Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2015

Burung-burung dari Negeri Dongeng #2

Kepergianmu seperti ranting patah tepat ketika aku sedang bersandar. Begitu tiba-tibanya, sehingga siapapun akan sangat wajar jika tersentak. Bagaimana tidak tersentak, jika aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk jatuh ketika kamu patah.   Ya, kamu patah. Akhirnya kamu menyerah. Satu-satunya alasan kamu menyerah adalah aku yang membebanimu terlalu berat. (Meskipun pada waktu-waktu tertentu, aku memikirkan alasan lain. Bahwa mungkin saja, kamu merasa harus patah supaya tak lagi mampu menemuiku. Bukankah dengan begitu, tak akan ada lagi seseorang yang hatinya patah karena kita. Benarkah seperti itu?).  "Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu. "Aku juga." "Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku" "Aku juga" "Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku" "Ya. Terserah kamu" Aku benar-benar tidak peduli kamu pergi. Seperti terjatuh dari ranting patah, aku hanya tersentak sedikit, lalu tertawa geli, meni

Haruskah Kita Patuh pada 'Arsip Memori'?

Di post sebelum ini, saya menulis tentang apa itu arsip memori. Jadi, saya temukan istilah ini dari bukunya Dr. Ibrahim Elfiky, di mana dijelaskannya bahwa otak kita sebenarnya mempunyai folder-folder memori. Folder tersebut bertugas untuk mengarsip setiap perasaan yang kita alami. Jika pengalaman itu berulang terus menerus, maka folder tersebut akan semakin kuat menjadi kebiasaan.  Contoh sederhana misalnya ketika kita sedih, biasanya akan sembuh ketika menonton film. Aktivitas itu kita ulang berkali-kali. Sedih --> nonton film --> sembuh. Putaran aktivitas tersebut pada akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Otak kita seperti memprogram kita untuk sembuh dari kesedihan hanya jika menonton film.  Cerita kali ini adalah tentang suami saya.  Ya, suami saya adalah tipe lelaki yang mudah sekali meledak. Hal-hal sepele sekalipun akan sangat mudah memantik kemarahannya. Sejak kami pacaran, dia kerap bersuara tinggi ketika marah. Program otaknya barangkali memang sudah sepe

Penemuan Baru tentang 'Arsip Memori'

Suatu hari, pagi pagi sekali seorang teman menelepon saya. Ketika namanya muncul di layar handphone, saya yakin sekali ada hal penting yang akan ia kabarkan. Maka, buru-burulah saya tekan tombol 'yes' untuk menerima panggilannya. Namun ternyata hening . Ada jeda panjang yang membuat saya harus berkali-kali bilang 'halo', 'hei', 'halo', 'beb?'. Beberapa saat saya berpikir kalau sinyalnya sangat buruk, tapi ternyata tidak. Ketika isak tangis terdengar di ujung telepon, saya tahu ada sesuatu yang buruk. Paniklah saya. Ada apa? Kenapa dia menangis? (Segala macam pikiran buruk berkelindan).  Mengetahui saya panik, barangkali ia merasa harus berbicara.  "Kekasihku selingkuh Mbak... " katanya. Lalu gadis itu kembali menangis. Dengan terbata-bata ia menceritakan kronologis situasi yang sedang dihadapi.  Ah, tiba-tiba saja saya ikut larut. Betapa saya merasa begitu jauh, yang seharusnya berada di sampingnya. Ia pasti butuh sandaran se

RIP, Makde Barku

Saudara kandung satu-satunya Bapak, meninggal hari ini. Makde Barku yang paling baik. Semoga amal baiknya dilipatgandakan oleh Allah untuk mempermudah jalan menuju surga. Amiiin.  Mendengar Makde berpulang pada tanggal 5 Maret 2015 pukul 09.00 WIB, aku tidak bisa menahan tangisku yang begitu saja tumpah ketika menelepon Bapak. Ah, Bapak. Aku pun tidak sanggup membayangkan perasaanmu menghadapi ini. Satu kehilangan lagi, dari sekian kehilangan yang menimpa hidupmu selama ini. Semoga Bapak selalu diberi kesehatan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama kami dalam waktu yang lama. Ya, Bapak. Aku mencintaimu.  Bapak ditinggalkan ayahnya sejak masih dalam kandungan. Tiga tahun lalu, Mbah Surip, ibunya pun meninggalkan Bapak, setelah lebih dulu kakak dan adiknya meninggal dunia. Dari lima bersaudara, sekarang tinggal Bapak seorang diri. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Bapak. Tapi, satu kehilangan saja mungkin aku tidak akan sanggup.  Dan, jauh sebelum hari ini tiba. Aku telah

Mak, Apa yang Harus Kulakukan?

Apa yang harus kulakukan? Aku seperti telah berlari begitu jauh saat belum tidur sama sekali.  Mataku panas terbakar, sedangkan tubuhku lemah tanpa tenaga. Apa kabar hatiku yang begitu tahan membungkam kemarahan. Apa kabar bagian tubuhku yang patuh membuat tangisku tidak terdengar.  Beginikah menjadi dewasa? Begitu sepi dan sendirian.  Tak ada sandaran yang benar benar dapat kupercayai. Sehingga panggung ini begitu panas dengan kemunafikan.  Dan aku pun telah pandai memainkan mimik wajah, di mana kesedihan bisa menjadi senyum yang indah dilihat.  Tapi sampai kapankah aku mampu bertahan? *Bolehkah Mak, aku pulang dengan sejujur-jujurnya tanpa meninggalkan kesedihan di matamu? Bolehkah kuminta kauelus-elus kembali rambutku dan membiarkan pelukmu sebagai tempat persembunyian terbaikku. Ah, Mak. Aku benar tak mampu lagi melakukan itu. Aku tak mampu lagi untuk bersandar di pundakmu yang semakin tua. Tidak Mak. Sebab telah jadi gilirannya kupinjami pundakku untukmu.