Takbir Pertama Kami di Yogyakarta
Tidak usah mudik. Begitu pesan orang tua dan mertua tahun ini. 2017. Tahun pertama bagi saya dan suami untuk memutuskan tidak pulang kampung ketika Lebaran.
Alasan kami tidak mudik memang tak hanya satu, tapi satu-satunya yang paling kami pertimbangkan ialah supaya saya tidak mengalami lelah perjalanan. Ya, saya sedang hamil tiga bulan, anak pertama, dan perjalanan ke kampung halaman tak cukup 1-2 jam.
Sebagai seorang perempuan, ini adalah tahun pertama bagi saya untuk memikirkan menu Lebaran dan kue di meja tamu rumah kami. Terlebih, satu hari sebelum Lebaran, suami saya ulang tahun. Namun, saat jarum jam bergerak ke angka 1 dini hari di tanggal 24 Juni, tak ada kue ulang tahun yang saya nyalakan. Saya terbangun hanya untuk menghidupkan ricecooker yang memasak nasi sahur. Selesai itu, saya kembali ke kamar, memeluk suami yang sudah tidur sebelum hari berganti.
Tidur yang terlalu lelap, rupanya justru melenakan kami hingga subuh datang. Maka hari itu benar-benar tak ada kue ulang tahun, bahkan sahur pun terlewat.
Saya tidak tahu bagaimana perasaan suami saya. Di perumahan kami, hanya tinggal satu dua pintu rumah yang terbuka. Benar-benar sepi rasanya. Terlebih ketika satu per satu teman seperantauan pamit mudik, diam-diam ada sesuatu yang menyusup dalam dada; perasaan sepi ditinggalkan.
Usai berbuka puasa, terdengar sayup-sayup takbir di kejauhan. Suami pun mengajak saya takbir usai Salat Magrib. Ah, saya melantunkannya dengan bibir bergetar menahan haru. Haru atau sedih tak ada bedanya. Saya benar-benar ingin pulang. Ingin sekali pulang.
Meski pulang kampung selalu menguras tenaga, hati, pikiran, dan dompet, tapi kami sungguh bahagia hanya dengan berkumpul dengan keluarga. Hanya keluarga kekayaan hati kami.
Meski pulang kampung selalu menguras tenaga, hati, pikiran, dan dompet, tapi kami sungguh bahagia hanya dengan berkumpul dengan keluarga. Hanya keluarga kekayaan hati kami.
Bagi saya, malam takbir adalah malam paling indah sepanjang saya mengingatnya. Malam bersantai dengan keluarga, malam paling berkesan yang bisa dinikmati hanya dengan duduk-duduk di teras rumah sambil mendengar takbir bersahut-sahutan. Saya tak mengira, hati yang rasanya mantap tidak mudik, rupanya ambruk juga saat takbir dilantunkan.
Mungkin suami tahu bahwa saya benar-benar dalam kondisi hati yang tidak baik. Meski saya mencoba tersenyum di depannya, tapi perasaan kami tentulah sama. Sama-sama sesak menahan haru.
Sehabis isya, ia mengajak saya pergi ke Malioboro. Kami janjian nongkrong dengan teman yang masih tersisa di Jogja. Di Malioboro itu, takbir di masjid-masjid tak sampai di telinga kami. Hanya sesekali takbir keliling lewat mengingatkan kami kembali bahwa besok adalah Idul Fitri.
![]() |
Saya dan suami di Malioboro |
Idul Fitri tahun ini memang berbeda bagi kami. Kami belajar tangguh jauh dari orang tua untuk belajar menjadi orang tua yang lebih tangguh. Usai Salat Idul Fitri, kami bisa tersenyum sambil berpelukan. Kesedihan malam takbir telah berlalu. Tinggal kebahagiaan sebab telah lepas setiap dendam dari keputusan untuk saling memaafkan.
0 komentar
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....