Skip to main content

Cerita Jorok

*Sebaiknya dibaca sesuah makan, dan pembaca yang udah akil baligh. 

Sebagai istri, terkadang ia butuh dimanja, butuh diperhatikan, butuh banyak hal yang katanya sangat sulit didapatnya dari si suami. Bahkan di akhir pekan, yang ia harap-harap bisa berlibur berdua, mungkin menikmati senja yang romantis, atau sekadar candlelight diner, tapi toh ia justru menelponku untuk bertemu. Ia selalu mengadu segalanya, padahal sudah bersuami. Kupikir-pikir lagi, temenku yang ini kok ya terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Ups.

Suatu hari, temenku ini mengalami diare selama empat hari. Ia mengadu padaku. Dan jadilah, obrolan kami di kedai salad sore itu membikin nafsu makanku hancur kerna ia terus membicarakan soaal tinja yang encer, tak berbau, dan beda dengan tinja-tinja sakit yang pernah ia alami. 
"Kamu memang sahabatku, Tik. Bahkan suamiku tak tau aku sakit" katanya, menutup cerita panjang soal tinja. Sebelum, kami berpisah untuk pulang. Aku menyarankan supaya ia bercerita pada suaminya. 

Akhir pekan selanjutnya, kami tak membikin janji. Ia yang datang ke rumahku tanpa lebih dulu memberi kabar. 
"Aku sudah cerita sama suamiku, Tik" katanya dengan wajah tak bersalah. Padahal aku baru bangun tidur ketika ia datang. Sumpah, dia pikir hidupku cuma buat mendengarkan ceritanya, yah? Memangnya soal apa? Setiap hari dia mengirim SMS. Bahkan, sewaktu dia pulang kerja dan ketemu orang gila di jalan sekalipun ia adukan kepadaku via SMS. Jadi ini soal apa yang sudah ia bongkar di hadapan si suami? 

"Dua hari yang lalu, saat diareku tak kunjung sembuh. Aku ndak minum obat, ataupun ke dokter. Soalnya kupikir ini bukan sakit. Bahkan anusku tak terasa panas" lanjutnya. Astaga. Aku belum sarapan, dear. Belum pula cuci muka. Ternyata masih soal tinja. 
"Lalu?" Jawabku, demi menghargaai ia bercerita. 
"Aku sudah cerita ke suamiku. Kubilang begini. Pap, akhir-akhir ini pupku lancar banget loh. Bahkan tinjaku kayak air mancur. Tapi aneh, biasanya yang namanya diare kan mules-mules dulu. Ini nggak. Lancar gitu aja" 
"Trus?" Aku mulai mules. 
"Trus, dia masih diem Tik. Kulanjutkan lagi. Dan Pap, kalau aku boleh milih ya, aku lebih seneng pup yang biasa aja deh, atau yang keras sekalian. Rasanya aneh lah pup lancar begini. Jadi nggak ada usaha. Nggak enak" Yes. Aku berdoa. Selesailah soal tinja. Intinya apaa sih ini cerita? 
"Tapi jawaban suamiku sangat mengecewakan, Tik. Dia bilang begini. Bersyukurlah kamu dikasih enak. Kan tak perlu susah-susah mengejan. Katanya dengan mata tajam ke arahku--seakan-akan aku makhluk yang paling tak tau bersyukur" Wajahnya mulai mendung. Dan aku menaruh iba tiba-tiba. Temenku yang malang. Yang mungkin kurang kasih sayang. 

Aku paham betul yang ia maksud. Di antara sekian ceritanya, ia pernah bilang bahwa pup itu, pekerjaan menjijikan tapi nikmat. Ia menikmati setiap usahanya mengejan dengan berpikir di toilet. Ia penulis. Pun suaaminya yang seprofesi. 

"Ketika pup, aku mendapat banyak ide" katanya suatu hari. Padahal, dia juga pernah bercerita bahwa ustadzah yang mengajarnya mengaji melarangnya memungut ide yang datang ketika pup. Saat itu tawaku pecah. Ia bilang ide yang datang di toilet, ialah datangnya dari setan. Aku kembali tertawa. 

Maka menanggapi soal tinja, aku bilang begini pada temenku. Bilanglah pada suamimu itu, apa mimpi basah lebih enak daripada making love? Kan intinya sama, mengeluarkan tanpa usaha? Atau apa menurutnya makan pil anti lapar lebih enak daripada bisa makan nasi, lauk dan buah. Kan begitu. Intinya kenyang tanpa usaha mengunyah. 

Demi mendengar ceritaku, ia malah makin murung. 

"Kamu memang temenku Tik, bahkan pikiran kita sama. Aku pun sempat mengelak dengan bilang begitu. Tapi ia menjawab begini. Enak dan nikmat itu kan beda. Seperti melahirkan, yang konon sakit tapi nikmat. Ia bilang lagi, aku harus mencerna ucapannya tadi. Tentang, mestinya aku bersyukur karena dikasih pup dengan enak tanpa sakit mengejan. Bukan soal nikmat. Ah, Tik. Percuma rasanya ngomong sama suamiku. Masa di rumah pun harus buka KBBI, biar kalimat kami tepat. Aku harus selalu hati-hati mencerna ucapannya" 

Jleb. Temenku ini. Sekarang ia menelpon untuk minta bertemu. Rencananya, kami akan makan di Spesial Sambel. Semoga tak ada obrolan tentang tinja di sore yang mendung di Jogja ini. 


Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil