Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2012

Edisi Lelaki Sebau Buah Busuk

Satu di antara enam bersaudara, lelaki itu sungguh pemalas jempolan. Ibarat dalam sekarung buah, ia buah yang hampir busuk--buah yang berpotensi merusak buah-buah lainnya--buah yang sebaik-baiknya memang telah menghuni tong sampah. Namun ia tak pernah menyadarinya. Bahkan ketika usaha keluarganya hampir gulung tikar, tak ada itikad baiknya untuk serius bekerja. Ia hanya mencela, ketika akhir bulan uang yang didapatnya berkurang.  Kalau bukan saudara, bukan kakak tertua, bukan pernah menabung jasa, telah dipecatnya ia jauh-jauh hari. Ia hanya sesekali datang ke kantor; mengajak ngrumpi, mengenang kenang masa lalu, mengganggu kosentrasi dan ketika semua orang acuh tak acuh. Ia mulai menghasut. Membuat makin kusut kinerja adiknya yang hampir putus asa menyelamatkan perusahaan. Lelaki itu memang bajingan. Tak hanya mulutnya yang berbisa. Ia punya hobi yang jauh dari terpuji; berbisik-bisik di belakang, menghujat, mencaci maki atas keadilan dalam versinya yang tidak didapatnya. 

Edisi Rumah yang Diasuhnya Bagai Anak

Sebuah rumah. Rumah di seberang tanah milik ibuku. Seperti manusia, ia pun tak luput digilir nasib. Nasib baik ialah ketika listrik menyala, makanan cukup, dan tak ada beban membayar sewa. Maka, mereka yang mengaku manusia menjadi penghuni. Bersuka ria, menamakan diri sebagai keluarga.  Lalu, seperti itulah manusia--rumah ini pun digilir nasib buruk. Ditinggalkan penghuni ketika tak lagi cukup tersedia makanan. Ditinggalkan penghuni ketika uang menghilangkan seluruh kenyamanan.  Tapi ada yang bertahan, tentu saja tak semua penghuni memutuskan melarikan diri. Terlanjur bicara janji, segala kenangan telah membuatnya ingin bertahan.  Seperti lelaki itu. Aku mengenalnya cukup baik. Segala-galanya dilakukannya untuk kembali membenahi rumah. Ia memang bukan lelaki baik yang pandai berbasa-basi. Di hadapan keluarga, sebuah keluarga mana yang tak banyak menabung maaf untuk saudara, katanya. Ia terlalu percaya diri ketika melakukan kesalahan, sebab demikian sifatnya yang pemaaf

Cerpen Sapu dan Perempuan Berbulu Panjang

IA TELAH menaruh rasa tak suka sejak aku menghuni kamar samping miliknya. Entah sebab apa, Ainur tak menyukai kehadiranku. Tapi satu hal yang mungkin jadi penyebabnya adalah; ia terlalu mencintai kebersihan sementara aku tidak.  Setiap subuh datang, ia bangun lebih awal dan menyapu semua halaman. Bahkan ketika aku mendahuluinya, ia akan menyapu ulang pekerjaan yang sudah kuselesaikan itu dengan mulut bersungut-sungut. Di matanya, tak ada pekerjaanku yang dianggapnya benar. Ia terlalu membenciku, mungkin itulah yang membuat ia tak menganggapku ada. Sebab itu, diam-diam kuputuskan untuk tidak lagi membantunya bersih-bersih. Toh, tak ada jadwal piket resmi. Pun sebenarnya sudah ada pembantu yang bertugas untuk menyapu.  “Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” Begitu kata Ainur. Ajaibnya ia selalu punya kesempatan mengatakan kalimat itu di hadapanku. Tanpa ekspresi apalagi tersenyum. Dan sialnya ia mulai berani datang ke kamarku. Mengomentari setiap tata

Cerpen Samlah

Jingar terbelalak melihat sepotong bibir tergeletak di meja makan—bibir yang telah membiru dengan darah menyungai di sekitarnya. Ia tidak bisa membayangkan jika benar anaknya telah nekat memotong sepasang bibir itu. Bibir yang tak seorang pun dapat membedakan dari yang ia punya.  “Duh gusti, inikah azabmu itu” Jingar meratap.  Kakinya mendadak kaku dan keringat dingin turun tak sewajarnya. Di saat paling buruk itu, sekuat tenaga dicarinya Samlah, anaknya yang semata wayang—ia tak juga menyerah meski di sudut rumah miliknya tak siapa pun di jumpai. Lalu genap sudah pikiran-pikiran buruk itu berjejal di kepalanya. “Semua orang mencibirku, ibu, hanya karena bibir ini mirip denganmu” Samlah kecil mengadu ketika itu.  Di usinya yang belum genap sebelas tahun, tak pernah diterimanya perlakuan baik, dari Jingar ataupun dari teman sebayanya. “Lantas kau memprotesku? Jika ini pun kehendak dari Tuhan?” Jingar tak mau kalah. “Tapi mereka bilang bibir ini musti dipoto

Edisi Selingkuh itu Adalah...

Ialah Petir, lelaki yang tiba-tiba menjadi berarti setelah suamiku. Lelaki itu beristri, pun aku yang telah memiliki lelaki. Segalanya berawal terasa alami, mengalir sampai suatu ketika Petir berubah dingin. Sangat dingin seperti subuh pagi itu. Aku bertanya "Kau menghindar dariku?" Ia tampak tergagap. "Kita harus selesai, Ningsih. Aku tak lagi tega mendustai istriku. Ia sudah tahu, pun suamimu yang mengancamku" Begitu tegasnya.  Namun aku tahu, ia tak benar ingin berubah. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku menangkap sakit dan cinta yang tercabik-cabik. Aku tahu, Petir masih mencintaiku, sangat mencintaiku lebih dari apapun yang dikatakannya. Bener-bener sial, seketika aku merasa sakit, perih yang meronta-ronta, beginikah akhirnya muara itu? Aku mesti kehilangan ia. Lelaki bernama Petir.  Dan sakit ini pun menemui pertanyaan; siapakah korban itu, akukah? Petir pun merasa sakit, lalu istrinya, lalu suamiku? Siapakah yang lebih sakit sebagai korban

Edisi Adik yang Menjelma Kupu-kupu

Seharusnya aku tak sesedih ini. Sebentar lagi Ibu akan melahirkan seorang adik. Adik yang kata Ibu dirasanya sepertii kupu-kupu. Aku tak bisa membayangkan bahwa kupu-kupu raksasa itu menghuni perut Ibu dan akan keluar sebagai adikku. Tentu saja ini sangat mengerikan. Aku ketakutan setengah mati, namun Ibu menceritakan ini sambil tertawa bahagia. Ah, ibuku yang malang. Lalu kutanya apa benar adikku akan seperti kupu-kupu. Ibu malah kencang tertawa. "Kata siapa, Nak" katanya.  "Aku mendengar percakapan Ibu dengan tante Nia" kataku. Dan sungguh, ini sungguh aneh, Ibu justru makin tertawa lebar. Ah, apa aku salah bertanya? Kemarin sore Tante Nia datang ke rumahku. Sambil mengelus perut Ibu ia bertanya.  "Wah gimana to rasanya hamil itu, Mbakyu"  "Pokoknya amazinglah, seperti kau merasakan ada kupu-kupu di dalam perutmu, Nia" Itu kata Ibu. Dan sebentar lagi, kupu-kupu itu akan lahir sebagai adikku. Hufft.

Edisi Peringatan 24 tahun kelahiran

Ialah sebuah peringatan, ingatan yang sekali dalam setahun akan mengulang-ulang cerita yang hampir sama; tentang pantai, sebuah bunga, dan sepotong coklat yang terlalu manis. Di mana dalam setahun sekali itu, ada dua lelaki yang datang. Ia yang mengantar ingatan terbaikku, dan lelaki lain yang menyusun cerita buruk di kepalaku supaya kelak kutabung jadi ingatan. Bahkan aku percaya, di tanggal yang sama di usiaku yang baru sehari itu, aku lahir sebab banyak doa dan sesaji. Di mana Bapak dan Emak bersuka ria merayakannya dengan sederhana. Lebih sederhana dari sepotong coklat. Lebih bijaksana, sebab aku diberi pengharapan dan berkawan orang-orang yang pandai menghargai. Ialah sebuah peringatan, ingatan yang selalu menyusun ceritanya sendiri di kepalaku.

Edisi Gula Menggugat

Padahal tanpa aku, si hitam kopi bisa jadi tak laku dinikmati orang. Pun teh dan minuman lainnya. Tapi beginilah aku, mereka terlalu mendominasi dan nasibku selalu di posisi yang kurang eksis.  "Ini mah kurang gula, tehnya jadi tawar" Begitu manusia menyalahkanku. Lalu "Ini mah kebanyakan gula, kopinya jadi terlalu manis" Yah, inilah nasibku jadi biang kesalahan. Dan ketika semua komposisi selera mereka tepat. "Waw kopinya mantap" Lalu aku? Di mana aku? 

Edisi Patah Nikahan

"Percayalah, bukan alasan seburuk itu aku mempertahankanmu" Itu kukatakan berulang kali kepada istriku sebelum akhirnya ia pergi. Aku tahu, batas kesabarannya telah ia habiskan untukku. Bahkan, hal terburuk yang dikatakannya adalah begini, Ia beranggapan jika aku mempertahankannya demi untuk terus membuatnya sakit. Sungguh. Dia harusnya percaya bahwa aku berusaha berubah. Aku memang lelaki sial. Lelaki yang kurang beruntung dalam memenangkan hatinya. Dan lebih sialan lagi karena aku tak bisa mengatakan ini padanya.  "Aku hanya butuh kesempatan untuk membuatmu bahagia, istriku. Untuk itu aku butuh kau. Aku tak ingin meninggalkanmu, sebagaimana kau pinta sebagai bentuk membebaskanmu. Sebab, untuk membahagiakanmu aku membutuhkanmu untuk tetap ada. Harusnya kau tak pergi, sebagaimana aku tak pernah berniat meninggalkanmu"

Edisi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

"Sialan betul bosku itu" Ia mengempaskan pantatnya ke sofa. "Husst, wis diempani, malah misuh-misuh" kata si perempuan.  "Bagaimana tidak membuatku jengkel, cah" Ia mulai frustasi.  "Gimana, to?" Si perempuan mendekat. Duduk disamping lelaki penyair itu.  "Begini, dulu kata bosku itu, aku punya kesempatan 12 kali cuti dalam setahun" "Lalu?" "Lebaran tahun ini juga sialan ini" "Lho? Kok bawa-bawa lebaran segala?" "Bagaimana tidak, kenapa pula lebaran jatuh di tengah bulan" "Lho?" "Kukatakan pada bosku, kuambil cuti lebih banyak di lebaran besok. Bukannya itu hakku? Aku berhak untuk ambil cuti kapanpun sesuai kontrak. Tapiii..." "Tapi kenapa?" Si perempuan menyimak.  "Sialan betul itu bosku, dengan tanpa melihat mukaku. Dikatakannya bahwa gajiku dipotong setengah bulan. DIPOTONG. Ini cuma karena lebaran jatuh di tengah bulan, dan setelahnya

Tragedi Maling-malingan

Maling masuk kos lagi? WHAT?  Lagi asyik ngegosip malem-malem sama Swastika Palupi, jadi mendadak merinding deh denger kabar begitu. "Iya, sore tadi. Pintu kamar ujung sono udah dicongkel lho" kata Ifa Zhena Sore? Waw, mungkin maling masuk tepat ketika aku sama pacarku lagi chatingan di FB. Padahal aku sudah bilang sama pacarku suruh jangan ke warnet. Diem dulu deh di kos. Urusannya sama ekonomi. Lagi tanggal tua nih. Ealah, kok malah kalimatku ada benernya juga. Tumben-tumbenan nih firasat cenayangku aktif. Grekk.  "Trus, apa yang ilang?" Aku bertanya sambil menutup pintu. Kan malem Jumat, kali aja kuntilanak juga pengen ikutan ngegosip. "Untung gak ada. Mungkin belum sampai ke kamar kita" Apa kamar kita? Oh Tuhan. Tadi sudah kubilang kan, ini tanggal tua. Maling apa ya doyan sama bantal dan kasur buluk doang. Cuma itu yang berharga di kamarku. Yah, namanya ngegosip, dari urusan maling sampai kuntilanak bikin mata jadi kedip kedi

Lelaki Petualang dan Perempuan Rumah Singgah

Lelaki Petualang: Beneran deh, Sayang. Kali ini aku sungguh-sungguh cinta sama kamu. Aku yakin, seyakin-yakinnya kalau kamu cinta sejatiku. Kamu inget kan, kata film Johny Depp, kalau kita sudah punya pacar kemudian jatuh cinta lagi ke orang lain, maka pilihlah cinta yang kedua itu. Cinta keduaku itu ya kamu, Sayangku. Apa? Kamu malah tanya kenapa? Ah, begini lho, Sayang. Aku pikir ya, kalau aku bisa mencintaimu meski aku sudah punya pacar, berarti aku tak sungguh-sungguh mencintai pacarku. Masih tanya kenapa? Astaga! Ya, Karena kalau aku sungguh-sungguh mencintai dia, tak mungkinlah ada kamu di hatiku. Kalau aku nggak sungguh-sungguh, untuk apa dilanjutkan. Sekarang kamu percaya kan aku pasti akan memilihmu? Ayolah, Cinta?  Perempuan Rumah Singgah: Ah, petualang cintaku. Kau tak pernah punya rumah yang permanen. Termasuk aku. Tempat singgahmu. Apa kau pernah melihat ketakutanku? Ini mengerikan. Begini: kalau ada aku setelah kekasihmu, lalu setelah kamu menjadi milikku kelak