Skip to main content

Bolehkah Aku Bertanya, Kemana Kita Akan Pergi?

Semula kita sama-sama di atas satu motor. Bercerita panjang lebar, hingga akhirnya entah bagaimana tiba-tiba saja kita memutuskan untuk berpisah. 

"Kita akan bertemu di tempat yang sama," katamu sebelum melesat pergi. 

Aku di Sumbing
Aku yang masih belum paham dengan apa yang sedang terjadi, hanya memandang lampu belakang motormu menghilang di lorong yang kini sedang kulewati. 
Berjalan. Hanya itu tujuan hidupku untuk bisa kembali menemuimu. Aku berjalan sendiri di tepian yang bukan trotoar. Motor dan mobil serta merta jadi tak terhitung banyaknya. Namun, semakin jauh kumasuki lorong itu, tiba-tiba saja jalannya menjadi gelap. Bahkan lampu-lampu kendaraan yang harusnya menyala, tak satupun yang membuat mataku bisa melihat jalan. 

"Celaka aku," batinku seperti maut itu benar-benar begitu dekat. Kalau satu saja ban mobil itu menggilasku kerna tidak tahu, mau bagaimana nasibku?


Aku berjalan cepat, seakan-akan kamu masih dekat dan bisa kuraih dari belakang. Kita tidak seharusnya berpisah. Aku takut. Sangat takut. Tapi kamu tidak ada di depanku. Kamu tidak ada di mana-mana. 



Aku semakin merasa aneh. Meski tidak melihat sekerlip cahaya pun di depan, tapi aku bisa merasa kalau lorong menikung ini menyempit. Tiba-tiba seperti ada arus manusia yang mendorongku. Ya manusia. Sekarang aku bisa melihat orang-orang berbondong-bondong mencari jalan keluar. Tapi di antara orang-orang itu tidak ada kamu di sana.

"Jalan buntu" kata seseorang. 
Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin aku tersesat ke jalan buntu. Bukankah jalan satu arah ini, juga jalan yang kamu lewati? Lalu kamu di mana?

Ini benar-benar penghabisan jalan. Mungkinkah tempat yang kamu maksud, adalah tempat yang sekarang sedang kuinjak dengan perasaan gelisah bercampur takut luar biasa? Tapi di mana ini? Kamu di mana?

Aku melihat ke sekeliling. Tak satupun kukenali mereka. Ini semacam perhimpunan orang-orang sesat yang menjebakku hingga masuk ke sarang mereka. 

Aku pun berlari menuju seseorang yang kupikir pasti salah satu panitianya. Aku bertanya, di mana ini? Aku tidak mau di sini. Namun, ia balik bertanya, ke mana aku akan pergi?

Kemana aku akan pergi? Aku tersentak. Benar, aku tidak tahu akan kemana. Tujuanku hanya ingin menemuimu. Tapi entah di mana? Bagaimana bisa kujelaskan ini?

Lalu kuambil handphone dari dalam tas. Mungkin saja kamu mengkhawatirkanku. Tapi kenapa tidak ada siapapun yang menghubungiku. 

Ke sini, kataku. Aku seperti sedang menunjukkan sebuah alamat dari dalam handphone. Tapi aku tidak tahu alamat siapa itu?

......

Yang aku sadari hanyalah, aku sudah bangun dari mimpiku dengan badan yang dingin sekali.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk