Skip to main content

Tragedi Maling-malingan


Maling masuk kos lagi? WHAT? 


Lagi asyik ngegosip malem-malem sama Swastika Palupi, jadi mendadak merinding deh denger kabar begitu. "Iya, sore tadi. Pintu kamar ujung sono udah dicongkel lho" kata Ifa Zhena

Sore? Waw, mungkin maling masuk tepat ketika aku sama pacarku lagi chatingan di FB. Padahal aku sudah bilang sama pacarku suruh jangan ke warnet. Diem dulu deh di kos. Urusannya sama ekonomi. Lagi tanggal tua nih. Ealah, kok malah kalimatku ada benernya juga. Tumben-tumbenan nih firasat cenayangku aktif. Grekk. 

"Trus, apa yang ilang?"

Aku bertanya sambil menutup pintu. Kan malem Jumat, kali aja kuntilanak juga pengen ikutan ngegosip. "Untung gak ada. Mungkin belum sampai ke kamar kita" Apa kamar kita? Oh Tuhan. Tadi sudah kubilang kan, ini tanggal tua. Maling apa ya doyan sama bantal dan kasur buluk doang. Cuma itu yang berharga di kamarku. Yah, namanya ngegosip, dari urusan maling sampai kuntilanak bikin mata jadi kedip kedip. 

Astaga, udah jam 12 malam, bahkan Swastika Palupi udah tidur duluan. Bener-bener dah tu bocah! Nggak nonton filem horor, nggak dengerin cerita horor, hobinya melulu ninggal tidur duluan. Setelah Ifa Zhena keluar kamar, buru-buru dah aku nyusul tidur. Nimbang aku ditemenin ngobrol sama kuntilanak galau, kan horor. 

Idih, paginya, hapeku udah dibrondong SMS sama Fairuzul Mumtaz . "Jam 2 pagi masih onlen di warnet? Udah jam berapa ini, eh?" Baca SMS yang nggak masuk akal itu. Mata yang masih belekan jadi melotot kaget. Aih, siapa yang ke warnet? Apa bener semalam aku dituntun kuntilanak sampai warnet. Dan sialnya, setelah kubuka FB, nggak cuma pacarku lho yang ngechat aku di jam hampir subuh. Aih gila, nih. Facebookku mungkin kena bajak laut ya, facebookku kedatangan maling lagi.

diunggah di facebook 25 Mei 2012

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil