Skip to main content

Posts

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Babymoon di Gallery Prawirotaman Hotel?

Memasuki trimester akhir kehamilan, jujur, aku suka sedih kalau harus sendirian di rumah pada malam hari. Terkadang, pengin makan sesuatu jadi harus nahan diri. Belum lagi, kalau mati lampu dan terngiang-ngiang omongan temen tentang ibu hamil yang rentan digangguin makhluk halus. Ihhh seremmm. Tapi ...  sebenernya yang paling membuatku khawatir ialah, jika terpeleset di kamar mandi. Itu sungguh membuat langkahku tidak nyaman karena jadi superhati-hati.  Namun, di hari Kamis 26 Oktober 2016, suamiku bilang ada acara bersama BEKRAF di Gallery Prawirotaman Hotel  selama 2 hari. "Mas boleh nginep?" tanyanya.  Aku tentu saja tak bisa melarangnya dengan alasan-alasan manja di paragraf pertama. Meski keberatan, akhirnya pun aku mengangguk juga. Kutenang-tenangkan diri, bahwa suami toh masih di dalam satu kota. Sekali pencet, ia bisa segera pulang menemuiku.  Eit, tapi tak kusangka, menjelang sore di hari yang sama, suamiku justru menyuruhku menyusulnya ke hotel. Mungkin

Kuberi Judul Tentang Pernikahan Kami

Aku mengembuskan napas panjang, saat seorang teman bertanya tentang hubunganku dengan Mas Zul. Rasanya dadaku seperti sedang dicubit semut merah balas dendam karena melihat kawannya lebih dulu kumutilasi. Ya, memang tidak terlalu sakit sih, tapi perih, dan gatal kemudian.  "Masa kalian belum pernah bicara soal lamaran?" tanyanya lagi.  Aku hanya bisa menggeleng lemah. Jangankan membahas lamaran, mengomentari artis kawinan aja bikin Mas Zul sensitif. Dikiranya ... aku ini sedang ngasih kode untuk segera dinikahi. Sedangkan dia yang masih menempuh gelar masternya selalu merasa belum siap. Aku dan Mas Zul memang sudah pacaran selama 4 tahun. Wajar kiranya jika mulai muncul pertanyaan-pertanyaan ngeselin seputar kapan dan kapan. Waktu itu, usiaku 24 tahun dan Mas Zul 27 tahun. Masih terbilang muda bagi kami, tapi tidak bagi orang tuaku di kampung. Itulah yang membikin aku gelisah ketika harus pulang menjelang Lebaran.  Ya, Agustus 2012, akhirnya aku pulang dengan j

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Takbir Pertama Kami di Yogyakarta

Tidak usah mudik. Begitu pesan orang tua dan mertua tahun ini. 2017. Tahun pertama bagi saya dan suami untuk memutuskan tidak pulang kampung ketika Lebaran.  Alasan kami tidak mudik memang tak hanya satu, tapi satu-satunya yang paling kami pertimbangkan ialah supaya saya tidak mengalami lelah perjalanan. Ya, saya sedang hamil tiga bulan, anak pertama, dan perjalanan ke kampung halaman tak cukup 1-2 jam.  Sebagai seorang perempuan, ini adalah tahun pertama bagi saya untuk memikirkan menu Lebaran dan kue di meja tamu rumah kami. Terlebih, satu hari sebelum Lebaran, suami saya ulang tahun. Namun, s aat jarum jam bergerak ke angka 1 dini hari di tanggal 24 Juni, tak ada kue ulang tahun yang saya nyalakan. Saya terbangun hanya untuk menghidupkan ricecooker yang memasak nasi sahur. Selesai itu, saya kembali ke kamar, memeluk suami yang sudah tidur sebelum hari berganti.  Tidur yang terlalu lelap, rupanya justru melenakan kami hingga subuh datang. Maka hari itu benar-benar tak ad

Poligami di Ranjang Kami

Di atas ranjang kami sendiri, tiba-tiba ia bahas soal poligami. Ia—suamiku sendiri itu—sekali-kalinya aku diajaknya bicara justru perkara yang kerap jadi neraka. Perkara seserius ini, pertama-tama ia gelar di atas ranjang kami dengan keheranan yang berlebih-lebihan. “Temanku itu, Sayang, heran aku pada ceritanya. Ia bilang padaku dengan bangga bahwa istrinya mengizinkan poligami. Pantaskah kebanggaannya itu? Bagaimana dengan istrinya?” Belum sempat kutimpali, ia melanjutkan lagi, “Betul-betul sulit kupahami. Ia biarkan istrinya memelihara pikiran semacam itu. Dan ia sendiri justru bangga.” Lantas aku bertanya-tanya tanpa suara: kan tak semua bisa kendalikan pikiran orang lain, sedang pikirannya sendiri kadang juga sulit dimengerti. Dan yang keluar dari mulutku adalah: memelihara pikiran semacam itu, apa maksudnya, Mas? “Poligami, Sayang. Istrinya bersedia memberi izin poligami, memelihara pikiran semacam itu, seperti semua bukan suatu soal yang tidak bakal jadi masala

Mewarnai Indonesia: Kelas Blogging Gratis Asuhan Pojok Duta Damai

Setiap orang (ada kalanya) tak mampu menyimpan sendiri kegelisahan-kegelisahan yang meresahkan isi kepalanya, sehingga kemudian mereka butuh berbagi, bersuara, dan menuliskannya. S aya sendiri menganggap aktivitas menulis sebagai salah satu cara untuk berbagi dan mengutarakan apa-apa yang terpenjara dalam dada. Untuk itulah saya menuliskan  banyak hal di blog ini--hal-hal remeh temeh yang terkadang hanya semacam "eek" ketika saya mules-mules menghadapi dunia. Namun, (jika sedang waras) saya  juga menulis perkara serius berbumbu doa paling sederhana dengan harapan dapat menjadi obat mual seseorang yang merasa tengah menjalani hidup laiknya rollercoaster.  Berangkat dari tujuan yang sama, sekira 20 orang datang ke Rumah Kreatif Jogja pada  22 Februari 2017 untuk  mengikuti kelas blogging bertajuk "Mewarnai Indonesia". Kelas ini digagas oleh Elizhabet Elza dan Pojok Duta Damai untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin belajar membuat blog, menulis, dan mendala