Skip to main content

Ingatan Tentang Buku, Guru dan Kampung Halaman

Ingatan yang tak utuh ini begitu saja datang. Sebuah kantor sekolah dasar di kampungku. Di ruangan itu, di belakang meja meja guru ada sebuah lemari besar. Katakan saja itu perpustakaan. Lemari perpustakaan yang berjejer dengan buku-buku yang berantakan. 

Jangan bayangkan perpustakan yang mandiri di ruangan sendiri. Zaman itu, ruang kelas saja berbagi jam. Jangan bayangkan bagaimana minat baca kami saat itu. Melewati meja-meja guru menuju perpustakaan tentulah tidak menyenangkan. Istirahat kami diisi kasti dan permainan-permainan. Jangan tanyakan perpustakaan umum di kampungku, datanglah bertamu ke rumah. Di rumah-rumah kami lebih banyak kitab-kitab agama yang berupa buku. 

Apakah kami boleh pinjam buku di sekolah? Tentu saja boleh. Guru-guru sekali waktu meminjamkannya untuk dibawa pulang. Tidak lebih dari dua buku. Itu pun disarankan untuk bergilir dengan teman. Barangkali guru kami itu lebih tahu, bahwa di usia kami saat itu membaca buku nonpelajaran haruslah dibatasi. Kami terbiasa untuk tidak leluasa memilih apa yang kami sukai. Sepulang sekolah harus tidur siang. Kemudian berangkat ke surau untuk mengaji. Pulang ke rumah mengerjakan PR kemudian tidur malam. Selalu seperti itu. Ajaran kedisplinan usia dini kata orang. 

Namun ada yang terlewat. Keinginan membaca buku menjadi candu sendiri bagiku. Ibu tak pernah membelikan buku bacaan untukku. Bagi mereka, membayar uang SPP jauh lebih penting ketimbang buku bacaan. Aku mahfum akan alasan itu. Kami ini miskin harta, tapi kemiskinan terbesar kampungku adalah ketika pendidikan menjadi nomor sekian dalam hidup. 

Saat itu Bapak hanya pengajar. Kunci kantor sekolah selalu dibawanya pulang ke rumah. Kunci kantor yang kemudian menjadi jalan kenekatanku untuk mencuri. Ini memang kurang terpuji. Diam-diam tanpa sepengetahuan Bapak, aku menerobos masuk ke kantor sekolah. Di sana aku mengambil beberapa buku bacaan, bersembunyi di gorong-gorong sumur sambil menamatkan cerita di buku. Berlanjut seperti itu dalam waktu yang lama; setelah selesai membaca, aku akan mengembalikan buku tersebut dan mengambilnya yang baru. Bapak tidak pernah tahu. Di usiaku yang selalu ingin tahu, rupanya aku telah pandai menyusun siasat. 

Sampai pada akhirnya aku lelah dengan kegiatan tersebut. Setelah memasuki usia SMP sekalipun aku tak dijinkan baca novel. Ibuku tak pernah tahu mana novel yang boleh kubaca dan mana yang tidak. Ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Segala buku berlabel novel dilarangnya kubaca. Karena itulah aku sembunyi-sembunyi membaca novel di lain tempat. Namun Ibu tidak pernah tahu, dalam persembunyianku itu--aku justru menemukan novel yang seharusnya disembunyikan dariku saat itu. Sebuah novel dengan judul yang sudah kulupakan, dan ditulis oleh penulis Fredy S.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil