Skip to main content

Rum, Pulanglah ...

Pagi pagi sekali, aku nyaris meloncat saking kagetnya mendengar Rumi, nyonya rumah ini yang tadi kulihat memasuki kamar mandi mendadak berteriak memanggil suaminya.

"Masssss!" 

Astaga! Petasan aja mungkin kalah kencengnya, mengingat ini berbunyi di pagi yang masih sepi sekali.

Untung aku tidak latah yang lantas membunyikan klakson, atau menabrak roolingdoor garasi demi mendengar teriakan tersebut. Aku cukup tahu diri untuk tidak membuat kehebohan yang ganjil di pagi hari. 

Tapi kemudian ... keganjilan yang lain justru muncul dari dalam kamar mandi. 

Ya, dari dalam kamar mandi, aku bisa mendengar dengan jelas ada suara isak tangis Rumi di sana. Sebentar menangis, sebentar tertawa. Sumpah mati aku penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi. Seandainya saja aku manusia, dan bukannya motor Supra Fit kelahiran 2006 bernama Casimira, tentunya aku sudah mendekati pintu kamar mandi itu. Mengetuknya pelan, dan bertanya, "Kau, baik-baik saja kan Rum?"

Atau kalau ia membutuhkan pelukanku karena suatu hal yang buruk, aku akan menawarkan pundakku yang lapang supaya ia nyaman bersandar. Tapi ini mustahil, aku kan hanya sebuah mesin tua yang bahkan setiap harinya berkelahi dengan pikiran Rumi. 

"Aku baik-baik saja Casimira" jawab Rumi yang keluar dari kamar mandi dan menatapku sebentar dengan mata yang sembap. 

Aku lupa, kalau Rumi dan aku sebenarnya memiliki 'hubungan' yang ganjil ketika berada pada perasaan paling payah bernama "kesedihan". Pada situasi semacam itu, Rumi bisa membaca pikiranku, begitupun aku membaca pikirannya. Ya, dengan cara inilah kami berkomunikasi; bertengkar setiap hari. 

Mungkin karena kesedihan di hidup kami datang setiap hari, makanya kami selalu punya alasan untuk saling berkomunikasi. Dan aku sama sekali tidak mampu membayangkan, seandainya kesedihan itu kelak akan hilang. Barangkali hanya aku saja yang akan tetap bersedih berhari-hari karena tidak lagi bisa mengatakan sesuatu kepada Rumi. 

Hei. Astaga...Rumi barusan bisa membaca pikiranku, tapi kenapa aku tidak bisa mengetahui apa yang sedang dialaminya? Aku tiba-tiba saja merinding. 

Apakah ini sudah waktunya berakhir? Apakah, selamanya aku tidak akan bisa membaca pikirannya lagi. 

"Jangan lebay deh Cas" teriak Rumi dengan mulut terbuka dan datang menghampiriku. Mungkin ia sadar bahwa aku tidak bisa membaca pikirannya. Padahal biasanya tanpa Rumi bersuara, aku bisa mendengar kata-katanya. 

"Karena aku sedang sangat bahagia Cas, bukan sedih. Aku bahagiaaaa karena aku hamiiiiiiilllll" teriak Rumi di hadapanku. Matanya bersinar-sinar. "Aku menangis karena aku sangat bahagia, bukan sedih." Rumi menjelaskan sejelas-jelasnya. Dan, aku cuma membalasnya dengan jawaban "oh?". Lalu karena aku merasa ikut bahagia, aku merasa tidak perlu melanjutkan kata-kataku lagi. Rumi tidak akan mendengarnya. 

"Tapi sayang dia enggak di sini. Seandainya saja Mas Han ada ... " Rumi berkata setengah berbisik. Matanya menerawang. 

Sekian detik setelah ucapannya berhenti, aku justru mampu membaca pikiran Rumi dengan jelas. Bagaimana ia sangat menginginkan Han berada di dekatnya saat ini? Betapa Rumi ingin sekali menyampaikan kabar gembira tentang kehamilannya secara langsung kepada suaminya itu. Betapa Rumi merasa sangat bodoh karena tadi berteriak memanggil Han, padahal ia tahu bahwa suaminya tidak berada di rumah ini. 

Han sedang keluar kota. Mengurus pekerjaannya. Dan di rumah ini, tinggal aku dan Rumi yang kesepian. 

"Tapi besok Han akan pulang kok Cas. Mari kita hapus kesedihan ini. Aku tidak ingin bersedih karena itu akan memengaruhi kehamilanku" kata Rumi sambil berlalu dari hadapanku. 

Penipu!
Mari kita hapus kesedihan ini, Cas. Katamu. Hsssssyahhh. Ajakan semacam apa itu, Rum? Bahkan sekarang aku bisa mendengar dengan jelas kegelisahan dalam hatimu. Kegelisahaan yang bahkan tidak bisa kunalar karena itu mutlak di wilayah manusia. 

Ini tentang pernikahan. 
Mungkin sedikit-sedikit aku bisa memahaminya. Karena bagaimana pun, kenapa aku bisa berkomunikasi dengan Rumi adalah sejak ia merasakan kesedihan dari sebuah pernikahan. Aku membacanya dari pikirannya sepanjang hari. 

Sudah dua tahun lamanya aku mengabdi untuk Rumi. Dan sudah dua tahun juga Rumi menikah, tapi belum kunjung mendapat keturunan. Barangkali karena keduanya terlalu stres. Dan lebih stres lagi karena tekanan yang datang dari keluarga dan lingkungan sama sekali tidak bisa terhindarkan. 

Menurut Rumi, anak bukanlah tujuan utama dari sebuah pernikahan. Tapi bagi laki-laki, barangkali definisinya akan berbeda. Dan sebenarnya, aku tidak benar-benar paham tentang itu karena aku tidak bisa membaca pikiran Han. Ya aku tidak bisa membaca pikiran Han, kecuali mengira-ngira karakternya ketika ia mengendaraiku.

Sebagai motor yang sudah berusia cukup tua, jelas aku berpengalaman untuk menilai karakter setiap orang yang mengendaraiku. Sehingga aku tahu, mana pengendara yang baik, egois, sembrono, terlalu hati-hati, atau yang penakut. Bukankah benar bahwa karakter seseorang bisa terbaca dari cara ia berkendara? Menurutku sih begitu. 

Menurutku, pengendara yang suka melanggar lampu merah pastilah bukan tipe manusia yang penyabar. Kalau menunggu lampu hijau menyala demi keselamatannya saja tidak mau, bagaimana ia sabar dengan hal hal yang lain. Apalagi kalau tidak ada polisi, merasa tidak ada yang mengawasi, pengendara itu langsung melanggar lampu merah. Padahal kan itu berbahaya. 

Lalu tentang pengendara yang sering melanggar marka. Tujuannya untuk menyalip agar perjalanannya lebih cepat. Pengendara semacam ini mungkin di dunianya memiliki karakter yang suka memakan hak orang lain, masa bodo dengan keselamatan pengguna jalan, karena keselamatannya sendiri saja tidak ia pedulikan. Begitu pun ketika aku melihat ada pengguna jalan yang maunya menang sendiri, merasa paling benar, dan tidak mau mengalah. Aku yakin sekali, kalau dalam hubungannya dengan teman dan orang lain, pengendara itu sangat egois.

Aku jadi bertanya-tanya: apakah nyawa manusia itu tidak begitu penting sehingga mereka berhak menyepelekannya? 

Dari penilaianku tentang Han, ia sebenarnya lelaki yang perhatian. Ia lebih merawat aku daripada Rumi. Tapi, ketika di jalan, Han bukanlah pengendara yang baik. Itu asumsiku. Sedangkan Rumi, berbeda dengan han. Bagiku Rumi adalah pengendara yang super hati-hati. Dari kedua perbedaan itu, aku sudah bisa mengira-ngira bahwa pemikiran mereka tidak mungkin bisa sejalan.  

"Jangan berkata seperti itu, Cas" Tiba-tiba Rumi kembali berdiri di hadapanku. 
"Tapi kau setuju kan bahwa Han bukan pengendara yang baik?"
Rumi diam. Dalam diamnya aku bisa mendengar bahwa ia berkata "Kau benar, Cas". 

***
Keesokan harinya, Han benar-benar pulang ke rumah. Aku menyaksikan bagaimana laki-laki berusia 35 tahun itu menciumi Rumi dengan cinta yang menggebu-gebu. 

"Sungguh? Aku akan menjadi Ayah?" teriaknya sambil mengelus elus perut Rumi. Aku melihat kesedihan kesedihan yang semula menguar di rumah ini dalam sekejap menjadi kebahagiaan. 

"Aku tespack sudah positif sih. Tapi biar yakin, nanti kita periksa ke dokter ya, Mas"
Han mengangguk mantap. 

Dan, sekira azan ashar bergema, aku dikeluarkan dari garasi rumah. Mungkin ini waktunya untuk pergi ke dokter. Kulihat Rumi juga sudah berdandan dan siap mengunci pintu rumah. 

"Dapet antrean ke berapa?" tanya Han ke pada Rumi
"Dokter yang ini harus datang langsung deh, Mas. Enggak bisa pesen nomor via telepon" jawab Rumi.
"Wah antre panjang dong. Ya udah deh, kita cepet-cepet aja ke sananya. Mas males nunggu lama."

Deg. 
Mendengar kalimat terakhir itu, jantung Rumi maupun jantungku seperti dijatuhi petasan yang ujungnya sudah dinyalakan. Was-was akan meledak. Ya, petasan itu pasti akan meledak kalau Rumi sampai menolak untuk cepat-cepat sampai ke rumah sakit. Aku mendengar dia berbisik "Kalau Mas Han ngebut, aku pasti tegang. Dan kasihan kandunganku kalau aku stres". kata Rumi khawatir. Tapi kalimat itu tidak sampai kepada Han. Akulah yang mendengar semua itu. 

Rasanya aku ingin sekali mengendalikan lajuku lebih pelan lagi supaya Rumi tidak stres. Tapi Han terlalu dominan untuk bisa dikendalikan.

"Menurutmu bahaya enggak sih Mas, anak kecil diberdirikan kalau mbonceng motor?" tiba-tiba Rumi bersuara. Mungkin supaya ia lebih rileks. 
"Niat mereka kan supaya anaknya senang. Enggak ada salahnya sih menurutku"
"Tapi itu bahaya Mas."

 Ya, menurutku juga bahaya. Kalau sampai motor yang dinaiki oleng, anak yang berdiri itu pasti akan terpental jauh. 

Tapi obrolan Han dan Rumi terhenti. Seperti jalan buntu. Sudah kubilang, kalau mereka itu tidak pernah satu pemikiran. 

BRAAAAK! Aku melewati sebuah lobang jalan yang dalam. 

"Awwww!" Aku dan Rumi berteriak. 

Gila!!! Bagaimana mungkin Han sembarangan seperti ini. Rumi kan sedang hamil. 

"Maaf-maaf. Mas enggak lihat Dik"
"Makanya pelan-pelan dong Mas." Kata Rumi agak ketus.
Iya, pelan-pelang dong biar bisa lihat kalau ada lubang. 

"Mas sudah pelan kok. Tapi jalannya aja yang berlobang"
Hah? Ini serius kalau Han menyalahkan jalan berlubangnya? Bener-bener laki-laki paling benar sedunia.

Brakkkk! 

Astaga, begini lagi? 

"Masss?"
"Mas sudah hati-hati"

Tapi beberapa meter kemudian. 
Brakkkk!

Astaga. Sekarang, aku mendengar Rumi merintih kesakitan. 

Braaaak!!! 

"Astaga Dik, maaaaaaf. Adik tadi ngajak bicara sih, jadi Mas enggak konsentrasi dan melewati lubang terus menerus"

Huffft. Aku mendengus kesal seperti manusia.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku masih mendengar Rumi merintih kesakitan. 
"Kenapa Dik?"
"Enggak tahu, Mas. Sakit banget nih" jawab Rumi sambil memegangi perutnya. Dan aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi. 

Ketika Rumi dan Han menjauh, aku merasa punggungku basah dan tercium bau amis. Dari jauh aku melihat ada warna merah menempel di celana Rumi. 

Aku menunggu mereka dengan khawatir. Dua jam lamanya Rumi tidak kembali. Hanya Han yang beberapa kali mengajakku pulang ke rumah untuk mengambil berkas-berkas yang entah apa fungsinya, lalu kembali ke rumah sakit. 

Sampai senja menghilang, dan hari berganti malam Rumi tidak juga kembali menemuiku. Sekarang, aku sangat mengkhawatirkannya. "Kau kenapa Rum? Pulanglah..."

-------
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk