Perempuan Penjual Bensin dan Kehamilan di Usia yang Tak Muda

by - February 10, 2016

Usianya sekira 60an tahun. Amat lembut, santun, khas betul perempuan Jogja masa lalu. Eh bukan, mungkin juga bukan kerna ia perempuan Jogja lantas harus berperawakan lemah lembut, bukan? Kukira, ini hanya persoalan kesadaran pada usia. Semakin tua, seseorang barangkali memang semakin tenang dan matang.


Ya, perempuan itu. Setiap aku berhenti di depan rumahnya untuk membeli bensin, ia akan buru-buru keluar dengan langkah yang sudah tidak lincah. Tertatih-tatih, mengesani usianya yang bukan muda lagi.

Rumahnya masih berdinding bambu. Mencolok sekali. Rumah bambu di antara bangunan-bangunan modern yang kian tumbuh, jelas membuatnya mudah diingat. Tapi sebambu-bambunya rumah itu, ia tentu tetap lebih kaya dari aku. Ya, aku suka berpikir bahwa setiap orang yang memiliki rumah di tanah kota pastilah ia seseorang yang mampu. Mampu mencari uang untuk membeli tanah mahal di kota. Kan tahu sendiri, berapa harga tanah zaman sekarang? ‪#‎EhCurhat‬

Beberapa bulan lalu, baru kusadari jika rumahnya sudah berubah. Bukan lagi berdinding bambu, melainkan menyusul sebelah-sebelahnya yang juga bergaya semi modern.

"Mungkinkah rumahnya itu dibangunkan oleh anak-anaknya?" Pikirku, yang berprasangka bahwa di usia 60-an tahun seseorang tidak lagi memikirkan soal sandang dan papan.

Hari kemarin, aku sangat terburu-buru untuk pergi. Namun, saat melajukan Miola kulihat bensinnya sangat tipis. Dalam perjalanan, aku menimbang-nimbang; di tempat manakah sebaiknya aku berhenti membeli bensin? Kerna ke pom jelas tidak memungkinkan. Maka aku memiliki empat batasan.

Pertimbangan pertama, penjualnya harus bukan orang yang kukenal. Pasti bakalan lama ditanya ini itu mau kemana kalau sudah langganan. Dua, bukan penjual yang harus lebih dulu menakar bensinnya dalam derijen. Ribet dan lama. Tiga, aku malas menyebrang jalan, jadi sebaiknya memilih tempat jual bensin yang ada di sebelah kiri. Keempat, penjualnya ramah dan agamis. Penting sekali penjual agamis, biar tidak diakal-akali harga dan literan yang kelewat banyak dikurangi. Empat batasan itu ternyata membuatku berhenti di halaman rumah ibu tadi.

Aku membunyikan klakson sebagai tanda akan membeli bensin. Namun ibu tadi tidak buru-buru keluar seperti biasanya. Lalu kubunyikan lagi, menunggu sesaat, hingga terdengar suara laki-laki dewasa dari dalam rumah "Kae wong tuku"

Sekarang aku melihat perempuan itu tertatih-tatih keluar, menghampiriku. "Ngersake pinten Mbak?"

Satu jawabku.

"Niki lagi ujian dados mboten enten sing mbantu", katanya sambil menuang bensin ke dalam tangki Miola. "Pun kelas tigo, dados sibuk belajar" lanjutnya. Awalnya aku cuma senyum. Tidak tahu siapa dan apa yang sedang dikomentarinya.

Aku bertanya memang sekolah di mana? "MTS, kelas tigo. Lagi ujian sekolah." jawabnya.

Lah ujian nasionalnya itu kapan? Aku kembali basa basi dengan bahasa Jawa. "Duko. Kulo nggih mboten ngertos niku," jawabnya dengan ekspresi menyesal. Mendengar itu aku pun jadi ikut menyesal, kenapa pula harus basa basi. Aku sendiri tidak tahu kapan adikku ujian nasional. Adikku juga sudah kelas tiga SMP.

"Wingi malah kegasruk. Samparane dijahit ping 7. Teng mriko niku Mbak" Ia menceritakan kejadian kecelakaan sambil menunjuk lokasi di sebelah rumahnya.

Cucu nggih Bu? Berapa yang ikut di sini? "Sanes, Mbak. Putro kulo" jawabnya dengan lemah lembut.

Wow, setua dia masih punya bungsu kelas tiga SMP? Keren.

"Namung setunggal niku putro kulo, Mbak" Hah? Anak tunggal seusia kelas tiga esempe? Jadi sekarang usia ibu ini berapa ya? Waktu hamil anak pertama usia berapa? Bagaimana kehidupannya di masa lalu. Aih, aku speechless. Mematung, tak bicara. Aku bahkan tidak ingat kalau sedang buru-buru pergi.

"Kulo diparingi kepercayaan pun sepuh Mbak. 38 nembe diparingi putro". Oke, ini kisah yang amazing sebenarnya. Tapi aku mesti buru-buru.

Maka sambil tersenyum, kuangsurkan uang pas, dan lantas berpamitan.

Dalam perjalanan aku mulai berhitung. Usia 38 hamil. Kira-kira saja di usia 39 baru melahirkan. Anaknya kelas tiga MTS; biasanya usia 7 tahun masuk SD, menempuh enam tahun masa studi jadi usia lulusnya 13 tahun, lalu MTS selama 3 tahun. Tambah-tambah tambah, kira kira sekarang usia perempuan itu 55 tahun.

Lah kok sudah sesepuh itu ya fisiknya? Sudah seperti usia kepala 6. Atau jangan-jangan aku salah denger, bahwa sebenarnya dia diberi momongan di usia 48? Soalnya aku terkejut sekali waktu itu. Tapi usia 48, itu amazing banget kalau masih produkti dan belum menopause.

Ah, apa sih bagi Gusti Allah yang tidak mungkin.

Tulisan Terkait

0 komentar

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....