Skip to main content

Malam Seribu Petir

Hal tersial yang kualami malam tadi ialah ketika tubuh xl-ku (baru kusadari) tak muat lagi dimasuki jas hujan egois. Sungguh. Padahal aku harus pulang apapun yang terjadi. 


Maka dengan terpaksa, kubiarkan saja resletingnya terbuka. Dan hujan serta angin dalam sekejap menghajar tubuhku dari depan. Aku kedinginan. Tapi tak lebih dingin dari nasib orang yang kehilangan kemerdekaan. Jadi aku kudu kuat. 

Sebenarnya jika posisi jas hujan kubalik, mungkin aku bisa terhindar dari dingin yang menyengat. Tapi pilihannya cuma dua; tubuhku yang basah? Atau risiko tulisan tulisanku dalam laptop yang lenyap kerna harus kehujanan. Tentu saja opsi pertama yang kupilih. Tak mungkin kujaminkan kehidupan karierku pada mantel yang lehernya sobek. Tak bisa. Jadi biarlah ia hangat menempel di punggungku saja.

Lalu, sekira satu kilo perjalanan, hujan turun sangatlah lebat. Mataku mulai sakit akibat biji hujan yang jatuh menghantam. Kacamataku melorot tak guna. Kabur sudah segala pandang. Lobang jalan yang tak tampak akibat penuh air, kulewati juga. Meski begitu, aku tetap waspada. Kupandang arah depan tapi hanya cahaya terang yang dapat kutangkap. Terkutuklah jika masih ada yang ngebut. Batinku. Tapi sebenarnya lebih terkutuk lagi ialah nasibku yang nekat menerobos hujan malam malam begini. Cari mati kamu Tik. 

Ah, aku jadi ingat pada laki laki yang sok keren menerobos hujan demi membuktikan cintanya pada perempuan. Mungkinkah mereka pikir keren? Bah. Bagiku sih konyol sekali. Mempertaruhkan nyawa pemberian Tuhan itu keren? Dih. 

(Dan air hujan yang tak mampu kudeteksi warnanya malam tadi seakan-akan seperti pecahan kaca, lancip, melukai. Namun, kulihat ada wajahku berdarah-darah pada cermin yang berkeping-keping itu. Aishhhh: KEPARATTTT)

Maka dalam rapal makian dan sumpah serapah, aku pasrah. Merasa begitu lemah dan kalut pada maut yang bisa begitu cepat merenggut. Kubayangkan, jika tiba-tiba saja ada kendaraan yang menubruk, atau pohon tumbang, tiang listrik ambruk, atau mendadak aku mati tersambar petir yang gila gilaan. (Ah, kerna risiko inilah, aku sering lebay berpesan pada suami: "Jangan bepergian ketika hujan, Mas. Jangan." Sebab aku yakin sekali bahwa aku terlalu egois untuk memikirkan perasaanku yang mungkin tidak sanggup kehilanganmu.) 

Tapi malam tadi, bahkan aku tak sempat memikirkan tentang cinta. Aku hanya berkeras untuk pulang. Ada sesuatu yang gawat. Demi sesuatu itu, aku kehilangan rasa takut pada petir. Dan setiap kilatnya melesat di hadapanku, dengan reflek kutarik gasku tanpa kira-kira. Seakan akan aku sedang menghindar, melarikan diri, atau sembunyi dari risiko tersambar kilatnya yang ganas. Ah konyol. Di jalan tengah sawah begitu, bagaimana bisa aku sembunyi?

Rasanya aku ingin sekali menangis. Tapi tak bisa. Setiap ada yang sesak keterlaluan, aku justru jarang bisa menangis. Aku seperti berubah jadi batu. Keras dan berat. Sebagai batu, sekali-kali aku ingin menuju pada muka seseorang. Tapi siapa? Orang-orangan sawah? 

Malam tadi, aku sungguh merasa konyol ketika sadar bahwa tidak takut pada petir. Seakan akan ada yang berbisik; Apalah petir itu Tik, bukankah manusia akan lebih takut pada masa depan yang dituju tidak dengan kakinya? Tentang hari-hari yang harus dihadapi seseorang dengan perang dalam dirinya sendiri. Tentang hidup seseorang, yang sebenarnya telah jauh hari mati tanpa bisa mengubur diri. 

Craaak. Aku sampai di rumah dengan badan menggigil. Dalam pikiranku hanya satu; mengeluarkan laptop. 

Dan setelah itu, kurasai tubuhku lemas, kaki dan tangan bergetar hebat; "Ya Gustiii, apa yang baru saja kualami?"

Kepalaku mulai terasa sakit. "Ini adalah hujan paling kepar*tttt yang tidak mungkin kulupakan seumur hidup. Hujan ter*su. Hujan paling bangs*ttt." tulisku untuk membalas BBM seorang teman dekat ketika ia bertanya, 

"Tik tempatmu hujan enggak? Segoroyoso deress pol plus petir buanterrrr" 

Ah, ngoceh apa aku ini?
Bukankah sebenarnya, aku hanya sedang diuji untuk kuat, kerna dunia ini akan semakin mengerikan bagi orang-orang yang lemah.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil