proses penyuntingan, mungkin kamu akan butuh bertemu langsung dengan editor untuk membahas sesuatu yang tidak enak jika hanya lewat online. Nah, saat seperti ini sebaiknya sih kamu menggunakan Uber. Siapa tahu ya sepulang dari pertemuan itu, kamu jadi galau atau malah tidak konsentrasi saking banyaknya ide di kepala. Kalau sudah begitu, nyetir sendiri kan jadi berisiko tinggi. Tapi beda jika menggunakan Uber. Tanpa perlu menunggu jemputan pacar yang lama, kamu sudah bisa duduk manis di mobil sambil baca, atau menulis pakai smartphone
  4. Saat Menunggu Jawaban Penerbit | Bagi penulis yang bolak balik-ditolak media, bolak-balik ditolak penerbit mayor, bolak-balik gagal menang lomba, mungkin akan biasa banget ketika surat elektronik dari penerbit menyatakan naskahnya (kembali) ditolak. Tapi bagi penulis yang menaruh harapan amat tinggi untuk naskahnya bisa lolos, penolakan penerbit menjadi hal yang serius. Saya pernah menjadi editor akuisisi di sebuah penerbit yang memiliki aturan main: 30 hari dari tanggal naskah masuk, penulis sudah akan mendapat keputusan tentang naskahnya. Maka saya sangat terbiasa sebelum tanggal yang ditentukan, penulis sudah meneror lebih dulu untuk mendapatkan jawaban. Mereka bertanya mulai lewat Facebook, Twitter, Blog, sampai Website. Ujungnya saya kena semprot pimpinan redaksi, karena dikira telat kirim jawaban naskah hmmm. Nah, bagi kamu yang mungkin lagi deg-degan menunggu jawaban naskah, sebaiknya jika harus bepergian pakai Uber aja deh. Jangan mengendarai kendaraan sendiri, bahaya. Apalagi kalau sampai ditolak penerbit, lalu galaunya keterusan. 
  5. Saat Butuh Mood yang Baik | Ada penulis yang mengaku tidak bisa menulis jika mood-nya kurang baik. Penyebabnya ada banyak. Misalnya terjebak macet saat mengantar anak sekolah padahal bawa kendaraan sendiri. Tidak ada yang mengantar ke toko buku padahal butuh tambahan referensi. Minta suami mengantar malah pakai debat kusir dulu. Atau menunggu sopir terlalu lama jemput, sehingga kita jadi emosi. Nah, jika sebelum melakukan 'ibadah' menulis kamu harus melakukan perjalanan dulu, maka manfaatkanlah aplikasi Uber. Kita bisa menggunakan uberMOTOR yang antimacet dan juga tidak perlu emosi karena bergantung pada orang lain yang tidak bisa kita paksa profesional. 

Demikianlah lima waktu yang tepat untuk kamu sebaiknya menggunakan Uber. Caranya?


Comments

  1. Nah, kan. Banyak kan yang bisa dihubungkan dengan dunia literasi. Uber pun bisa :))))
    Bagoes! Hahaha.

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk