Skip to main content

Gempa Jogja : Ketakutan yang Bersembunyi di Kepala Kami.

Suatu pagi, suamiku meloncat dari ranjang, dan menarik tanganku dg tergesa.
Rumah kami diguncang gempa. Gemuruh yang memenuhi kuping secepat kilat menjelma gambar tembok tembok runtuh yang sebentar lagi mungkin akan menimbun kami. Bahkan langkah kami pun sempoyongan karena getaran bumi begitu hebatnya. Ya Allah. Ya Allah. 
Gempa Pacitan Juga Dirasakan Warga Bantul
Pusat Gempa, di Pacitan Jawa Timur ~sumber: www.tribunnews.com

Kami berlari keluar kamar. Suamiku berteriak keras-keras memanggil Aji, adikku yang masih meringkuk tidur di kamarnya. Sekian detik Aji tak juga muncul menyusul kami. Saat pintu ruang tamu sedang dibuka oleh suami, aku berlari ke kamarnya. Kutendang Aji, hingga ia meloncat kaget. 
"Tangii!" Teriakku. Lalu kami pun berlari bersama-sama. Gemuruh itu masih memenuhi telinga. Help me, Tuhan. Ya Allah. 
Setelah kami semua di luar rumah, anehnya tak ada satu pun pintu tetangga yang terbuka. Semuanya baik baik saja. Tak ada mata ketakutan seperti bayangan kami. Dan kulihat anak usia lima tahun berdiri di halaman rumahnya menatap kami heran. 
"Apa sih Mbak?" Tanya Aji merasa bingung.
Aku dan suami tersadar dari hal konyol ini ketika melangkah masuk sambil menahan tawa yang hampir meledak. Menggelikan, saat menyadari di ujung gang, ada mobil meraung seperti gemuruh tembok runtuh dalam versi otak kami. Tak ada gempa bumi. Semua baik-baik saja. Ah, kesadaran yang belum pulih dari tidur tentu saja sangat mudah membuat seseorang sempoyongan, bukan?
Buruk sekali rasanya jika kepala sudah dihuni ketakutan semacam ini.
Jadi, saat malam tadi bumi bergoyang, kami berlari keluar rumah dengan pikiran yang sama tentang tembok tembok yang akan runtuh. Pun sepi yang sama. Pintu pintu rumah tetangga yang tertutup. Semua tampak baik baik saja.

"Ah, ini cuma perasaan kita lagi Dik" bisik suamiku, merasa konyol.

Dan sekian detik kemudian, anak itu kembali muncul. Kali ini ibunya pun menyusul.

"Gempa po Mbak?" Tanyanya.

Aku tersenyum tak yakin. Dengan tangan bergetar kubuka sosial media. Ya, ini beneran lindu. Kali ini kami tidak sekadar linglung bangun tidur. Kadang seseorang bahkan tidak memercayai dirinya sendiri, tapi ketika melihat sekian orang ngetwit soal gempa, ini membikin percaya diri itu pulih. Ah, nggak ada negatifnya kok heboh di sosial media saat ada gempa. Yeah. 

Comments

  1. Memang menjadi trauma, ya mak? saya sendiri pernah merasakan gempa hebat waktu PKL di Ponorogo. Dan memang menimbulkan kekhawatiran. Semoga mak dan keluarga selalu dilindungi :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil