RIP lelaki yang kusebut Lilik.
Aku masih ingat ketika pukul 09.00 pagi, lelaki itu menelponku. Ia mengatakan sedang terapi di pengobatan alternatif. Selain menanyakan kabar, rupanya ia sudah mendengar kabar aku akan menikah.
"Kok malah terapi, bukannya mau operasi, Lik?"
Aku cukup heran. Rencana operasi yang dijadwalkan rumah sakit sebelum lebaran justru mengaret tanpa kabar lanjutan. Kenapa tidak dirujuk ke lain rumah sakit. Ah, aku tak berani bertanya.
"Mungkin rumah sakitnya ndak sanggup, makanya ndak telepon-telepon lagi" katanya putus asa.
Ia lelaki yang baik. Adik dari ayahku. Kemudian kami terus mengobrol, menanyakan kabar keluarga karena setahun sudah kami tidak berjumpa.
"Doain lilik bisa sembuh ya, Ik. Biar bisa datang pas kamu nikah" Aku mengiyakan sembari berdoa. Yah, pasti kamu sembuh, Lik. Meskipun aku tidak tahu seberapa sakit yang kamu rasakan. Tapi kamu cukup tegar, cukup mampu menyembunyikan kesakitanmu dari kami. Bahkan, berat tubuhmu stabil dan tak membahasakan ada penyakit yang bersembunyi di dalamnya.
"Tapii... kalau Lilik ndak bisa datang jangan sedih ya, Ik. Soalnya, kalau masih sakit begini ya ndak bisa ke mana-mana" lanjutnya. Aku maklum untuk itu. Ndak papa kataku. Meskipun aku berharap banyak ia bisa datang tapi aku tak bisa memaksakan kehendak. Setelah kembali membicarakan keluarga di kampung, ia pamit menutup telepon. Seperti firasat. Tepat sehabis maghrib. Aku mendapat kabar, jika lelaki itu telah berpulang ke rumahNya yang paling abadi. Ah, rupanya ia telah tahu, bahwa ia tak mungkin bisa datang ke pernikahanku nanti.
0 komentar
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....