Skip to main content

*Catatan pengganti doa buat pelayanan umum yang jauh lebih baik

Satu tahun yang lalu, eh, lebih dari setahun yang lalu. ketika aku kembali pulang menaiki kereta api. Aku hampir menangis ketika di jendela kereta, di pintu-pintu gerbong terpampang tulisan "Pedagang Asongan dilarang berjualan di Kereta Api". Apa-apaan ini batinku. Mau dikemanakan pedagang-pedagang itu jika di luar kereta api pengangguran telah antri mengharap nasib baik. 



Kemudian isu-isu penertiban itupun berembus. Sampai sekarang, peraturan itu kini menjelma jadi jeruji. Makin ketat makin tak kenal kompromi. Di antara penertiban itu, aku bersyukur karena pedagang asongan, pengamen bahkan banci kereta api masih bisa beroperasi. Sebab, penertiban itu rupanya diberlakukan hanya untuk para penumpang.


Kini, tak lagi gampang mencari tiket untuk perjalanan yang direncanakan mendadak. Kereta api ekonomi sekalipun telah berubah menjadi alat transportasi yang ekslusif. Kenyamanan terjamin, tidak perlu berebut kursi. Alat transportasi yang murah namun sulit dijangkau sewaktu-waktu. 

Seperti tanggal 1 Sepetember lalu. Setelah mengisi formulir sesuai KTP dan berdiri di antrian menuju loket kereta Pasundan, aku belum juga bernasib baik. Aku menyodorkan formulir tersebut ke petugas loket. Formulir yang kuisi untuk pembelian tiket tanggal 4 September. 

"Ini ekonomi atau yang AC, Mbak?" tanya petugas loket karcis. 

"Ekonomi Mbak, Kereta Pasundan. "kataku. Sengaja kutegaskan kata Pasundan supaya memperjelas bahwa aku tahunya kereta pasundan itu ya kereta ekonomi. 

"Nggak ada Mbak, Pasundan adanya yang AC, harganya 120 ribu" Petugas itu menjelaskan padaku sembari mengembalikan formulir yang kuserahkan. Aku terheran-heran. Demi Tuhan, selama di Jogja aku pulang ke Cilacap selalu memakai kereta Pasundan, kereta ekonomi yang sekarang harganya 35 ribu. Bahkan lebaran yang jatuh bulan lalu aku masih menaiki Pasundan sampai Cilacap. Ada apa ini? Kenapa petugas loketnya justru bilang Pasundan itu kereta ber-AC. Jelas-jelas aku belum pikun. Pasundan itu kereta ekonomi non AC. 

Aku mundur dari depan loket tapi belum benar-benar mau pergi. Aku kembali menongolkan wajahku ke kaca. "Yang Pasundan beneran ndak ada yang ekonomi ya Mbak?" tanyaku penuh rasa penasaran. 

"Iya Mbak, nggak ada. " seru petugas tiket itu dengan microfon. 

Akupun akhirnya mundur. Kudatangi satpam penjaga pintu. Lelaki yang tadi kumintai formulir sebelum mengantri. Aku datang penuh harap. 

"Mas, apa Pasundan ekonomi itu udah ndak ada lagi? Kok katanya adanya AC."

"Iya, Mbak, sudah habis. Sekarang tinggal AC" Aku tercerahkan. Well, berarti kereta ekonomi mungkin masih ada walau entah tanggal berapa, mungkin malam atau kapan. Tapi kok petugas loketnya nggak menjelaskan bahwa tiketnya sudah habis. Bukan malah bilang kereta Pasundan itu adanya AC. Bisa tak ajak perang mulut tuh si Embak. Aku kembali menerobos antrian dan menongolkan kembali wajahku ke depan kaca loket. 

"Mbak, Pasundan ekonomi adalagi kapan?" Ini pertanyaan jebakan. Aku hanya butuh jawaban bahwa kereta Pasundan itu yang ekonomi sudah habis. Tinggal tiket yang AC. Mungkin petugas loket itu akan bilang, tiket yang ekonomi akan ada lagi satu minggu, atau setahun kemudian.

"Kereta Pasundan ekonomi terakhir hari ini, dan tiket sudah habis, adanya yang AC" Gludak!! Terakhir hari ini. kereta ekonomi berjenis kelamin Pasundan itu terakhir operasi hari ini gitu maksudnya. Artinya seminggu atau setahun kemudian sudah ndak ada lagi kereta Pasundan ekonomi? Aku kembali mundur.

Sial bener dengan rasa penasaranku yang menuntut terpuaskan. Kemudian aku kembali ke lelaki Satpam yang mukanya sumpah bikin nggak enak hati. 

"Mas, emang kereta Pasundan ekonomi udah nggak ada yah? Kok aku tanya terakhir ada hari ini? Pasundan ekonomi mau dihapus apa gitu maksudnya?" Kali ini aku bener-bener serius.

"Coba Mbaknya liat monitor di ujung sono, Mbak. Liat di sana masih ada bangku berapa buat kereta Pasundan. Kalau angkanya nol berarti udah habis. Sekarang tu, Pasundan ada spesial gerbong ACnya. " Aku neloyor jalan ke arah yang ditunjukin Pak Satpam. Oh, tambah gemblung. Angkanya masih 97 tuh. Its mean masih ada bangku 97 lagi di tanggal 4 September. Aku lihat tanggal 5, 6, 7, sampai seterusnya ndak ada yang berangkal nol. Lalu??? Kenapa Mbaknya bilang udah habis. Kenapa bilang terakhir ada Pasundan Ekonomi hari ini? Trus 97 bangku itu maksudnya buat yang AC? Ndak ada tuh penjelasan, 97 itu AC, dan 0 buat yang ekonomi. Di sana cuma tertulis, PASUNDAN tanggal 4 September masih 97 kursi. Kursi untuk gerbong AC atau ekonomi cuma Tuhan yang tahu, penumpang terima aja dibohong-bohongi. (Oke, ini cuma prasangka burukku)

Nah, kebetulan tuh ya. Pas nonton monitor ada Pak polisi lagi menjelaskan ini itu ke calon penumpang. Mataku kembali bersinar. Aku seperti menemukan malaikat yang bisa memberikan jawaban paling gamblang. 

"Hei Pak Polisi, begini, tadi saya tanya sama Mbak penjual loket katanya terakhir ada Pasundan ekonomi hari ini. Emangnya mau dihapus ya Pasundan ekonominya. Trus aku tanya sama Pak Satpam, tapi dia nyuruh aku liat monitor buat tahu kursi yang kosong. Aku kan mau cari tiket tanggal 4 September, katanya habis, lah itu kok masih 97? Itu AC atau ekonomi? Gimana cara tahunya?" Si polisi malah cuma bengong. Agak bingung kali mau nanggapi aku yang cerewet.

"Itu mungkin AC, Mbak" Oh devil. Cuma itu jawabannya? Bener-bener dongkol aku langsung pulang.

Sorenya, aku kembali datang. Rasa penasaran membuatku kembali dan berencana merusuh buat pelayanan yang muter-muterin keingintahuanku. Aku kembali mengantri. Oh, petugas loketnya ganti orang. Aku menyodorkan formulir untuk permintaan kereta ekonomi pasundan tanggal 4 September. 

"Maaf Mbak, tiket ekonominya sudah habis. Tinggal AC kalau mau. Harganya 120ribu"

"Oh, gitu Mbak ya, trus ada lagi kapan Mbak?" Ini cuma pertanyaan jebakan. Aku juga nggak akan beli kok, kalau adanya lagi tanggal 5 sekalipun. Soalnya aku cuma butuh tiket pulang tanggal 4 Sepember 2012. Selain itu no!

"Adalagi tanggal 13 September, Mbak?" Oh, good. Ini baru jelas. Artinya tiket kereta ekonomi Pasundan tanggal 4 tuh habis, bukannya nggak ada lagi kereta Pasundan ekonomi. Uh...Petugas loket, Satpam dan polisi yang ngePAM di stasiun Lempuyangan pada tanggal 1 September siang itu bener-bener bikin hatiku kacau balau. Pelayananmu buruk, Men!

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil