Skip to main content

Jadwal Operasi yang Tertukar

Minggu malam itu, saya dan suami sengaja tidur gasik di rumah sakit. Kayaknya, sebelum jam 12 malam, kami sudah tepar (padahal biasanya denger bedug subuh baru inget tidur). Ya, sekali-kali-lah jadi pasien patuh. Kan, besok paginya mau operasi telinga. Masa masih mau begadang sih, pikir kami. 

Kalau jam tidurnya cukup, artinya suami bakalan fit saat menjalani operasi. Makanya, tanpa kompromi, saya mengharuskan dia buat tidur malam segasik mungkin. Apalagi kata dokter, jadwal operasinya jatuh di jam pertama sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Kan pagi banget tuh. Maklum, kami terbiasa buka pintu dan jendela rumah tepat pukul 10 pagi (Itu pun karena denger tukang sayur yang manggil-manggil. Jadi, jangan tanyakan, kami biasa sarapan jam berapa ya hehehe?). 

Oh ya, yang penasaran suami saya sakit apa, bisa baca peristiwa ini dulu ( adegan satu, dua, dan tiga). Nggak baca juga nggak papa sih, tetep bakalan nyambung kok. :)) Lanjut yuk.

Jadi gini, karena suami saya mendapat jadwal operasi jam pertama, suami saya diwajibkan puasa mulai pukul 12 malam. Katanya untuk syarat operasi. Ya, kalau cuma nahan lapar sampai jam 8 atau 9 pagi sih udah biasa. Jadi, yang dibutuhkan suami (menurut kami) adalah tidur gasik. Nggak perlu pakai sahur segala. Bahkan nggak perlu nunggu jam 12 malam buat niat insun puasa. Lebih cepat tidur, akan lebih fit besok paginya. Itu pikiran kami. 

Namanya nggak pernah jadi pasien opname ataupun nungguin orang sakit, jadi pengalaman begini ini beneran yang pertama. 

Pukul 6 pagi suami sudah mandi, disuntik, dicek dan setelahnya suster masuk lagi ke kamar kami buat memberikan pakaian pasien. Jadi fix: Jam 7 pagi, suami sudah benar-benar siap buat dieksekusi. Kata dia, kalau semuanya sudah siap kan tinggal mengatur perasaan tegang dan menepis ketakutan-ketakuan yang mengerikan. 


tanda x adalah lokasi,
yang akan dioperasi (telinga kanan)
"Mau dibor nih Dek hiiii" becandanya sambil begidik ngeri. Dia sengaja memakai istilah pertukangan itu lagi, buat menghilangkan kesan takut. Padahal ya kelihatan banget, kalau dia lagi takut. 

Jam 7, ke jam 8, ke jam 9, sampai jam 9.30 nggak ada satu suster pun yang masuk ke kamar kami. 
"Jadi operasi nggak sih ini?" 

DUERRR ... KETEGANGAN DIMULAI. 

Saya mencoba menenangkan suami dengan kalimat-kalimat sederhana yang semuanya dia bantah. 
"Mungkin bentar lagi ada suster datang, Mas"
"Tapi ini udah telah 30 menit loh Dek"
"Ya, mungkin saja alatnya baru dipersiapkan? Sabar ya"
"Masa jadwal operasi jam 9, alatnya belum disiapkan. Ngapain aja mereka??"
"Mungkin briefing dulu. Banyak pasien juga kan?"

Ah, pokoknya harus beneran sabar deh ngadepin orang emosi akibat kelamaan nunggu. Bukankah aktivitas menunggu memang sering menguras emosi? 

Beberapa menit kemudian, suami bangkit dari tidurannya dan menatap saya tajam.

"APA MAS JUGA YANG HARUS KE RUANG SUSTER BUAT KONFIRMASI? HAH?" Teriaknya sinis. Maksudnya adalah dia pengin saya cari informasi di ruang suster. 

Antara takut dan geli, karena membayangkan suami yang memakai pakaian model piyama dengan rambut dicukur sebelah itu bakal nekat ngamuk di ruang suster, maka saya pun keluar kamar. Saya menuju ruang suster, sambil tertawa dalam hati membayangkan adegan tersebut. 

"Suami saya kok belum dipanggil juga ya Sus?" tanya saya ke suster yang tengah duduk di ruangannya. Tentu saja saya harus menyebut nama pasien, no kamar, dan soal rencana operasi yang akan dijalani suami. Barulah setelah itu, si suster menjelaskan panjang lebar bahwa dalam hal kesehatan, nggak ada patokan jam. 

"Pak Fairuzul kan operasinya jam ke 2. Ya kami masih nunggu pasien jam pertama selesai dulu. Kan nggak mungkin, kalau belum selesai operasi sudah ditinggal buat mengurusi pasien baru" jawabnya sinis. Loh, kok jadi jam ke 2? Padahal kemarin dijelaskan jadwalnya jam pertama. Oke, mungkin kami salah dengar. Saya nggak mau ngotot. Kalau semula tahu bahwa jadwalnya jam ke dua, sebenarnya kami juga bakal maklum kalau ada telat-telat. Namanya saja operasi, siapa sih yang tahu bakal ada kendala atau lancar? Tapi kan, kami dijanjikan jam pertama. Artinya nggak ada kemungkinan buruk bahwa akan ada pasien yang ditinggal pergi dokter sebelum telinga yang diiris kempleh kempleh itu dijahit kembali. 

"Oh gitu ya Sus. Oke. Ini soalnya pasien panik karena belum ada panggilan juga. Apalagi nggak ada suster yang datang mengonfirmasi kan hehe." Saya cengengesan, padahal tampang si suster jutek mampus. "Takutnya kan Suster lupa. Atau malah salah jadwal. Takut nggak jadi juga operasinya" Ups, mulut saya ini memang kadang-kadang kelewatan. Masa berani menyindir keprofesionalan para suster sih. Ya mustahil lah sampai ketuker atau lupa kalau mau mengoperasi pasien. Emang mereka teledor kayak saya. Nggak dong. Dan saya pun berlalu meninggalkan suster yang mukanya merah padam mendengar ledekan saya. Maafken mulut saya ya, Sus hihihi.

Setelah masuk kamar, saya pun menjelaskan kepada suami tentang apa yang dijelaskan suster tadi. 
"Yawis. Kalau infonya kayak gini kan kita jadi lebih tenang nunggunya" jawab suami. 

Tenang? 
Ehmmmm ... mulut boleh berkata tenang. Tapi nyatanya pikiran dan hati terus bergemuruh. Apalagi penantian kami berlanjut sampai azan zuhur berkumandang tanpa satu suster pun yang datang menjenguk ke kamar. Mungkin mereka sangat sibuk, sampai lupa bahwa ada satu pasien yang butuh kejelasan dan kepastian sampai emosinya naik ke ubun-ubun. Kebiasaan lama deh, kalau kelaparan, pasti suami saya suka marah-marah. Sudah kelihatan ketika dia ngeluh pusinglah, laparlah, dan macem-macem. Saya yakin sekali, asam lambungnya pasti meningkat akibat kelaparan dan stres. 

"Aku kayak pasien terlantar tahu Dik!!"
"Iya sabar"
"Sabar gimana lagi? Cari informasilah sana!! Aku disuruh ke ruang operasi sendiri atau gimana."

Akhirnya saya keluar lagi. Sebelum saya melangkah keluar, dua suster sudah berdiri di luar pintu hendak masuk kamar. Mereka mengatakan akan membawa suami ke ruang operasi. Kira-kira penjemputan itu waktunya jam satu siang. Kebayang kan, jam 7 udah siap operasi tapi ternyata dieksekusi jam 1 siang. Makanya spontan suami melampiaskan kekesalannya pada dua suster tersebut. Ia komplain mengenai jadwal yang diubah tanpa ada konfirmasi dan mengakibatkan dia menunggu panjang sampai kelaparan. Bukannya menenangkan si suster malah menjawabnya dengan jutek. 

Intinya, si suster menyalahkan kami karena tidak sahur. 
"Namanya puasa, kok nggak sahur" katanya.
"Kan bukan puasa agama, dan emang semula jadwalnya pagi, ngapain sahur?"  Jawab suami saya tak kalah sinis. 


Dari perdebatan selanjutnya, saya menangkap bahwa kami diposisikan sebagai ‘pasien serba tahu’ atau ‘pasien berpengalaman sakit’ yang harusnya tahu bahwa jadwal operasi itu pasti molor. Kami diharuskan tahu bahwa, namanya puasa ya harusnya sahur apalagi untuk operasi. Sedangkan malamnya, pikiran kami malah hanya tidur dan tidur biar fit. Sudah saya katakan di depan, kalau cuma nahan lapar sampai jam 8 atau 9 pagi mah biasa aja. Nggak perlu pakai sahur juga bisa tahan.



Makanya saya bertanya-tanya dalam hati, apakah semua pasien memang harus punya bekal pengetahuan yang sama ya? Apakah sangat salah kalau kami tidak tahu sedetail itu untuk mempersiapkan diri menjalani operasi, sekalipun sempet browsing di internet mengenai operasi tympanomastoidektomi? 


Aduh Sus, kami ini pasien newbe. Dengar kata operasi aja gemetar, pikiran kalut dan tangan dingin. Bagaimana kami bisa memikirkan hal-hal kecil yang (menurut kami) harusnya Tuhan suster jelaskan. Apakah sebegini kelihatan cerdasnya kami ini, sampai-sampai dikira manusia serba tahu? Uhuk #mbenerin kerah baju. 

Selesai debat kusir yang nggak penting-penting amat itu, suami didorong menggunakan kursi roda. Saat itu, kami yang berada di lantai dua gedung rawat inap, harus turun dan menuju gedung operasi lantai empat yang lokasinya cukup jauh. Sialnya, saat turun tersebut, nggak mungkin banget kalau kursi roda turun lewat tangga. Lebih sialnya lagi bangsal kami memang nggak ada liftnya sehingga terpaksa harus lewat jalan menurun yang dikhususkan buat pasien. 
"Dibantu turun ya Mbak. Saya nggak kuat menahan laju rodanya nih" pinta si suster. Maka saya pun menahan kursi roda itu dari depan dan berjalan pelan-pelan. 

"Kenapa saya nggak jalan saja sih Sus?" celetuk suami saya di tengah jalan menurun ini. 
"Yah, nggak bilang dari tadi sih Mas kalau bisa jalan sendiri. Sekarang sih udah nanggung nih" jawab si Suster, yang membuat saya pengin ketawa membayangkan suami beneran jalan kaki menuju ruang operasi. Hahaha. Suasana jadi cair. 

Sesampainya di gedung operasi, suami saya dibawa masuk ke ruangan yang selain pasien tidak diizinkan ikut. Suster menjelaskan bahwa yang boleh menunggu di ruang tunggu juga hanya dua orang. Ruang tungu ini terletak bersebelahan dengan ruang operasi. Maka saya pun berkata pada ibu dan bapak mertua untuk tinggal, dan saya menunggu di bawah. 

Dua jam pertama operasi, saya tidak terlalu cemas karena dihibur oleh satu temen dekat. Sampai akhirnya, kami berdua nekat masuk ke ruang tunggu karena khawatir kalau Bapak Ibu kelaparan. 

Ternyata nggak. Mereka justru menolak untuk makan ataupun minum. Ya maklum sih, kalau perasaan khawatir bisa mencuri perasaan lapar seseorang. Seperti halnya Bapak Ibu. 

Di dalam ruang tunggu, kami duduk melihat televisi sambil sesekali bercerita. Karena cerita itulah, nggak sadar kalau operasi sudah berlangsung hampir empat jam. Kami melihat bangku kanan dan kiri sudah banyak yang kosong. Tapi, kenapa belum ada panggilan juga? Yang saya lihat, ketika pasien selesai dioperasi dan akan dibawa ke ruang rawat inap, ada suara petugas yang memanggil keluarga pasien lewat speaker yang tersedia di atas pintu. Jadi saya berkali-kali memandang ke arah speaker berharap ada panggilan. 

Sampai tiba-tiba, beberapa orang muncul di pintu ruang tunggu sambil berlari dengan wajah panik. Seorang perempuan, yang kemungkinan juga sedang menunggu keluarganya, berteriak "Keluarganya Mumtaz mana?" matanya menyapu ke arah semua orang yang ada di dalam. 

Seperti petir, teriakan itu melintas dan memancing bayangan-bayangan ngeri di kepala. Maka spontan saya lari menuju depan pintu ruang operasi diikuti Bapak, Ibu dan teman saya. 

Di pintu kamar operasi, seorang dokter menunggu kami dengan wajah tegang. Ia masih memakai pakaian operasi. Melihat wajah itu, lagi-lagi terngiang kalimat-kalimat dalam adegan sinetron yang tokoh dokternya berkata kepada keluarga dengan wajah tegang "Maaf, kami sudah berusaha semampunya. Tapi ...." tiiiiit. Itu hanya adegan sinetron. Sedangkan yang saya hadapi ini adalah kenyataan. 

"Keluarganya Mumtaz?" tanya dokter kepada saya dengan tergesa-gesa. 
"Iya" jawab saya cepat. Hati saya berteriak, Oh Tuhan Oh Tuhan ada apa ini? 
"Ada yang cowok?" 
"Ada Dok ada" saya memberi isyarat kepada Bapak Mertua yang berdiri di samping saya "Ini Bapak, Dok". Deg! Harus cowok? Ya Tuhan, seburuk itukah keadaan pasien sampai dokter takut saya nggak bakal kuat menerimanya. Apakah suami saya pendarahan hebat dan butuh donor darah? Bapak, ya Bapak pasti cocok. Pilihan yang tepat.

Namun, ketika saya menyodorkan Bapak, dokter tersebut melihat ke arah Bapak dengan tidak yakin "Tapi sudah tua ya? Ya udah deh, kamu saja. Kamu siapanya. Istri?"
"Iya saya istrinya"
"Masuk" perintahnya dengan cepat. 

Saya pun masuk dengan cepat. Jantung saya berdetak kencang, dan kerongkongan terasa kering. Saya masuk masih membawa tas ransel berisi barang-barang berharga yang nggak mungkin ditinggal di kamar. 
"Tasnya keluarkan dulu" teriak dokter, sambil menunjuk ke luar. Padahal posisi pintu sudah ditutup. 

Saya mencoba untuk membuka pintu kembali, tapi kesusahan saking gugupnya. Sampai-sampai dokter itu terlihat jengkel ketika membantu saya. Setelah terbuka, saya berlari "Tolong dipegang dulu Mbak" teriak saya ke temen saya di luar. Lalu kembali masuk dan mendapati dokter sudah masuk ke ruangan yang lebih dalam. 

Betapa mengerikannya situasi saat itu. Saya harus kuat, harus kuat dengan apapun yang akan saya hadapi. Ya Tuhan, ya Tuhan tolonglah kuatkan hamba. Pasti ini bukan sesuatu yang baik kalau keluarga sampai diminta masuk ke ruang operasi yang notabene haram dimasuki pihak selain pasien dan dokter. Ya Tuhaaaan. 

Tanpa pikir panjang, saya langsung berlari menuju ruangan yang lebih dalam. Saya ingin lekas menemui suami saya. Saat itu mata saya sudah terasa berkabut. Apalagi nggak pakai kacamata, maka semakin nggak jelaslah pandangan saya. Oh Tuhan, semoga ini bukan tanda-tanda orang mau pingsan karena berita mengerikan. Saat saya mencapai ruangan tersebut, saya melihat sesosok laki-laki terbaring lemas di ranjang dorong. Wajahnya sangat pucat seperti zenazah. Oh Tuhannnnn, apakah operasi suami saya gagal? Oh Tuhan apakah ini berita yang harus saya dengar. Kuatkan ya Allah, kuatkan. 

"Siapa suruuuuh masuk dulu!!! Keluar" teriak dokter tadi. Sembari berlari menghampiri saya. Masya Allah, ini dokter galak amat dengan keluarga yang akan diberi kabar duka. Batin saya hampir menangis. Namun begitu, saya tetap menurut mengikuti arahan dokter untuk keluar. 

"Nggak lihat apa, ada garis merah ini. Artinya nggak boleh dilewati" kata dokter ketika kami sudah di balik pintu keluar, dan menunjukan garis merah yang ada di lantai "Apalagi masih pakai sandal. Lepas, dan ganti baju" kata dokter tadi tegas dan terlihat sangat jengkel. 

Pada situasi macam ini, saya sampai lupa kalau ruang operasi itu memang harus streril. Bener-bener kalut dan bodohnya saya yang nyelonong masuk pakai sandal dan nggak ganti baju. Apa gunanya coba sering nonton adegan ini di pelem pelem. Pantesan saja dokternya marah banget. 

"Ini pakainya gimana Dok" kata saya yang tiba-tiba nggak bisa pakai baju saking paniknya. Ini beneran kelewatan deh. Masa dokter tersebut sampai harus membantu saya memakai baju. Malu-maluin.

Setelah itu saya mengikuti dokter memasuki ruangan tersebut. Ya Tuhan, inilah waktunya kenyataan itu saya terima. Mana suami saya, mana tadi wajahnya yang pucat? Ya Tuhan, Mas, Ya Tuhan. 

Mata saya menyapu ke sekeliling ruangan. Tirai-tirai yang kelihatan hijau, dokter dengan wajah-wajah serius, meja resepsionis di ruang operasi? Dan...

"Itu suami Mbak ... panik. Harus ditenangkan" tunjuk dokter ke pinggir ruangan. 

Samar-samar saya melihat sesosok pasien yang tengah diatasi dua dokter, dan menggeliat geliat gelisah.

Itu suami saya.
Ya suami saya.
Ahhhhhh legaaaaa rasanya. Ternyata dia masih bisa bergerak. Lalu siapa yang tadi saya lihat, kurus, lemah, dan putih pucat itu? Owalaaaaah ternyata kemudian saya tahu bahwa sosok yang saya anggap suami itu adalah seorang bule. Pantesan putih pucat. Ada untungnya juga saya nggak pakai kacamata. Coba kalau pas nyelonong masuk tadi, saya melihat telinga sedang diiris dan darahnya banyak. Bisa pingsan saya.

"Karena efek biusnya belum hilang. Dia berhalusinasi. Tolong ditenangkan Mbak, suaminya" kata dokter lagi. Saat itu perasaan saya benar-benar campur aduk membayangkan kehebohan dalam pikiran sendiri. Antara senang, geli, lega dan merasa konyol. Pantesan dokternya marah-marah, lah pasti saya kelihatan lebay banget kok tadi. 

"Mas, sadar Mas. Ini Adik" kata saya di samping ranjangnya.
Suami saya masih terpejam, sambil teriak-teriak dengan tangan di samping telinga kiri (telinga yang nggak dioperasi). Dia berhalusinasi sedang menelepon pihak Telkom mengenai jaringan internet.

"Ya, halo haloooo"
Saya memandang dokter, "Gimana sih Dok ceritanya?"

"Ya, efek bius Mbak." Dokter lalu menjelaskan kalau suami saya sempat ngamuk dan mencopot perban yang sudah dipasang dokter. Dan dokter khawatir kalau suami saya akan brutal menarik kapas-kapas yang menutupi luka bekas operasi tersebut. Duh mengerikan sekali kalau sampai kejadian. Makanya, dokter-dokter itu masih berdiri mendampingi di pinggir ranjang karena takut kecolongan. 

"Halo haloooo. " Teriak suami saya dengan gaya bertelepon. "Dik, ini kenapa cuma halo-halo terus" teriak suami saya masih dengan nada tinggi. Persis kalau dia lagi emosi.
"Mas, sadar Mas"
"Kenapa ini cuma halo halo terus. Mas ngurus Speedy ini loh" teriaknya lagi.
"Mas ini ada istrinya Mas, sadar" bantu si dokter.
"Ah, diam to Dek. Lagi telepon ini" Bentak suami kepada saya, padahal tadi suara dokter.

"Udah Mas, nanti Speedy-nya Adik yang urus sama Gus Muh, ya. Mas tenang. Mas sadar ya kalau sekarang baru aja operasi loh" Kalimat itu begitu saja terlontar. Bener-bener menggelikan mengikuti adegan konyol ini. 

Suami saya diam, tangan kanannya bergerak seakan akan mau meraih telinga kanannya yang habis dioperasi. Spontan kami dan dokter-dokter itu pun menahan tangannya. 
"Jangan Mas, nanti infeksi" teriak dokter jengkel. Dokter-dokter itu kelihatan sangat lelah. Kasihan sekali.

"Ini jaringan teleponnya panas Dek. Kenapa telinga Mas panas sekali. Ini jaringan teleponnya kenapa?" Astagaaa. Ternyata dia masih berhalusinasi. Sekarang dia menganggap bekas operasinya itu adalah telepon genggam yang panas. Dalam hati saya mbatin, apakah ini efek terlalu addict sama gadget ya? Atau karena dia lagi menangani masalah Telkom akhir-akhir ini sampai kebawa ke alam bawah sadar. Busyetttt. 

"Sadar Mas. Itu bekas operasi, bukan telepon" kata dokternya lagi mencoba menyadarkan suami saya. Mungkin dokternya juga geli.

"Istigfar Mas, istigfar!"

"Istigfar Mas, istigfar"

Kami terus menenangkan suami sembari menunggu efek biusnya habis. Setelah cukup terkontrol, kemudian dia dikeluarkan dari ruangan tersebut ke muka pintu. Di sana ada dua suster dari bangsal yang siap membawanya ke ruang rawat inap. 

Saat kami keluar dari ruang operasi, saya tersenyum melihat Ibu, Bapak, dan teman saya. Rasanya pengin sekali menceritakan kejadian di dalam saat itu juga. Pasti mereka sudah sangat cemas di luar menunggu kabar saya yang sampai harus masuk ke dalam ruang operasi. Mereka kemudian mengikuti kami, mendampingi suami yang dibawa menggunakan ranjang dorong. 

Memasuki lift menuju bawah, tiba-tiba suster yang membawa suami saya itu bersuara lantang dan sinis. 
“Biasa aja Bu. Nggak usah nangis!! Namanya saja operasi!” teriak si suster. Hah apaa?? Saya saja hampir tersedak. Komentar pedas itu ditujukan untuk ibu mertua saya. Padahal, Ibu cuma terharu melihat anaknya terbaring sakit. Dan beliau hanya meneteskan air mata ( merebes mili), bukannya nangis kejer. 

Apakah komentar seperti itu diperlukan? Apakah suster itu bukan seorang ibu? Apakah lebih baik mencecar daripada menenangkan dengan kalimat yang lebih baik? Saya cuma menelan ludah. Mungkinkah karena terlalu sering mengurusi pasien operasi jadi membuat suster itu kehilangan rasa empati ke sesama manusia?Saya mencoba maklum. Meskipun rasanya sakit di sini (nunjuk ke dada). 

Dari semua ketegangan ini, kami sangat bersyukur karena operasinya bisa dibilang sukses. Rasanya seperti semua beban di pundak terangkat begitu saja. Apalagi ketika di kamar bisa melihat suami saya sadar dan tersenyum ke arah saya. 

"Mas tadi ngamuk loh" kata saya meledek dia. 
"Iya po?"
"Iya heboh banget di ruang operasi"
"Hehehe" respon suami. "Eh, ternyata ya Dek, jadwal operasinya Mas memang ketuker loh. Harusnya Mas dioperasi jam pertama. Dokternya sendiri yang bilang di ruang operasi"

APAAA? Dugaan kami ternyata benar kalau ada salah teknis? Jadi suster yang pagi tadi mukanya merah padam ketika saya sindir-sindir soal profesionalitas, ternyata memang kesindir ya? Woalah. 

Setelah diselidiki, ternyata jadwal suami dituker ke jam ke dua karena pasien pertama dinyatakan berisiko kalau dioperasi jam ke dua. Dia memiliki penyakit gula, sehingga harus didahulukan. Kalau tetap dijadwalnya yang semula, otomatis gulanya akan semakin naik ketika semakin siang. Dan itu berbahaya. 

Coba ada konfirmasi dari suster mengenai pertukaran jadwal ini dari awal. Mungkin kami nggak bakalan sekecewa ini. Kami juga bakalan paham kok kalau ini untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Asalkan ada penjelasan, ada klarifikasi, sehingga kejadiannya nggak perlu memancing emosi karena kami merasa ditelantarkan. 

Oh manusia. 

Jangan-jangan ngamuknya suami pasca operasi juga karena sebelum dibius, dia memendam emosi yang besar. Emosi kalau dia telah diperlakukan tidak menyenangkan, hanya karena fakta tentang pertukaran itu disembunyikan. 

Dari semua itu, ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi kami. Hanya alhamdulillah berkali kali yang bisa disuarakan karena jadwal operasi yang ketukar ini nggak mengakibatkan hal-hal yang buruk. Untungnya dokternya tahu kalau mereka sengaja ditukar. Coba kalau sampai ketuker akibat kecerobohan petugas? Bisa hilang dua duanya tuh telinga suami.

Ini penampakan suami pasca operasi. Lihat ke perbannya deh. Diikat ikat nggak beraturan akibat pengaitnya hilang ketika dia ngamuk dan melepas perban tersebut. 

Sebenarnya masih banyak sih, cerita buruk, menggelikan, haru, senang dan konyol di rumah sakit selama hajat operasi. Tapi, satu dulu aja deh. Ini aja panjang kali kan? Kasihan yang baca. Besok saya share tips tips selama mengurus orang sakit aja dulu, seperti ngurus BPJS, persiapan pra operasi, dan perawatan pasca operasi. Biar lebih manfaat.

Comments

  1. Maaf jadi gmn ya mbak urusan administrasinya kalo pake bpjs. Lalu sekarang keadaan telinga suami mbaknya gmn ya? Mohon info mbak, makasih..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu kami pakai BPJS 3 tahun lalu, lancar aja Mbak. Free. Semua di-cover BPJS. Alhamdulillah membantu sekali pascaoperasi

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk