Skip to main content

5 Pemicu Konflik Pasutri Saat Mudik

Setelah menikah banyak pasangan yang lebih memilih tinggal beda kota dengan orangtua. Alasannya tentu berbeda-beda. Ada yang karena tuntutan pekerjaan, ingin mandiri, butuh privacy atau telanjur cinta dengan kota yang sekarang ditempati. Namun, apapun alasan tersebut, memilih jauh dari keluarga tentulah ada risiko yang harus ditanggung. Salah satunya adalah tanggungan berupa rasa rindu. Aduh, berat banget kan itu. 

Karena saking rindunya pada keluarga, tak jarang membuat pasangan suami istri justru berdebat ketika membicarakan soal mudik. Biasanya berawal dari beda pendapat hingga berujung pada konflik dan pertengkaran hebat. 

Ilustrasi via trollheaven
Mengapa soal mudik bisa membuat pasangan suami istri bertengkar? Berikut adalah hal-hal yang kerap memicunya. 


1. Pilihan Tujuan Mudik
"Ke kampung halaman istri atau rumah orangtua suami ya?"
Pilihan ini akan dihadapi pasangan yang berasal dari beda kota. Ketika salah satu dari kita memiliki ego yang tinggi, maka konflik pun akan mudah sekali meledak. Biasanya pasangan yang egois cenderung memaksakan kehendaknya tanpa mau kompromi dan meminta pendapat anggota keluarga lebih dulu. Misalnya istri yang selalu mengutamakan pulang ke kampungnya daripada ke rumah orangtua suami. Jelas saja tindakan tersebut memicu pertengkaran. Bukankah setiap pasangan selalu ingin dimintai pendapat? 
Nah, jika kamu berada pada situasi demikian, cobalah tenangkan dulu emosi yang sudah mau pecah itu. Tarik napas dalam-dalam dan bicarakanlah dengan pikiran jernih. Jika tujuan mudik diputuskan bersama-sama, tentu tidak akan menyebabkan pertengkaran. 

2. Biaya
Melakukan perjalanan mudik pasti mengeluarkan biaya bukan? Mulai dari biaya transportasi, oleh-oleh, makan, sampai dengan uang jajan anak-anak. Sebelum memutuskan mudik tentunya kita sudah memperhitungkan itu semua. Namun ternyata tiba-tiba kita tahu bahwa pasangan kita membelanjakan uang di luar perhitungan tanpa kontrol. Akibatnya biaya mudik pun jadi membengkak. Padahal tabungan sudah menipis. Siapa coba yang tidak ingin mengomel?

3. Transportasi 
Setiap orang pasti punya transportasi favorit untuk melakukan perjalanan dan itu belum tentu sama dengan pilihan pasangan. Misalnya kamu yang suka bepergian menggunakan kereta api karena nyaman dan aman. Tapi pasanganmu lebih senang memakai motor dengan alasan ekonomis. Perbedaan selera itu ternyata bisa menjadi konflik ketika hendak melakukan perjalanan bersama, loh. Kalau tidak ada yang mau mengalah, rencana mudik pun bisa terancam gagal. Jadi, bicaralah baik-baik dan putuskan secara bijak. Akan lebih tepat jika kalian memilih transportasi yang paling masuk akal untuk kondisi saat ini. 

4. Waktu yang Tepat
Tidak semua pasangan suami istri memiliki kesibukan yang sama. Apalagi jika keduanya bekerja di kantor yang terikat oleh waktu. Maka, untuk mudik ke kampung halaman biasanya benar-benar butuh perencanaan yang matang, termasuk memilih waktu yang tepat. Pasutri tersebut harus mengatur jadwal cuti dan menyelesaikan urusan pekerjaan yang akan ditinggal. 
Namun saat tiba waktunya mudik, ternyata pasangannya membatalkan rencana itu karena alasan yang sangat mengecewakan. Ia lebih memilih berlibur bersama teman kantornya daripada mewujudkan mudik bersama. Ah, rasanya pasti ingin makan berkilo-kilo es batu biar kebas. 

5. Persiapan di Hari H
Poin terakhir dari lima pemicu konflik pasutri saat mudik adalah persiapan di hari H. Iya. Kita mungkin sudah merencanakan mudik jauh-jauh hari. Sudah mempersiapkan biaya, memilih tujuan mudik, menentukan waktu yang tepat, dan memilih transportasi paling cocok untuk mudik. Tapi terkadang pertengkaran justru pecah pada detik-detik terakhir akan berangkat. Misalnya istri sedang sibuk mengemas pakaian, oleh-oleh, mempersiapkan anak-anak, mengecek keamanan rumah selama ditinggal, tapi suami malah asyik bermain game. Kalau sudah begitu biasanya pertengkaran akan sulit dihindari. Sikap tolong menolong dalam rumah tangga itu penting, gaes.

Nah, dari kelima itu mana nih yang paling sering memicu kamu bertengkar dengan pasangan?

Kalau aku sih biasanya poin ketiga. Soal milih transportasi ini kayaknya sudah langganan debat kalau mau mudik. Suamiku lebih senang pakai kendaraan pribadi. Sedangkan aku maunya transportasi umum biar dua-duanya tidak capai. Makanya untuk persiapan ke depan, aku kayaknya butuh tas punggung yang fleksibel untuk bepergian dengan transportasi apapun deh. Biar tidak ribet di jalan tapi juga tetep enak dilihat. 

Lalu aku buka pagenya Herschel di ZALORA. Ternyata tas yang aku mau ada di situ. Modelnya cantik-cantik semua sampai bingung mau milih mana. Apalagi keluaran terbarunya. Lihat sendiri deh....

Produk terbaru Herschel di Zalora

Eh, thanks ya sudah mau baca tulisanku. Next post aku bahas tentang hal-hal yang tidak boleh diucapkan ke pasangan yang lagi homesick.  

Comments

  1. betul juga ya..... untungnya aku mah gak pernah ribut sih soal itu, tapi aku tahua dik iparku juga suak ribut masalah mudik itu. Jadi kepikiran juag. malah suamiku bilangs ama anakku , cari calon istri di orang cirebon saja, jadi kalau pulang nanti , bisa negok ortu dan sekaligus mertua. Eh malah gak dapat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe namanya jodoh Mak. Dulu orangtuaku juga gitu. Cari suami yang deket-deket aja. Tapi Gusti Allah menjodohkannya dengan orang jauh. Meski masih sepropinsi tapi perjalanan dari rumah mertua ke rumah orangtua bisa belasan jam hehehe

      Delete
  2. alhamdhulilah kalo mudik ga pake ribut2 seneng soalnya sih jalan2 dan bisa kumpul keluarga

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil