Di atas ranjang kami sendiri, tiba-tiba ia bahas soal poligami. Ia—suamiku sendiri itu—sekali-kalinya aku diajaknya bicara justru perkara yang kerap jadi neraka. Perkara seserius ini, pertama-tama ia gelar di atas ranjang kami dengan keheranan yang berlebih-lebihan. “Temanku itu, Sayang, heran aku pada ceritanya. Ia bilang padaku dengan bangga bahwa istrinya mengizinkan poligami. Pantaskah kebanggaannya itu? Bagaimana dengan istrinya?” Belum sempat kutimpali, ia melanjutkan lagi, “Betul-betul sulit kupahami. Ia biarkan istrinya memelihara pikiran semacam itu. Dan ia sendiri justru bangga.” Lantas aku bertanya-tanya tanpa suara: kan tak semua bisa kendalikan pikiran orang lain, sedang pikirannya sendiri kadang juga sulit dimengerti. Dan yang keluar dari mulutku adalah: memelihara pikiran semacam itu, apa maksudnya, Mas? “Poligami, Sayang. Istrinya bersedia memberi izin poligami, memelihara pikiran semacam itu, seperti semua bukan suatu soal yang tidak bakal jadi masala
Memahat sejarah, mengarsip kisah-kisah.