Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2013

*Sebuah Rumah buat kita

Beginilah mencintaimu, membangun yang baru tak luput dari merobohnya bangunan lama.   Di tubuhku, Mas, biarlah mimpi-mimpi kualamatkan kepadamu. Kamar-kamar dikosongkan, sebab telah takdirku bermuara di rumahmu.  Kelak, Mas, kau mesti berlayar. Sedang aku menghuni rumah, merawat anak-anak dan buku-buku. Barangkali lebih patut begitu. Pun jika tidak, biarlah kita terasing pada kertas dan pena masing-masing. Segala yang sekarang, telah membuat kita tak sempat mencatat apa-apa. Terlebih kau ... sebab kau ini tak lain dari penanggung beban menghidupi kami. Ah, Mas. Cintaku....

---tet

Umpama peperangan.  Semisal kau dirampok dan melawan.  Sekuat tenaga kaulawan musuhmu. Kau lawan, kau lawan sekuat tenaga, trikmu pun bocor, dan kau kalah.  Lehermu berhadapan dengan mata pedang musuhmu. Lalu si musuh bilang "Ayo lawan!". Atau pada pertarungan lain, kau berkelahi. Kau telah berdarah-darah, kalah dan tanpa daya. Kemudian si lawan bilang "Ayo lawan sobat, aku tak akan menyerangmu lagi" Ini semacam kalah diskusi. Sebab lawanmu terlalu tangguh. Kemudian kau menangis sesenggukan hingga pikiranmu jadi tak jernih, suaramu hilang. Lalu teman diskusimu bilang "Ayo bicara, jangan cuma nangis" 

*Menyempit

Jika ada sesak memenuhi dadaku, aku akan mengadu padamu, akan bicara.  Tapi jika setiap pembicaraan kita tak pernah bisa bersepakat. Dan aku dibuat tak bisa bersuara selain bilang terserah, maka aku akan menulis. Menulisi kesakitanku.  Namun jika menulis begini pun kau jadi marah. Aku tak lagi tahan buat menahan tangis.  Biarlah aku menangis, Mas. Mengalirkan sesakku tanpa suara. Ini jalan paling akhir melonggarkan dada. Aku pasrah. Yang mungkin tak perlu melibatkanmu. Dan jika kau tak sudi melihatku menangis, memintaku buat berhenti, buat diam tanpa sesenggukan, kemana lagi kubuang sesak ini? Kan begini ini, berarti aku mati, Mas, telah mati tinggal raga yang bisu. Dan bakal mati seluruhnya, sebab hatiku perlahan jadi busuk.  Kau kan bukan Soeharto, Mas, yang membungkam orang-orang berpendapat. Bukan. Tentu saja bukan.

*Pasrah

Jika tulisan-tulisan pada buku harian, pada handphone pada segala yang bisa kaubaca. Membikin kautahu kedalaman-kedalam pada mimpiku. Pun tetap tak membikin kaupaham dari sekadar tahu. Maka aku tak ingin menulis lagi.  Aku menulis lantaran tak punya banyak cara untuk bicara. Membicarai kita. Supaya aku tak menyesal pada hal-hal yang tak patut disesali. Begini ini, setan akan menghuni hati yang berapi-api, maka aku ingin padam. Melenyap dari suara-suara di kepala.  Jyan. Apa guna membaca jika tak punya tindakan. Apa pula untungnya menulis jika tak bersuara. Lalu aku ingin hilang dan kau tak bakal tahu apa telah bersembunyi di dadaku. Mungkin itu lebih baik dari sekadar berteriak tapi diacuh tak acuhkan. Meski tak patut kukatakan sia-sia.  Tuhan telah berbaik padaku yang lalim. Sebab barangkali Ia tahu, selalu ada niatku untuk kembali taat. Manusia dilahirkan sendiri. Pun kelak jika mati. Lalu apa hak seorang diri, mengharap-harap diri punya imam. Mengharap diimami p

Cerpen Jelangga

Jika si lelaki yang membikin salah, perempuan berkewajiban buat menutupi aib suami. Jika kelak si istri yang membuat malu, buat apa mengasuh perempuan pembawa aib. Katanya. Buang saja, buang. Sialan. Lelakinya terjadwal pergi ke luar kota selama dua hari.  Istri mana tak jadi senang bila ia menemukan dirinya yang dulu, bebas, tanpa terikat. Apalagi di saat suasana hatinya sangat buruk. Ia tak tahu mesti bercerita pada siapa? Yang dua hari itu, ia menimbun-nimbun rindu. Dibayang-bayangkannya, ketika nanti si suami pulang, hatinya sudah akan membaik. Kadang ia butuh sesuatu yang baru, tempat baru, perlakuan baru, yang bakal bikin cintanya kembali bermekaran.  Jika suaminya pulang, ia berencana berdandan, dengan wewangian pula akan dipakainya. Sore hari setelah lelah bekerja ia bereskan rumah sampai rapi. Ia akan menyambut suaminya dengan cantik dan rumah bersih. Ia sengaja tidak masak. Biar saja. Toh si suami bakal sampai di rumah pada tengah malam mendekati pagi

Tespack

Demi segaris testpack kubacai doa-doa di kamar mandi. Aku si pelupa, ibumu, Nak. Melupa jika tak sembarang tempat boleh melafadzkan ayat tuhanku. Tuhan yang kelak kuwariskan pula kepadamu. Maka tak perlu kaupikir bakal menyusahiku. Kan, ibu macam mana menyesali jasa-jasa, menghitung ini itu. Sedang nantinya kau pun tau, tak ada kelahiran tanpa darah.  Lalu, untukmu segala jalan mesti dilewati.  Tak pernah ada yang sesesia ketika diam tanpa usaha.  Bahkan, sebelum kautumbuh di rahimku, Nak. Kuhargai niat kedatanganmu tanpa percuma Sekian testpack, sekian harapan.

*Melawan Membuatmu jadi Ada

Mendadak si istri jadi uring-uringan sendiri. Sial, kepada siapa ia mesti mengeluh? Pernikahan membatasinya buat menjaga banyak hal. Termasuk mengendalikan ucapan. Ketika hatinya benar-benar kalut karena ulah si suami, ia pun musti bungkam. Konon, menyimpan aib suami ialah keharusan. Maka ia menyimpannya sendiri di dadanya. Tanpa ia tahu, segala yang buruk jika disimpan di dadanya bakal membusuk. Ia bisa mati sebab hatinya kena sirosis.  Namun kini ia uring-uringan bukan perkara ribut dengan suaminya. Ia punya masalah yang membikin moodnya meletup-letup. Masalah yang datang dari luar rumahnya. Tapi kepada siapa lagi ia musti cerita? Si suami, yang konon musti dijaga aibnya pun tak mau membicarakan aib orang lain. Sekali-kalinya si istri membuka obrolan, si suami bakal meresponya dengan kasar. Yang lebih membuatnya sakit ialah ketika si suami tidak menanggapinya sama sekali, dan justru mengalihkan pembicaraan. Si istri sering mencoba buat menghapus pikiran buruk yang muncul dan