Skip to main content

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah. 

Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian. 

"Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu. 

Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja, "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?"

Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan. Punya hak apa, orang-orang ikut menghakimi? 

Aku tahu aku yang dosa ini begini lancang bicara pada Tuhan. Aku hanya tidak ingin mengumpat. Aku ingin memaafkan, ingin menghapus rasa sakit, ingin memaklumi segala hal, maka tolong selamatkan aku untuk tidak membenci, ya Allah.

Dan, barangkali Tuhan memberi jalan.

Aku masih mengingatnya. Jauh hari sebelum hari ini, budheku meminta suamiku untuk datang ke pengobatan alternatif islami milik Pak Yahya di Jogja. Budheku ingin berobat ke sana jika memungkinkan. Tapi berapa kali Lebaran berlalu, kami tak juga ke sana. Begitu pun ibu mertuaku, yang tiba-tiba menelepon siang itu: "Nonton Semarang Tivi, Nduk, saiki." Aku jawab, di Jogja mana ada Semarang TV, Bu? Namun, Ibu kembali bersikeras, "Ono, cobanen. Ono Pak Yahya." Lalu telepon mati. Tak berapa lama, SMS masuk ke handphone-ku. Dari Ibu yang berisi alamat pengobatan alternatif yang jauh sebelum hari ini pernah dikirim Budhe. Bedanya, Ibu memintaku ke sana untuk program hamil. Namun, sama seperti pesan Budhe, SMS Ibu ini pun terabaikan cukup lama. 

Sebenarnya, bukan maksud hati tak percaya dengan pengobatan alternatif. Tapi kami yang penuh dosa ini, rasanya tak sampai-sampai jua waktu mematut diri untuk menjalani terapi dari Pak Kiai. Pantaskah kami? Pantaskah kami yang angkuh ini? Sementara, kami sendiri memang sedang menjalani program hamil melalui medis. Toh, di medis ataupun alternatif, jika Allah menghendaki, akan sama juga hasilnya. Maka kami masih berjuang dengan medis, hingga habis uang, dan rasa lelah yang nagih terus menerus karena harapan sembuh itu semakin tercerahkan dari hasil alat dokter. Ya, semula aku penderita PCO karena kegemukan dan suamiku juga butuh terapi khusus yang ditangani langsung oleh dokter andrologi. Serius ya? Biayanya juga cukup serius. Hingga kami terpaksa berhenti, mengambil jeda napas untuk kembali menghimpun pundi-pundi tabungan. 

Saat berhenti cukup lama itulah, pada Januari 2017, saudara dari kampung mengabari sedang mengantar mertuanya yang sakit struk berobat di pengobatan alternatif Pak Kiai Yahya yang dimaksud Ibu dan Budhe. Saudara suamiku itu minta dicarikan charger handphone. Maka kami pun datang ke sana dengan niat menemui saudara, namun malah kami kepincut ikutan daftar terapi. 

Jadi, semua mengalir begitu saja. Sepulang dari perkumpulan itu mataku berkaca-kaca mensyukuri nikmat sehat yang masih diberikan Allah selama ini. Di sana, ada banyak sekali orang sakit, yang barangkali sudah kehilangan harapan di medis, namun masih mau berjuang dengan kekuatan doa lewat Pak Yahya. Mungkin juga sebenarnya begitu pula yang terjadi denganku. Kami pasrah karena tak sanggup lagi ke dokter. Kami pasrah bahwa hanya Allah yang mampu menjadikan kemustahilan menjadi mungkin. Maka kami ikhlas menjalani terapi yang membutuhkan waktu panjang di atas sajadah. 

Malam-malam panjang itu, kerap kupandangi punggung suamiku usai salat. Lalu tebersit dalam hati, "Ya Allah, masihkah Kau sudi mendengar doa kami yang angkuh ini?" 

Diam-diam air mataku hampir tumpah mengingat orang tua di rumah. Kami tak berhenti berusaha, Bu, Pak, Ma. Jangan ambil hati ucapan orang yang menyakitimu karena kami. Jangan pernah sakit karena kami. Sebab kesakitan kalian seumpama tombak yang membikin dada kami kian berlubang. 

Bulan April 2017--bulan ketiga sejak terapi ke Pak Kiai--aku tak merasakan tanda-tanda yang menyenangkan. Justru aku merasa tubuhku seperti penyakitan. Ngomong selalu ngos-ngosan. Jam 8 atau 9 malam udah tepar. Keinginanku makan pedes luar biasa menjadi. Dari sambel Banteng Nganga, sampai nggado Boncabe setiap hari. 

22 April 2017, aku melakukan perjalanan ke Kediri. Perjalanan ekstrem karena suami membawa mobilnya sangat cepat di atas jalan berlobang. Sepanjang jalan, aku hanya ngemil kerupuk koin superpedes, tidur, ngemil, tidur, ke toilet mengejan sekuat tenaga karena mendadak susah p*p. Teman perjalananku sampai pendarahan banyak karena sedang haid dan duduk di kursi paling belakang. Aku bilang ke suami, "Bawa mobilnya pelan ya, siapa tahu Adik hamil." Aku sempat ragu-ragu mengatakan ini karena belum waktunya haid, dan sebelum-sebelum ini selalu negatif dengan duga kira yang kepedean tapi bikin seneng itu. Tapi ini demi supaya suamiku hati-hati. Kasihan penumpangnya. 

Pulang dari Kediri, keinginanku makan yang pedes-pedes tak juga hilang. Aku jadi suka ngemil stroberi, dan mencari lutisan yang sedang susah di sekitar rumah seperti punya kekuatan yang entah barantah. Dari situlah, aku curiga tengah terjadi sesuatu denganku. Aku pergi ke apotek, dan paginya melakukan ritual yang sudah sering dilakukan di bulan-bulan terdahulu. 

Daaan hasilnya? Ya, tanda positif di tespack itu sekarang telah menjadi janin berkelamin laki-laki berusia 4 bulan di perutku. Alhamdulillah tak habis-habis kuucapkan. 
Saat tanda positif itu muncul di stik tespack, aku berlari ke kamar tidur, membangunkan suami secara sarkas, dan menunjukkan hasilnya dengan senyum malu-malu. Mata kami pun bertemu sejenak, sempat berkaca-kaca, dan spontan dipeluknya aku erat-erat. Kami bergegas mengambil wudu, dan mengucap syukur kembali di atas sajadah di subuh yang masih petang itu. 


***
Catatan ini saya tulis, bukan untuk pamer, tapi justru sebagai pengingat, dan harapannya bisa menjadi semangat bagi teman-teman yang masih berjuang untuk hamil. Doakan saya dan calon bayi kami sehat, sempurna, lancar persalinannya, dan lahir selamat ya. 

Comments

  1. Selamat ya Tikah, sehat terus ibu dan debaynya. Perjuangan blm selesai, semoga lancar smpi persalinan ya sayang. Doa baik utkmu selalu. Nular nular nular ke aku yaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiiin. Makasih Manda. Iya, semoga lekas nular ke kamu. Semoga Allah meridhoi segala usaha kita.

      Delete
  2. Alhamdulillah Mba, saya juga dulu nikah 2 th lebih baru hamil dan sekarang sudah melahirkan dengan ramah jiwa, semoga Mba dan baby sehat selalu sampai melahirkan nanti aamiin^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiin. Makasih Mbak. Semoga kami juga akan melewati masa persalinan dengan gampang, selamat, sehat, lengkap.

      Delete
  3. Terharu biru ngebacanya. Belum nikah, belum hamil, tapi bisa ngebayangin perasaan kakak gimana. Semoga kakak dan dedek sehat selalu ya 💕💕💕

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiin. Makasih Diana. Semoga kelak, setelah menikah kehidupan kalian bahagia ya. Kalau pengin lekas hamil, dimudahkan. Kalau mau ditunda ya ditabahkan dari omongan orang hehehe

      Delete
  4. mbakk seriusan ngemil boncabe??? kok tiba2 aku kepedesan. selamat yaa mba tika. sehat terus yaa mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiin. Makasih Vi. Iyaa dulu aku sampai ngemil Boncabe, serius. Aku sampai beli yang botolan. Aku tuang di tangan, tak jilati. Ya ampun. Sampai ketahuan hamil, disuruh dibuang sama suamiku. Katanya stop! Kasihan bayi kalau dikasih cabe-cabean dan bubuk bermsg hehehe.

      Delete
  5. Terharuuuuuu maaaakkk....
    Sehat selamat lancar semua yaaaa
    Ikut bahagia ��������

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mak Aya. Doakan kami yah. Bismillah.

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk