Skip to main content

Kuberi Judul Tentang Pernikahan Kami

Aku mengembuskan napas panjang, saat seorang teman bertanya tentang hubunganku dengan Mas Zul. Rasanya dadaku seperti sedang dicubit semut merah balas dendam karena melihat kawannya lebih dulu kumutilasi. Ya, memang tidak terlalu sakit sih, tapi perih, dan gatal kemudian. 

"Masa kalian belum pernah bicara soal lamaran?" tanyanya lagi. 
Aku hanya bisa menggeleng lemah. Jangankan membahas lamaran, mengomentari artis kawinan aja bikin Mas Zul sensitif. Dikiranya ... aku ini sedang ngasih kode untuk segera dinikahi. Sedangkan dia yang masih menempuh gelar masternya selalu merasa belum siap.

Aku dan Mas Zul memang sudah pacaran selama 4 tahun. Wajar kiranya jika mulai muncul pertanyaan-pertanyaan ngeselin seputar kapan dan kapan. Waktu itu, usiaku 24 tahun dan Mas Zul 27 tahun. Masih terbilang muda bagi kami, tapi tidak bagi orang tuaku di kampung. Itulah yang membikin aku gelisah ketika harus pulang menjelang Lebaran. 

Ya, Agustus 2012, akhirnya aku pulang dengan jawaban yang sama; bahwa aku dan Mas Zul belum siap untuk menikah. Namun, ibuku tiba-tiba bercerita panjang lebar mengenai ramalan buruk tentang hubunganku dengan Mas Zul. Katanya, Mas Zul memang begitu mencintaiku, tapi tak punya keberanian untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Dan mungkin, dia akan lebih lama bermain-main dengan hubungan kami, sampai aku merasa bosan, lalu mundur secara teratur. 

Entah mengapa, kata main-main yang terus terngiang di telingaku itu benar-benar membuat darahku mendadak naik. Aku mengambil ponsel, lalu menekan nomor Mas Zul. 
"Kalau Mas enggak berani bilang ke orang tua Mas tentang hubungan kita yang serius, lebih baik kita putus," ancamku. 

Dari suaranya Mas Zul terdengar kaget dan marah. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada masalah yang tidak dia ketahui, tapi membuatku mempertaruhkan hubungan kami. Padahal terakhir bertemu, kami sungguhlah dalam keadaan baik-baik saja. Aku pulang ke kampungku, dan dia mudik ke tanah pesisirnya. 

Karena aku bersikeras dengan ancamanku itu tanpa memberi tahu alasan sebenarnya, bahwa aku ketakutan, akhirnya Mas Zul mengiyakan. "Mas akan bilang ke Bapak tentang hubungan kita. Tapi kalau Bapak menolak, kita benar-benar akan berakhir."

Ya. Mau tak mau, aku mengangguk dengan ngilu.

Dua jam kemudian, nomor Mas Zul muncul di ponselku. Aku gemetar menekan tanda oke yang mungkin saja menjadi pintu dari sejuta kemungkinan buruk. Namun ternyata dugaanku keliru. Suara Mas Zul terdengar renyah. Dia bilang bahwa bulan ini juga, bulan Syawal di tahun 2012, orang tuanya akan datang ke rumahku untuk lamaran. 

Jujur saja aku kaget karena tak pernah terpikirkan akan secepat ini jadinya. Sebenarnya, aku hanya berharap ada kejelasan tentang hubungan kami. Itu saja. Sederhananya; Jika Mas Zul berani mengatakan pada orang tuanya bahwa kami serius saja itu sudah cukup. Tapi ini lamaran. Ya, lamaran yang beberapa hari lalu kubicarakan dengan teman-temanku sebagai momen yang rasanya mustahil terjadi padaku di tahun 2012.

Akhirnya, kami memang lamaran sekira 10 hari setelah kejadian ancam mengancam itu. Ketika kuceritakan ke bosku saat minta cuti, dia tanya: kamu mau buru-buru menikah?

Aku menggeleng mantap. Aku bilang, mungkin menikahnya masih dua tahunan lagi. Nunggu Mas Zul selesai kuliah dan kami punya tabungan sendiri yang cukup. 

Namun, pada hari H lamaran ... kalimatku itu rasanya menguap entah ke mana. Kesepakatan dua keluarga, memutuskan pernikahanku di bulan Besar, sekitar Oktober atau November. Namun, aku dan Mas Zul masih positif thinking bahwa pernikahan kami akan berlangsung di bulan November. 

"Mana mungkin Oktober. Terlalu cepat kan, Dik," katanya. 

Aku mengangguk.

Namun, siapa sangka. Kabar mengejutkan itu mendadak datang dari ibunya di pertengahan September. Ibu bilang kalau tanggal pernikahan kami sudah ditentukan, yaitu tanggal 19 Oktober 2012. 

"Kok cepet sekali, Bu," teriak Mas Zul yang kaget saat menerima telepon di depanku. 

Aku juga kaget bukan main. Artinya, pernikahan kami akan berlangsung hanya dengan persiapan satu bulan. Ibu lalu menjawab: katanya pengin cepet-cepet nikah, dikasih cepet malah kaget. 

Dan kami tak bisa protes lagi. Ini adalah konsekuensi dari keputusan untuk melibatkan orang tua dalam hubungan kami. 

Dengan persiapan yang supersingkat itu akhirnya kami menikah. Rasanya kalau dipikir-pikir lagi kok ya ajaib sekali ya. Rasanya dalam sebulan ada kekuatan Bandung Bondowoso yang membantu kami mewujudkan semuanya. Mulai dari membuat buku puisi untuk souvenir, foto pre-wedding, undangan, mencari tempat tinggal, sampai dengan pritilan-pritilan lain yang kami sampingkan karena sama-sama kerja. 

Saking mengejutkannya pernikahan kami, beberapa teman mengira aku hamil duluan.  Terus apa yang bisa kami jelaskan? Maka beberapa ledekan itu, kami iyain aja dengan cengengesan. Padahal untuk bisa hamil sekarang ini, aku butuh waktu 4,5 tahun hehehe. 

Hari ini, tepat 5 tahun usia pernikahan kami. Meski supersingkat cara mempersiapkannya, tapi semoga panjang umurlah pernikahan ini dengan segala kebahagiaan-kebahagiaan yang luar biasa. Selamat menapaki tahun keenam pernikahan, lelaki pesisirku. Jangan pernah bosan jadi lelakiku. 


Btw nih, sensitifan mana sih sebenarnnya perempuan atau laki-laki, kalau dihadapkan dengan pertanyaan kapan nikah?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk