Skip to main content

Poligami di Ranjang Kami


Di atas ranjang kami sendiri, tiba-tiba ia bahas soal poligami. Ia—suamiku sendiri itu—sekali-kalinya aku diajaknya bicara justru perkara yang kerap jadi neraka. Perkara seserius ini, pertama-tama ia gelar di atas ranjang kami dengan keheranan yang berlebih-lebihan.

“Temanku itu, Sayang, heran aku pada ceritanya. Ia bilang padaku dengan bangga bahwa istrinya mengizinkan poligami. Pantaskah kebanggaannya itu? Bagaimana dengan istrinya?”

Belum sempat kutimpali, ia melanjutkan lagi, “Betul-betul sulit kupahami. Ia biarkan istrinya memelihara pikiran semacam itu. Dan ia sendiri justru bangga.”

Lantas aku bertanya-tanya tanpa suara: kan tak semua bisa kendalikan pikiran orang lain, sedang pikirannya sendiri kadang juga sulit dimengerti. Dan yang keluar dari mulutku adalah: memelihara pikiran semacam itu, apa maksudnya, Mas?

“Poligami, Sayang. Istrinya bersedia memberi izin poligami, memelihara pikiran semacam itu, seperti semua bukan suatu soal yang tidak bakal jadi masalah nantinya. Coba pikirkan, ber-po-li-ga-mi. Tidakkah ia pikirkan bagaimana nasib anak-anaknya? Harta, cinta, kasih sayang, dan segala-gala harus dibagi. Dan pasti, pembagian itu tidak mungkin bisa adil. ”

Tentu ada alasannya, Mas, jawabku. Seseorang mau dimadu, bisa saja karena tertekan, atau berada dalam situasi yang membuatnya harus memilih jalan semenyakitkan itu.

“Tidak, tidak, istrinya tidak tertekan. Juga tidak ada yang menekan,” jawab suamiku buru-buru. Tahu betul kiranya kau ini, Mas?

Lalu apa alasan si suami harus berpoligami?

“Tidak ada alasan. Maksudku, sejauh ini dia toh belum berpoligami. Entah apa alasannya. Aku juga tidak tahu pasti, apakah hanya wacana atau benar-benar sudah ada niatan.”

Barangkali rumah tangga mereka tidak bahagia?

“Bukan-bukan. Mereka kukira cukup bahagia. Mungkin ini hanya bentuk ketaatan seorang istri.”

(Ketaatan? Ya-ya, setiap lelaki tentu mengharap-harap istri yang taat sekalipun diberi kesengsaraan dan menjadi hina dina karena suaminya sendiri. Ketaatan begini macamkah yang mesti diterima perempuan? )

Sebenarnya, temanmu itu, Mas, siapa orangnya?

Ia tidak menjawab. Tidak juga menyebutkan satu nama pun. Tapi kemudian ia perbaiki percakapan ini dengan sekali lagi penekanan, “Mungkin ini cuma wacana.”

(Ya, bisa saja ini semua cuma wacana. Ini semua cuma wacana. Ini adalah wacana. Semua khayal dan opini-opini kita adalah wacana. Bukankah kau sendiri ingin tahu pendapatku tentang poligami, tanpa—tentu saja—berwacana, jika kelak ada dalam kepalamu istilah poligami itu. )

Jika kisah temanmu itu boleh kubikin cerita sendiri, Mas. Demikian;

Suaminya amat baik. Tak ada satu pun cela yang diperbuatnya. Laki-laki baik, yang kurang beruntung karena terlalu membosankan bagi perempuan. Hidupnya monoton. Membikin istrinya kurang bergairah.


Lelaki sebaik itu, kiranya alasan apa yang tepat untuk dapat ditinggalkan. Jika hanya perkara bosan, posisi perempuan di negeri ini, Mas, jika cela sedikit saja bakal sampai mati dipandang rendahan.

Untung saja perempuan itu bernasib baik. Tiba-tiba suaminya berwacana tentang poligami. Hanya wacana. Tapi ia tanggapi wacana itu dengan positif. Seakan-akan luas benar hatinya. Perempuan berpikiran terbuka, bijaksana, taat pada suami. Tanpa siapapun tahu, bahwa sebenarnya ia sendiri hanya tengah bersandiwara, mencari alasan untuk melimpahkan kutukan paling buruk sebagai pasangan yang tidak setia. Lelaki malang itu, karena kemalangannya, akan dikutuk dan dihujat lantaran memadu istrinya yang baik. Pasangan yang tidak setia, tentu saja boleh ditinggalkan untuk selama-lamanya.  Begitukah, Mas?

“Ngeri! Aduh! Ngeri betul isi kepalamu itu, Sayang. Aku tidak pernah membayangkannya. Ngeri! Ngeri!” Lalu ia pergi. Dan dalam hatiku berbisik, kan kau tak pernah tahu Mas, kenyataan bisa lebih mengerikan dari sekadar cerita-ceritaku yang sesederhana ini. Kenyataan yang bisa kubikin-bikin dari ceritaku sendiri.


*Iki fiksi loh, ojo serius-serius. 

Comments

  1. Jangan2 bojomu pengen poligami tapi mempersonifikasikan keinginannya dalam bentuk 'teman yg tak disebutkan namanya'. Kadang lelaki pake cara kek gitu buat nyari tau pendapat tanpa resiko bakal dicurigai. Iki ming jangan2 lho ya, aja dianggep serius

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iki mung cerita pendek, fiksi loh Mas hahaha. Amit-amit jabang mbayi. *Sambil ngulek sambel prak prak prak.

      Delete
  2. Duh ceritanya menarik banget hahahaha :-D Nulis terus, creativ banget tulisannya mbak... heheheh salam kenal, blogger tasik

    ReplyDelete
  3. Beberapa temanku, istrinya memang menyuruh mereka berpoligami. Salah satunya kepala seksiku sendiri. Mereka pasangan bahagia, beranak 4. Alasannya apa saya tak tahu. Juga saya pernah bertemu Gus Plered, istrinya tiga. Istri kedua dan ketiganya, yang mencarikan istri pertamanya. Keduanya anak yatim.

    Saya perhatikan karakter keduanya sama, sangat bertanggung jawab, sehinga sang istri ga ada kekhawatiran ditinggalkan, mereka meyakini suaminya sangat baik, dan ada baiknya kebagikan itu dibagikan ke orang lain. Cinta yang sungguh luar biasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cinta luar biasa yang tak semua orang bisa memilikinya, Mas :)

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk