Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2014

Mencintai Perempuan Matre?

  Seorang teman bilang, ia memiliki budhe ipar yang matre sekali. Di keluarga besarnya cerita ini diputar berkali-kali, ke saudara, ke teman, ke anak, ke cucu, bahkan ke anggota keluarga yang baru sekalipun.  Cerita ini beredar sepotong-sepotong, sama tak lengkapnya seperti yang sampai ke telingaku. Sebelum cerita diakhiri, temanku bilang "Sebaiknya jangan dapat istri dari daerah Tenggara, biasanya orangnya matre kaya budheku yang itu," begitu ia menirukan kalimat yang (mungkin) sudah ia dengar berkali-kali dari keluarganya.   Orang Tenggara matre? Adilkah memberi stempel suatu daerah hanya dari kesalahan satu nama? Aku mulai memikirkan, adakah ini sebuah kekeliruan? Bagaimana kalau ternyata cerita ini hanya sebuah kesimpulan keliru, dari potongan cerita yang tak lengkap.   Lalu aku bertanya, apakah temanku yakin kalau budhenya itu benar-benar matre? Apa yang dilakukan perempuan tersebut sehingga malang sekali nasibnya menjadi istri dengan stempel matre?

Surat untuk Zai

Zai, kulubangi sendiri dadaku sebab tak kuharapkan lagi mimpi-mimpi itu menyusun kesepian lebih pahit di tubuhku. Sebagai perempuan, mestinya kau bisa memahami akan hal ini, bukan? Saat kita terlalu mengharapkan keturunan, semua hal diusahakan. Begitupun yang kulakukan, Zai. Meski aku tahu, aku seorang diri melakukannya.  Kau mungkin bertanya- tanya bagaimana dengan suamiku? Apakah pernikahanku bahagia? Ya, tentu saat ini kabar kami sangat baik, dan sekuat tenaga aku berharap ketiadaan anak di perkawinan kami tak membuat kebahagiaan ini berkurang. Ah. Cukup. Kau tak perlu ikut-ikutan mereka menasihatiku tentang banyaknya perempuan senasib aku di luaran sana.  Apa kau tahu seberapa banyak yang kudengar? Seberapa banyak buku dan artikel yang kubaca? Serasa semuanya melekat di kepalaku. Sampai-sampai aku tak mengira jika tubuhku menyusun sendiri kemungkinan-kemungkinan yang membahagiakan. Aku memiliki kebahagiaan karena aku bermimpi, sementara suamiku yang sama sekali tidak punya mim

Suami Siaga

Saat melihat ibu hamil mengantre sendiri di ruang tunggu rumah sakit, pasti satu di antara kita ada yang kepikiran negatif. Mungkin suaminya nggak bertanggung jawab karena hamil hasil 'kecelakaan'? Mungkin suaminya jauh dan tega sekali tidak menemani istrinya di kota yang sama. Mungkin pernikahan mereka tidak bahagia. Mungkin suaminya mati, mungkin dan seribu kemungkinan negatif lainnya.  Jujur saja, sebelum menikah aku ngggak suka dengan pikiran pikiran negatif tersebut, yang kadang seringkali dijumpai dari teman teman yang nyinyir. Kenapa kita nggak berpikir sebaliknya. Barangkali, suaminya sibuk sekali mencari biaya untuk persalinan, sehingga perlu memprioritaskan salah satu. Dan ia memilih untuk tidak menemani istrinya yang ia anggap tangguh dan luar biasa. Mungkin perempun hamil itu seorang yang sangat menerima, dan pengertian betul akan ketidakbisahadiran suami. Atau justru, dia tipe perempuan ngeyel yang nggak sabaran untuk dianter suami? Eit, yang terakhir ini masih