Skip to main content

Sakit sakit sakit

Senin (25/3) aku menghadap monitor komputer dengan serius. Aku lari dari blog satu ke blog lainnya, sekali lagi kubilang. Ini kulakukan dengan serius di jam kerja. Hasilnya, kepala tegang dan mata jadi tidak bisa dikontrol buat berhenti berkedip-kedip. 


Sehari setelah itu, aku diserang kantuk berat di pagi dan sore hari. Lebih tepatnya bukan kantuk, tapi mataku serasa ingin menutup meski tak mengantuk. Ini kualami selama dua hari. Sampai hari keduanya, di malam hari aku merasa sakit kepala. Lebih sakit lagi ketika subuh datang (hari ketiga 28/3). Aku merasa sakit, dan sakit yang tidak terkira. Tapilah mataku cukup terkendali. 



Nah, menjelang pukul 8 pagi, barulah sakit kepalaku hilang tapi ada bagian antara kuping dan rahangku yang justru sakit. Yes, awalnya kupikir sakit gigi. Tapi tidak! Gigiku baik-baik saja. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menahan sakit ketika membuka mulut terlalu lebar. Akan ada bunyi 'kletuk' di bagian antara rahang dan kuping. Dari bunyi itu aku tahu, ada yang tak beres. Tapi aku tak merasa melakukan kekerasan terhadap bagian itu jika mungkin tulangku bergeser. 

Kuceritakan pada suamiku. Aku khawatir, sungguh, aku tipe perempuan yang khawatir pada tubuhku. Tapi suamiku bilang ini cuma bawaan aku datang bulan. Iya, waktu itu aku lagi menstruasi. Pengalaman yang sudah-sudah, selalu kejadian begini. Merasa sakit yang aneh-aneh. Maka aku tak ambil pusing. Rasa sakit ini kurasakan sampai sekarang ketika kutulis postingan ini. 

Sejak gendut, aku memang lebih banyak merasa sesak napas. Kupikir ukuran braku membikin sesak. Tapi telanjang pun kualami sesak yang begini menyiksa. Tak ada riwayat asma di keluarga, jadi kusimpulkan jika maagku barangkali penyebabnya. 

Di Sabtu sore (30/3) selain sakit yang kujelaskan tadi, masih ditambah dengan perut yang mules-mules. Sore itu aku lagi di kantor suamiku, jadilah kutahan-tahan perut sakitku yang pengin Pup. Dan sialnya, sesampai di rumah aku tak lagi nafsu ke kamar mandi. Maka kuhitung, 'sampah' itu tertahan di perutku selama 4 hari sampai hari ini. 

Perutku bener-bener tidak nyaman. Kemarin sudah kurasai bagian ginjalku serasa ditusuk-tusuk. Badan sakit semua seperti baru bepergian jauh naik motor. Kemudian malamnya aku mulai merasa anyang-anyangan. Kemihku sakit. Dan yes, hari ini pun belum sembuh. Ditambah tak nyaman lagi dengan badan yang panas dingin. Astaga. Kenapa aku ini? Infeksikah aku? Maka kuhabisi air putih terus menerus. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil