Cerpen Sapu dan Perempuan Berbulu Panjang

by - July 21, 2012

IA TELAH menaruh rasa tak suka sejak aku menghuni kamar samping miliknya. Entah sebab apa, Ainur tak menyukai kehadiranku. Tapi satu hal yang mungkin jadi penyebabnya adalah; ia terlalu mencintai kebersihan sementara aku tidak. 


Setiap subuh datang, ia bangun lebih awal dan menyapu semua halaman. Bahkan ketika aku mendahuluinya, ia akan menyapu ulang pekerjaan yang sudah kuselesaikan itu dengan mulut bersungut-sungut. Di matanya, tak ada pekerjaanku yang dianggapnya benar. Ia terlalu membenciku, mungkin itulah yang membuat ia tak menganggapku ada. Sebab itu, diam-diam kuputuskan untuk tidak lagi membantunya bersih-bersih. Toh, tak ada jadwal piket resmi. Pun sebenarnya sudah ada pembantu yang bertugas untuk menyapu. 


“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” Begitu kata Ainur. Ajaibnya ia selalu punya kesempatan mengatakan kalimat itu di hadapanku. Tanpa ekspresi apalagi tersenyum. Dan sialnya ia mulai berani datang ke kamarku. Mengomentari setiap tata letak barang-barangku. Lalu dari mulutnya yang ajaib itu meluncurlah cerita-cerita horor. 

“Aku aja pernah didatangi kuntilanak kok, tapi udah biasalah. Ia datang ke kamarku dan duduk di samping ranjangku” 

Aku merutuk dalam hati. Aku benci semua cerita horor. Sejak mendengar cerita itu, kepalaku memutar cerita versi lain di setiap malam menjelang aku tidur. 

Ainur telah berubah. 
Di kulitnya yang hitam itu tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo. 

Ia akan duduk sangat lama di tangga menuju lantai dua. Tidak ada yang dikerjakannya selain bersih-bersih dan melamun. Padahal aku tahu, ada beban yang sangat berat di pundaknya yang kecil itu. Ia terancam Drop Out di akhir semester kuliahnya ini. Dan aku tahu, tak ada yang bisa kulakukan untuk membantunya. 

“Aku disuruh pulang kampung kalau tak kuat lagi melanjutkan kuliah, tapi untuk apa pula ijazah, toh hanya bapakku yang membutuhkannya” Sekali itu saja ia mengeluh. Wajahnya yang tanpa ekspresi tiba-tiba menjadi sangat sendu. Aku sedikit khawatir, dan lebih khawatir lagi ketika pagi hari aku tak mendengar suara sapunya. Pun ketika kugantikan pekerjaannya menyapu, ia cuma tersenyum. Senyum yang lebih menyerupai seringaian. 

Hari-hari berikutnya, aku tak pernah lagi mendengar ia menyapu. Di pagi hari, aku terbangun lebih siang setiap hari. Diam-diam aku baru sadar, bahwa suara sapu Ainur telah jadi alaram bagi kupingku. Dan aku tahu, aku telah kehilangan alaramku itu. 

Semakin hari, entah kenapa, aku merasa penting untuk tahu kabar tentang Ainur. Menjelang sore, ia tak lagi duduk di tangga menuju lantai dua. Ia selalu berada di kamarnya. Keluar hanya untuk makan dan mandi. Lalu kembali mengurung diri di kamarnya. 

Karena rasa penasaranku tak lagi bisa dibendung. Lalu kuberanikan saja mengetuk pintu. Tapi tak pernah dibukakannya pintu untukku. Aku tahu, ia ada, tapi pura-pura tak mendengar. Sampai suatu ketika aku benar-benar butuh menemuinya. Tentu saja ini masalah lain selain perasaan ingin tahuku. Aku membawa amanat dari tuan kos kami. 

Sudah setahun Ainur menunggak bayar sewa. Ia tidak dapat dihubungi. Pun sudah tabiat tuan kos yang berani nagih hanya lewat SMS, maka mau tak mau aku harus menyampaikannya pada Ainur. 

Karena tak pernah ada sahutan dari dalam kamar, lalu kuniatkan menulis surat saja. Sore hari, kuselipkan surat itu lewat sela rongga bawah pintu. Sebuah surat yang menyuarakan pesan dari tuan kos. 

Tidak menunggu lama, pintu kamar Ainur terbuka. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan sosoknya yang dingin. Ia mengetuk pintu kamarku dan kupersilakan ia masuk. Wajahnya telah jadi merah. Aku menduga-duga dalam hati, barangkali aksi mengirim surat itu membuatnya marah. Namun, tiba-tiba wajah yang merah itu semakin jadi merah, ia menangis sesenggukan. 

“Kupikir yah, ia akan tahu kalau aku bisa dipercaya, toh aku nggak akan ke mana-mana sebelum lulus” 

Ia menunjukan sebuah pesan di handphonenya. Seperti yang kuterima tempo hari; tagihan uang sewa kos. Ah, ternyata aku terlambat membuat surat. Tuan kos lebih dulu menemukan nomor Ainur. Rupanya telah ada badai di balik tembok samping kamarku. 

“Aku memang belum mampu membayar sewa. Untuk itu kukerjakan apa yang bukan jadi tugasku. Aku menyapu halaman setiap pagi. Kalau bukan aku, apa jadinya rumah kontrakan ini. Bukankah pembantu yang ada tak pernah benar membersihkan halaman” 

Ia kembali menangis. Aku merasa kasihan, tapi mulutku rupanya tak sedemikian iba. 

“Menyapu itu kan kesadaran, tidak ada yang memaksa” ucapku. 

Seketika itu aku melihat kebencian berkilat-kilat di matanya. Oh Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Ainur bangkit dari duduknya dan meninggalkan kamarku. 

Sejak saat itu, ia kembali berubah jadi dingin. Sedingin subuh yang membangunkannya untuk menyapu. Setiap pagi datang, suara sapunya kembali terdengar. Ia akan kembali mengulangi pekerjaanku, jika mana suatu ketika aku menggantikannya menyapu. Aku tahu, kebenciannya padaku lebih besar dari apapun lagi. Dan aku pun tahu, alasannya menyapu bukan perkara sadar dan tidak sadar. Ia akan selalu dingin, seperti gigil subuh yang membangunkannya. 

Dan malam-malamku kembali kelabu. Aku kembali membayangkan wajah Ainur. Di kulitnya yang hitam tumbuh bulu-bulu yang lebat. Semakin lebat, lebat dan semakin lebat menyerupai gandaruwo dalam versiku. 

Ia kembali duduk di tangga menuju lantai dua. Mungkin ia memikirkan nasib bebannya yang makin memanjang, sepanjang bulu-bulu. Lalu ia akan mengurung diri di kamarnya, mengepang bulu-bulu yang lebat memanjang. Hingga suatu hari, ia tak pernah terlihat keluar dari kamarnya. Tidak ada suara sapu yang membangunkan tidurku lebih awal. 

Aku terbangun ketika dua polisi telah berada di depan kamarku. Halaman yang penuh sampah tiba-tiba jadi ramai dengan wajah orang cemas. Aku tahu, ada yang tak beres di pagi ini. Semalam aku bermimpi tentang Ainur yang mengepang bulu-bulu lebat yang memanjang jadi tali. Pagi ini, polisi menemukan Ainur mati gantung diri. 

Djogjakarta[] Juli 2012

Dimuat di Koran Minggu Pagi edisi Jumat, 20 Juli 2012 


Tulisan Terkait

10 komentar

  1. Akhir yang seru buat Ainur. *ikutan jengkel* :)

    ReplyDelete
  2. serem ah terakhirnya hihihihi.... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya Mak, itu bikinnya pakai emosi. Klise banget, tokohnya dibunuh.

      Delete
  3. Eishh.. endingnya gak enak banget mak, bulu kudukku ampe mrinding disco nih..

    walah2.. sebegitu parahnya ya nasib ainur..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jiahhh, iya Mak. Tapi itu endingnya nggak beneran loh. Kubuat ending yang kejem, soalnya pas nulis sambil emosi :))

      Delete
  4. Tulisannya bagus... Tadi aku sempat ngira tetangga kost-nya berubah jadi kuntilanak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aduh makasih Mak, jadi semangat mau nulis lagi nih :))

      Delete
  5. bwahahaha... ga berani aku jadi tetangga kos mu, Mak... berakhir tragis meski di dunia fiksi ;-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, jangan jadi anak kos lagi deh. Nggak enak, nggak bebas. #IhCurhatBangetNih

      Delete

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....