Cerpen Samlah
Jingar terbelalak melihat sepotong bibir tergeletak di meja makan—bibir yang telah membiru dengan darah menyungai di sekitarnya. Ia tidak bisa membayangkan jika benar anaknya telah nekat memotong sepasang bibir itu. Bibir yang tak seorang pun dapat membedakan dari yang ia punya.
“Duh gusti, inikah azabmu itu” Jingar meratap.
Kakinya mendadak kaku dan keringat dingin turun tak sewajarnya. Di saat paling buruk itu, sekuat tenaga dicarinya Samlah, anaknya yang semata wayang—ia tak juga menyerah meski di sudut rumah miliknya tak siapa pun di jumpai. Lalu genap sudah pikiran-pikiran buruk itu berjejal di kepalanya.
“Semua orang mencibirku, ibu, hanya karena bibir ini mirip denganmu” Samlah kecil mengadu ketika itu.
Di usinya yang belum genap sebelas tahun, tak pernah diterimanya perlakuan baik, dari Jingar ataupun dari teman sebayanya.
“Lantas kau memprotesku? Jika ini pun kehendak dari Tuhan?” Jingar tak mau kalah.
“Tapi mereka bilang bibir ini musti dipotong supaya aku tak menurun jadi pelacur macem ibu” plakkk.
Seringan bibirnya menggoda lelaki, urusan tangan tak segan-segan ia luncurkan ke pipi Samlah kecil. Namun tak pernah disangkanya jika bibir yang menjadi kebanggaanya selama ini itu telah menjadi bencana. Sekarang pikiran-pikiran buruk itu menyerupai maut—begitu dekat dan tak dapat tertolak. Lagi-lagi terbayang sepotong bibir telah hilang dari wajah anaknya yang remaja. Sepotong kecantikan yang menjadi kebanggaan Jingar setiap kali menjajakannya di pinggir jalan.
“Jika bukan karena bibirmu, tak kupilih kamu dari sekian pelacur di kota ini, Jingar”
Begitulah setiap kali para lelaki merayunya. Jingar yang pendek dan hitam merasa tersanjung. Namun, ketika lahir anaknya yang berkulit putih. Entah berbapak siapa, dengan bibir mewarisi bibirnya. Hatinya bungah tidak ketulungan. Dirawatnya anak itu dengan harapan setinggi langit. Bukan untuk menuruni nasibnya sebagai pelacur. Sebab bukankah tak seorang pun ibu menginginkan anaknya bernasib jauh lebih buruk dari yang dia terima. Begitu pun Jingar, ia hanya tak bisa menolak jika nasib telah mengalamatkan dirinya pada cerita semacam ini. Bertahun sudah menjadi pelacur, tak ubahnya darah yang telah menyatu jadi daging. Setelah kelahiran Samlah, dicarinya kerjaan yang lumrah. Namun begitulah negeri ini. Pekerjaan selalu berkaitan dengan yang tethek bengek, di zaman semua hal musti pakai syarat ijazah—Jingar baca-tulis pun tidak dikuasai. Di sudut ruang makan itu. Kini Jingar meratap pilu dengan sepotong bibir di hadapannya. Ia tak mungkin terus berjalan jauh mencari Samlah. Matanya mulai berkunang-kunang. Badannya oleng persis ketika sebuah pintu berderit pelan.
“Samlah?” bisiknya hampir tidak bersuara. Anak berusia belasan tahun itu menghampiri ibunya. Bibirnya masih utuh. Tak sepotong pun hilang dari wajahnya itu.
“ Bibir ini?” Tanya Jingar semakin panik.
“ Maaf ibu, kupotong bibir perempuan yang menginaku semalam ketika ibu pergi. Dia datang ke rumah mencari suaminya. Menggeledah masuk dengan kata-kata yang sama. Kata-kata yang membuat telingaku memanas selama ini”
“ Jadi?”
“ Mayatnya kupotong menjadi sepuluh. Telah kutenggelamkan ke sungai pagi ini”. Samlah memapah ibunya masuk ke dalam kamar. Sepotong bibir itu. Iya sepotong bibir itu telah menjadi pelunasan untuk dendamnya selama ini.
Jogjakarta. Maret 2011.
(diterbitkan oleh buletin Suara Ungu FBS UNY pada tahun 2011)
0 komentar
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....