Skip to main content

Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? Lalu membunuhku?

Dadaku terasa dibebani berkilo-kilo batu. Rasanya sesak. Aku kesulitan bernapas. Sesekali, aku pernah merasakan hidungku seperti tersumbat peluit. Lalu tanganku dingin sekali. Aku takut. Sebab itulah detak jantungku memburu-buru. Mungkinkah penyakit asma bisa datang tiba-tiba? Apakah aku akan mati muda?

Aku tak bisa menghindar dari peranku sebagai perokok pasif. Suamiku perokok berat. Ia merokok di manapun ia mau. Di rumahku sendiri, aku sering merasa kekurangan oksigen. Ada 3 asbak yang harus kubersihkan tiap pagi. Satu lagi sudah kupecahkan. Meski begitu, ia masih selalu merasa kurang. Aku merasa di ruang manapun ada abu rokok yang bisa membuatku sesak napas. Tapi di tempat yang sama sekalipun kuletakkan asbaknya, ia selalu mengomel ketika mencarinya. Abu dan omelannya sama-sama semakin membuatku sesak napas.

Aku sengaja tak mau lagi memintanya berhenti. Tak bisa. Aku tak bisa memintanya apalagi melarangnya. Mungkinkah ini jadi berat karena posisiku sebagai seorang istri? Bagaimana kalau ibunya yang kuminta melarang? Pasti ia mau berhenti. Tapi itupun ternyata tak mudah. Ini sama beratnya karena aku seorang anak. Tak bisa. Aku tak bisa memberi beban perempuan  yang telah kucintai seperti ibu sendiri. Bagaimana akan nelangsanya seorang ibu mengkhawatirkan anaknya dalam setiap detik, sebab setiap detik itulah ia akan tahu: aku dan anaknya sedang menuju kematian yang konyol.

Suamiku mulai batuk-batuk rutin. Aku membelikannya obat batuk ke apotek dan mampir sebentar ke warung untuk membeli rokok. Aku tak perlu repot-repot memasak tanpa minyak, sebab segala macam gorengan lebih nikmat ketika dinikmati seperti menelan racun. Ini bukan lelucon. Ini hal biasa di rumah kami. Aku tak perlu mengkhawatirkannya berlebihan, dan  seharusnya aku pun tidak harus takut berlebihan terhadap kesehatanku sendiri. Sebab sekalipun aku mati karena ini, aku tahu kalau ia pun tidak akan bertahan lama dengan rokoknya. Jika nanti ia mati lebih dulu karena ini, aku tidak takut sendirian sebab jalan menuju kematian sedang kami tempuh bersama-sama. Setidaknya, aku tak mau kesepian tanpa dia.

Apakah aku boleh bermimpi kalau suamiku akan bisa berhenti?
Bolehkah aku bermimpi jika masih ada masa depan yang indah tanpa sakit-sakit yang menakutkan?
Ah, tiba-tiba saja aku malah mengingat Mbak Doria yang kini telah pergi karena asmanya.


Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil