Skip to main content

Beranikah Anda Donor Darah?

Sungguh. Cerita ini tidak bertendensi untuk pamer moral. Aku menuliskannya demi mengarsip setiap hal yang menarik bagi diri sendiri. Semacam curhat. 



Ya, akhir-akhir ini, status seorang teman sering muncul di timeline facebookku. Dari sekian tema yang ia tulis (mungkin kebetulan saja tulisan yang kubaca) tentang donor darah. Aku mengira-ira bahwa mungkin sekarang ia tergabung dengan organisasi pecinta donor darah. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aktivitas yang ia lakukan sangatlah baik. 

Ia juga penulis yang baik. Banyak hal yang ia bagi di catatan-catatan pendeknya tentang seberapa penting darah bagi seseorang yang membutuhkan. Aku tahu, mungkin banyak program lain yang aku tidak tahu dan dilakukan aktivis-aktivis semacam dia selain soal donor darah. Dan, sebagai penulis (mungkin) ia memilih dengan caranya sendiri. Satu dari sekian cara yang ia lakukan, adalah rajin berkisah di facebook. 

Tulisannya itu sangat menyentuh dan menginspirasi; tentang tolong menolong, pengorbanan, kematian, penyakit dan rasa kehilangan. Aku sendiri suka diam-diam terisak, dan terbawa emosi saat membaca cerita yang ia posting. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Ia mengajak orang lain untuk berbuat baik karena ia sudah mengawalinya dari diri sendiri. Sedangkan aku? Bahkan membayangkan benda tajam seperti jarum menusuk kulitku saja ngeri. 

Hampir dua tahun yang lalu, aku pernah donor darah. Sebuah pengalaman pertama, sekaligus yang terakhir kali. Itu pun karena ada seseorang yang membutuhkan, dan bukan karena kesadaran untuk datang setiap tiga bulan sekali. 

Sampai pada Jumat yang sunyi, aku kembali menemukan status temanku itu di timeline Facebook. Ia mengabarkan bahwa ada pasien yang membutuhkan darah golongan A. Entah kenapa tidak ada keraguan sedikitpun ketika tiba-tiba aku mengomentari statusnya. Aku bilang, sepulang kerja darahku bisa diambil. Bahkan aku melupakan rasa takutku dan bayangan-bayangan buruk tentang darah yang tersumbat dan gagal diambil. 

Beberapa menit kemudian temenku itu menawarkan diri untuk mengantarku ke Sarjito. Ini karena aku mengeluh lupa lokasi dan sedikit gugup. Namun, ternyata temenku yang lain lebih dulu siap mengantarku pergi, sehingga terpaksa kutolak tawarannya. 

"Kalau bingung, ke Garden dulu aja" kira-kira begitu katanya melalui Facebook. Garden adalah kafe di kampusku dulu. Aku pun menyanggupi. 

***
Pukul lima sore, dari kantor aku menuju lokasi temanku yang akan mengantar pergi ke Sarjito. Sebelumnya, sudah kuprint informasi pasien yang membutuhkan donor itu dari status temanku tadi. Karena terburu-buru aku melupakan janjiku untuk lebih dulu menemuinya dan bukan langsung datang ke RS. Sialnya, aku pun kehilangan kontaknya saat dua bulan yang lalu handphoneku hilang. 

Jadilah aku nekat saja masuk ke PMI dengan perasaan takut sekaligus gugup yang mungkin tidak akan berlebihan jika ada seseorang yang lebih tahu dan mendampingiku. Teman yang mengantarku bahkan belum sekalipun menjadi pendonor karena berat badan yang tidak memenuhi syarat. 

Aku berdiri di depan tempat pendaftaran dengan beberapa sukarelawan yang sama-sama bergolongan darah A. Saat petugas bertanya apa yang bisa mereka bantu, aku mengangsurkan kertas yang kuprint tadi. 
"Saya mau donor darah buat satu dari mereka ini" kataku. 
"Oke, nama ini saja ya Mbak" katanya, sambil melingkari satu nama di kertas tersebut. Setelah mengisi formulir aku masuk ke ruangan lain--ada tiga laki-laki yang siap donor dan satu petugas di sana. 

Aku pun duduk di kursi kosong dekat mereka. Satu lelaki sedang dicek golongan darah dan HB-nya oleh petugas. Setelah selesai, lelaki tadi menghampiri temannya di sampingku. 
"Asem, HBku rendah jadi nggak bisa diambil" bisiknya. Aku tidak terlalu memperhatikan obrolan mereka karena namaku buru-buru dipanggil. 

Tanganku benar-benar dingin. Takut dan gugup benar-benar menguasaiku. Saat petugas itu mengeluarkan jarum dan peralatanya, aku hilang konsentrasi. 
"Mbaknya pernah gagal di HB?" tanya petugas. Mungkin ia menangkap kegugupanku sehingga mengajakku ngobrol. Sayangnya aku benarbenar tidak konsentrasi. 
"Hah, apa Mbak"
"Mbaknya pernah gagal di HB"
"Maksudnya gimana, Mbak?" Tiba-tiba yang ada di kepalaku adalah tentang darah yang menggumpal, menyumbat dan gagal diambil seperti yang pernah diceritakan temanku di Facebook. Astgaa, aku semakin ketakutan. Bahkan aku sama sekali tidak mendengar lagi apa apa yang dijelaskaan oleh petugas tadi. 
"Nggak tahu. Lupa Mbak" kataku. Bayangkan saja; aku hanya pernah sekali datang ke PMI untuk donor darah dan langsung lolos cek. Bagaimana mungkin aku lupa? Lagian, pengalaman pertamaku tidak ada tanya-tanya begini. 

Kemudian salah satu dari lelaki yang berteman tadi--yang lolos cek HB--dipanggil untuk memasuki ruangan eksekusi (ruangan pengambilan darah). Tak ada sepuluh menit, ia keluar lagi. Cepat sekali, batinku. Padahal aku bilang ke temenku bahwa pengambilan darah bisa selama 30 menit. (Aku bener-bener lupa berapa menitnya)
"Ngopo e?" tanya temannya tadi. 
"Aku yo gagal e. Tensi darahku tinggi."
"Loh kok iso?"
"Mbuh, aku yo ora ngerti. Mergo kurban apa ya kemarin?"
"Wah. Iyo kuwi, mergo wedhusss hahaha" mereka cekikikan, sementara aku membayangkan jika nanti aku gagal bagaimana? Ya ampun, janganlah aku darah tinggi. Aku nggak mau, batinku. 

Dua lelaki tadi keluar ruangan, meninggalkanku dengan satu lelaki yang bertubuh besar dan tinggi. Lelaki itu dipanggil memasuki ruangan eksekusi. Dan lagi lagi, ia pun keluar dengan durasi waktu yang singkat. Owalah wedhus wedhus, batinku. Tiba-tiba aku geli, mengingat daging kurban yang justru menghalangi mereka untuk menolong orang. 

Aku pun dipanggil. Dadaku dagdigdug tidak keruan. Sebelum jarum menusuk lenganku, aku spontan menjerit. 
"Stooop!!" tanganku tiba-tiba siagaa seperti menghentikan seseorang untuk mendekat "Aku takut Mbak. Berapa menit sih ngambilnya?"
Petugas itu tersenyum "Tergantung Mbak, mungkin 5 sampai 10 menit" Huffft, aku menarik napas lega. "Tadi ke sini sama siapa" tanyaanya lagi. 
"Sama temen"
"Mau temennya disuruh masuk? Biar buat menemani?" 
"Nggak Mbak. Insya Allah aku berani" Dan iya, akhirnya aku berani. Tetes demi tetes mengalir. Jarum jam pun berputar. Meskipun ya, aku tidak pernah berani melihat jarum menusuk lenganku bahkan melihat aliran darah di selang. Alhamdulillah, akhirnya aku lolos melewati ujian keberanian. Kwakakakak. 
"Ngomong ngomong, tadi Mas-Mas-nya kenapa nggak jadi diambil Mbak?"
"Oh, Masnya yang gemuk tadi karena tensinya rendah"
"Berapa?"
"80"
"Hah?" tentu saja kaget. Ternyata orang gemuk juga belum tentu tensinya pasti tinggi. 
"Tapi kataanya dia nggak ngrasain apa-apa"

Aku pun tersenyum. Thanks my God. Aku masih diberi kesehatan sampai detik ini. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk