Skip to main content

Monolog Malam Minggu

"Dalam perjalanan ini Tik, mungkin hanya lampu merahlah yang berhitung mundur. Jadi, tak mungkin, waktu tak mungkin berbalik arah ke belakang, meski itu sebaik-baiknya kenangan yang pernah kaumiliki" kata Miola mengagetkanku di lampu merah yang hampir habis 19 belas detik lagi. Nada suaranya penuh cemburu.
Ah, sembilan belas. Di masa lalu, angka itu bukan sekadar bilangan Mi. Jangan cemburu. Tiga tahun lalu, bahkan aku tidak pernah berpikir akan mengenalmu. Memilikimu. Mencintaimu seperti sekarang.

Ya, tiga tahun silam, tepatnya hari ini, aku masih begitu cintanya dengan Casimira, si mesin tua yang cerewet itu. Tapi Mi, di tanggal 17 tiga tahun silam itu pula, aku terpaksa meninggalkannya sendirian di Jogja, yang seharusnya kubawa pulang ke kampung halaman. Kau tau Mi, ini kulakukan sebab hari hari sebelumnya, sekira semingguan jemariku kaku tiap melajukan Casimira. Aku was-was, aku takut cilaka. Maka, yang kurapal sepanjang perjalanan adalah aku harus selamat. Aku harus sehat. Aku harus baik-baik saja sampai di tanggal 19. Dan untungnya, Tuhan melalui Casimira menjagaku selamat hingga tepat di tanggal ini tiga tahun silam. Tanggal 17 di mana seharusnya, ia kubawa serta menjadi saksi atas sesuatu yang besar di tanggal 19. Jadi, bagaimana bisa aku tak boleh berziarah ke masa lalu yang ingin aku tuju, Mi?
Sudah ah, jangan cemburu begitulah Mi. Jangan cemburu pada sesuatu yang telah tiada. Sebab bagiku, sesuatu yang berasal dari masa lalu hanya akan datang sesekali waktu untuk reuni, bukan untuk kembali dimiliki. Sungguh. Tidak Mi, jangan cemburu begitu, Casimira hanya alumni. Kamulah yang kucintai saat ini.
Sungguh, aku hanya mencintai kamu Miola, motorku yang sendu dan seringsekali melankolis. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil