Skip to main content

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani. Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga. 

Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, makan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee. 

Tapi tunggu dulu!

Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur. 

Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran.

Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat. 

Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya), aku sudah nge-warning duluan, "Maaf, semua hasil masakannya asin." Biar dia nggak syok. Sebab yang asin-asin dapat memicu strok ketika overkaget.

Tapi kenapa suamiku diem saja ya? Dia marah? Atau mbatin: wis tau lan wis tak batin, Dik.
Eeee ... jebule, dia masih serius ngadep layar handphone. Mukaku manyun tapi dianya nggak tahu. Langsung aja kuambil centong,
 biar kenyang sebelum menghadapi kenyataan. Aku ncen tidak seperti istri-istri idaman yang nggak bakal makan sebelum suaminya makan duluan. Aku mah suka tinggal-tinggalan, yang penting sama-sama kebagian.

Usai menaruh handphone-nya, si paksuami mengambil sambel dengan penuh hasrat. Plok, nemplok di atas nasinya.

Aku kemringet, coiy. 
Yang jelas bukan karena kepedesan. Karena sambelku nggak mungkin lebih pedes dari nyinyiran netizen, dong. Aku kemringet lantaran kasihan pada orang di hadapanku itu, yang mungkin bakal makglek kasinen dan patah-patah sama ekspektasinya sendiri.

Habis mengambil sambel, ia menyomot kremesan yang juga bagiku kok yo iso asin ngene to?

Sebentar, sebentar. Ia mulai dengan suapan pertamanya. 
Saat kremesan, sambel, dan nasi masuk ke mulutnya, hatiku dag dig dug kayak remaja nunggu jawaban "yes or no" setelah nembak gebetan. Aku tidak berani menatap ekspresinya. Tapi juga tak kunjung ada komentar terdengar. Ia justru pindah menyomot tempe goreng. 

Aku ganti menelan ludah dengan susah payah. Sudah suapan kedua, tidak ada komentar. Lalu ia pindah menyomot telur dadar. Ia telan, juga tanpa komentar.

Aku yakin sekali ia sedang mencari lauk mana yang rasanya waras. Nggak asin nekat yang dimitoskan orang zaman dulu sebagai kode minta kawin nikah. 

Nah nah nah, kok dia malah nambah sambelnya? Aku tertegun. Ini pasti ada yang nggak beres. Entah lidahku yang kongslet atau suamiku yang lagi kenapa-napa. 

Pas aku mencicipi timun dan suamiku juga mencomotnya, aku nggak bisa nahan ketawa. Astaga! Bahkan ketimun pun bersekongkol membuatku tampak buruk di depan pasanganku sendiri. Ketimun ini rasanya kecut. Benar-benar nggak ada yang beres. Padahal momen kek gini tuh langka banget.

Tapi kenapa si dia cuma diem? Ia tetap lahap, seperti membuat-buat supaya jerih payahku terbayar lunas. Alangkah manisnya jika ini sebuah usaha untuk membesarkan hatiku. Aku bahkan bisa tertawa di saat harusnya merasa bersalah. Atau mungkin, Tuhan menyelamatkanku dengan mengambil nikmat makanku untuk disuguhkan kepada suami? Bisa jadi, kan? Hihihi. *Mulaiberkhayal.

Begitulah kami. 
Acara makan malam ini amat khusyuk dengan batin sendiri-sendiri, yang rasanya sungguh ganjil dilakukan oleh suami istri yang istrinya suka cuap-cuap norak sampai jarinya soak di media sosial. Apakah mereka grogi seperti baru pedekate? Hakhakahak ....

Aku harus memulai obrolan, batinku. Bukan zamannya lagi laki-laki yang harus selalu lebih dulu bersikap. 
"Besok pergi jam berrrap ...?" Berbarengan dengan kalimatku itu, ternyata ia juga berucap, "Masakannya enak."

"Hahh? A-a-apa?" tanyaku, tergagap.
"Jam 9," jawabnya.
"Hah?"
"Masakannya enak."

Apa-apaan ini? Kebetulan begini mengingatkanku pada adegan film yang klise banget, di mana si perempuan dan si laki-laki berbarengan ngomong, "Aku mau bicara?"

Ups. Lalu tertawa garing. "Ya udah. Kamu duluan aja."
Kamu. 
Kamu aja. 
Gitu terus, sampai tiba di zaman laki-laki lebih peka daripada perempuan. 

Sudah ya, sudah.

....
Terima kasih, pembaca. Sudah membaca tulisan tak berfaedah ini. Jangan tanya intinya apa. Tanyakan saja kepada Mr. Mark kenapa tak mau menampung curhat yang panjang kali lebar begini di status Facebook sendiri. Kan jadinya aku nge-blog. Kek tulisan serius, padahal teposss.

Comments

Popular posts from this blog

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil