Skip to main content

Mewarnai Indonesia: Kelas Blogging Gratis Asuhan Pojok Duta Damai

Setiap orang (ada kalanya) tak mampu menyimpan sendiri kegelisahan-kegelisahan yang meresahkan isi kepalanya, sehingga kemudian mereka butuh berbagi, bersuara, dan menuliskannya. Saya sendiri menganggap aktivitas menulis sebagai salah satu cara untuk berbagi dan mengutarakan apa-apa yang terpenjara dalam dada. Untuk itulah saya menuliskan banyak hal di blog ini--hal-hal remeh temeh yang terkadang hanya semacam "eek" ketika saya mules-mules menghadapi dunia. Namun, (jika sedang waras) saya  juga menulis perkara serius berbumbu doa paling sederhana dengan harapan dapat menjadi obat mual seseorang yang merasa tengah menjalani hidup laiknya rollercoaster. 




Berangkat dari tujuan yang sama, sekira 20 orang datang ke Rumah Kreatif Jogja pada 22 Februari 2017 untuk mengikuti kelas blogging bertajuk "Mewarnai Indonesia". Kelas ini digagas oleh Elizhabet Elza dan Pojok Duta Damai untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin belajar membuat blog, menulis, dan mendalami dunia blogging. Setiap peserta yang datang rata-rata memiliki alasan menulis di blog yang berbeda-beda. Ada yang mengantungi alasan ingin mengabarkan aktivitasnya di komunitas sosial. Ada peserta, yang seorang tuna daska, ingin membuat blog untuk menyuarakan suara penyandang difabel. Ada juga yang datang untuk belajar memperbaiki kualitas blognya, sekaligus temu kangen sesama blogger. 




Acara ini memang terkesan sederhana, tapi menjadi spesial karena memiliki manfaat yang tidak biasa. Selain didukung Diskominfo DIY, Dinas Pariwisata Sleman, DeMata Trick Eye Museum dan tentunya Rumah Kreatif Jogja, peserta yang datang tidak dipungut biaya sepeser pun. Maka dengan semangat berbagi itulah, kelas blogging gratis asuhan Pojok Duta Damai ini sukses terselenggara di putaran pertama. Rencananya, acara "Mewarnai Indonesia" akan rutin diagendakan setiap sebulan sekali. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk