Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2012

*Catatan pengganti doa buat pelayanan umum yang jauh lebih baik

Satu tahun yang lalu, eh, lebih dari setahun yang lalu. ketika aku kembali pulang menaiki kereta api. Aku hampir menangis ketika di jendela kereta, di pintu-pintu gerbong terpampang tulisan "Pedagang Asongan dilarang berjualan di Kereta Api". Apa-apaan ini batinku. Mau dikemanakan pedagang-pedagang itu jika di luar kereta api pengangguran telah antri mengharap nasib baik.  Kemudian isu-isu penertiban itupun berembus. Sampai sekarang, peraturan itu kini menjelma jadi jeruji. Makin ketat makin tak kenal kompromi. Di antara penertiban itu, aku bersyukur karena pedagang asongan, pengamen bahkan banci kereta api masih bisa beroperasi. Sebab, penertiban itu rupanya diberlakukan hanya untuk para penumpang. Kini, tak lagi gampang mencari tiket untuk perjalanan yang direncanakan mendadak. Kereta api ekonomi sekalipun telah berubah menjadi alat transportasi yang ekslusif. Kenyamanan terjamin, tidak perlu berebut kursi. Alat transportasi yang murah namun sulit dijangka

RIP lelaki yang kusebut Lilik.

Aku masih ingat ketika pukul 09.00 pagi, lelaki itu menelponku. Ia mengatakan sedang terapi di pengobatan alternatif. Selain menanyakan kabar, rupanya ia sudah mendengar kabar aku akan menikah. "Kok malah terapi, bukannya mau operasi, Lik?"    Aku cukup heran. Rencana operasi yang dijadwalkan rumah sakit sebelum lebaran justru mengaret tanpa kabar lanjutan. Kenapa tidak dirujuk ke lain rumah sakit. Ah, aku tak berani bertanya. "Mungkin rumah sakitnya ndak sanggup, makanya ndak telepon-telepon lagi" katanya putus asa.    Ia lelaki yang baik. Adik dari ayahku. Kemudian kami terus mengobrol, menanyakan kabar keluarga karena setahun sudah kami tidak berjumpa. "Doain lilik bisa sembuh ya, Ik. Biar bisa datang pas kamu nikah" Aku mengiyakan sembari berdoa. Yah, pasti kamu sembuh, Lik. Meskipun aku tidak tahu seberapa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu cukup tegar, cukup mampu menyembunyikan kesakitanmu dari kami. Bahkan, berat tubuhmu stabil dan tak membah

Cara yang beda untuk mencintai satu hal yang sama

Kenapa musti memusuhi, jika kau tahu setiap dari kita punya cara sendiri untuk mencintai. Seperti aku mencintaimu, seperti aku mencintai rumah yang kau bangun, rumah yang sengaja kurawat supaya sesekali kau bisa pulang.  Aku hanya memindah pot-pot bunga ke halaman. Mengganti ranjang yang tak lagi layak pakai. Membenahi buku-buku dan tak bermaksud menggantikan peranmu di rumahmu. Aku belajar tahu, di mana salahku ketika diam-diam kau tak sudi lagi untuk pulang.  Aku tahu, ada banyak hal yang berubah yang membuatmu asing. Tapi aku hanya ingin kau tahu, begitulah aku mencintaimu, mencintai rumah yang kau bangun supaya tak jadi roboh dan kita akan semakin jarang bertemu.

Edisi mengarsip kekecewaan

"Mereka hanya takut dilupakan. Meski kita sama tahu, merekalah yang lebih dulu lupa zaman. Menolak kedatangan, sebab mereka takut kehilangan" Ini kalimat pemantik yang membakar hati seseorang.  Lalu aku bilang sama temanku. Kalimatku itu membakar hati seseorang dan membuatnya marah di jejaring sosial. Kuceritakan bahwa apa yang kulakukan dikatakannya tak berarti, sebab menggembor-gemborkan perubahan tapi masih nebeng eksistensi masa lalu. Temanku itu cuma tertawa. Lalu dengan kesadaran yang tidak bisa kupredisksi, ia menenangkanku dengan begini.  "Perubahan tuh nggak ada yang orijinal. Pasti ada awal yang diamati, lalu ditiru dan diinovasi. Sarkem awal pasti nggak sekonyong-konyong lahir, pasti ada komunitas lain yang mengilhami asal muasalnya" Itu kata temenku. Dia teman yang cerdas. Meskipun aku tahu ia suka berpikir hal-hal paling absurd yang tidak dapat kunilai baik secara normatif.  Kemudian aku jadi tersenyum. Kenapa aku harus dipusingkan d

Aku mencintaimu, sebab kamu bukan bunglon

Ia lelaki yang punya sikap paling jelas dalam menanggapi semua masalah. Kalau ndak suka si A, nggak bakal pura-pura bilang iya. Kalau ia berbaik hati sama orang, aku bisa bertaruh jika itu datang dari hatinya yang paling jujur. Awalnya aku sebel, aku kira ia nggak punya hati. Aku kira ia keras kepala. Aku kira dia ndak bisa dikasih masukan.  Ternyata aku harus mengubah pandangan itu. Aku harus merespon sikapnya itu dengan pola pikir yang positif. Tuhan itu baik kok. Begitulah Tuhan menjodohkan hati kami. Mungkin memang harus ada sikap yang jelas buat mendampingi sikapku yang galau-galau begini. Aku yang suka bilang nggak mau tapi sebenernya mau dirayu. Aku yang suka ngikut sana kemudian ke sini buat cari aman sendiri. Ah buruknya. Tapi yang membahagiakanku bisa memiliki lelaki itu ialah. Setidaknya, aku tak perlu khawatir jika ia bakal berpura-pura mencintaiku. Sebab ia bakal bilang benci dengan tegas dan bilang cinta dengan kesungguhan hatinya.

Edisi Kereta yang Kupilih Mengantarku Pulang

Jika setiap perjalanan jauh, aku bisa selalu memilih kereta api untuk mengantarku sampai tujuan. Maka, aku tak mau memilih alat transportasi lain. Tidak mau bus, pesawat, mobil bahkan sepeda motor.  Ternyata ketakutanku semakin jadi begini. Ini bukan semata-mata takut kecelakaan trus mati. Bukankah kematian telah menjadi jatah setiap manusia. Tapi bagiku menjadi penting dalam keadaan hati yang tenang. Menikmati perjalanan dengan nyaman tanpa harus selalu waspada.  Seperti merokok. Mengonsumsi rokok atau tidak toh kematian akan tetap datang, katanya. Dan ia yang merokok akan tetap merokok tanpa mempedulikan nasihatku. Tapi bagiku, memiliki jatah hidup yang tak seorangpun tahu, aku akan memilih tetap sehat untuk menghabiskan kehidupanku.