Skip to main content

Perempuan Penjual Bensin dan Kehamilan di Usia yang Tak Muda

Usianya sekira 60an tahun. Amat lembut, santun, khas betul perempuan Jogja masa lalu. Eh bukan, mungkin juga bukan kerna ia perempuan Jogja lantas harus berperawakan lemah lembut, bukan? Kukira, ini hanya persoalan kesadaran pada usia. Semakin tua, seseorang barangkali memang semakin tenang dan matang.


Ya, perempuan itu. Setiap aku berhenti di depan rumahnya untuk membeli bensin, ia akan buru-buru keluar dengan langkah yang sudah tidak lincah. Tertatih-tatih, mengesani usianya yang bukan muda lagi.

Rumahnya masih berdinding bambu. Mencolok sekali. Rumah bambu di antara bangunan-bangunan modern yang kian tumbuh, jelas membuatnya mudah diingat. Tapi sebambu-bambunya rumah itu, ia tentu tetap lebih kaya dari aku. Ya, aku suka berpikir bahwa setiap orang yang memiliki rumah di tanah kota pastilah ia seseorang yang mampu. Mampu mencari uang untuk membeli tanah mahal di kota. Kan tahu sendiri, berapa harga tanah zaman sekarang? ‪#‎EhCurhat‬

Beberapa bulan lalu, baru kusadari jika rumahnya sudah berubah. Bukan lagi berdinding bambu, melainkan menyusul sebelah-sebelahnya yang juga bergaya semi modern.

"Mungkinkah rumahnya itu dibangunkan oleh anak-anaknya?" Pikirku, yang berprasangka bahwa di usia 60-an tahun seseorang tidak lagi memikirkan soal sandang dan papan.

Hari kemarin, aku sangat terburu-buru untuk pergi. Namun, saat melajukan Miola kulihat bensinnya sangat tipis. Dalam perjalanan, aku menimbang-nimbang; di tempat manakah sebaiknya aku berhenti membeli bensin? Kerna ke pom jelas tidak memungkinkan. Maka aku memiliki empat batasan.

Pertimbangan pertama, penjualnya harus bukan orang yang kukenal. Pasti bakalan lama ditanya ini itu mau kemana kalau sudah langganan. Dua, bukan penjual yang harus lebih dulu menakar bensinnya dalam derijen. Ribet dan lama. Tiga, aku malas menyebrang jalan, jadi sebaiknya memilih tempat jual bensin yang ada di sebelah kiri. Keempat, penjualnya ramah dan agamis. Penting sekali penjual agamis, biar tidak diakal-akali harga dan literan yang kelewat banyak dikurangi. Empat batasan itu ternyata membuatku berhenti di halaman rumah ibu tadi.

Aku membunyikan klakson sebagai tanda akan membeli bensin. Namun ibu tadi tidak buru-buru keluar seperti biasanya. Lalu kubunyikan lagi, menunggu sesaat, hingga terdengar suara laki-laki dewasa dari dalam rumah "Kae wong tuku"

Sekarang aku melihat perempuan itu tertatih-tatih keluar, menghampiriku. "Ngersake pinten Mbak?"

Satu jawabku.

"Niki lagi ujian dados mboten enten sing mbantu", katanya sambil menuang bensin ke dalam tangki Miola. "Pun kelas tigo, dados sibuk belajar" lanjutnya. Awalnya aku cuma senyum. Tidak tahu siapa dan apa yang sedang dikomentarinya.

Aku bertanya memang sekolah di mana? "MTS, kelas tigo. Lagi ujian sekolah." jawabnya.

Lah ujian nasionalnya itu kapan? Aku kembali basa basi dengan bahasa Jawa. "Duko. Kulo nggih mboten ngertos niku," jawabnya dengan ekspresi menyesal. Mendengar itu aku pun jadi ikut menyesal, kenapa pula harus basa basi. Aku sendiri tidak tahu kapan adikku ujian nasional. Adikku juga sudah kelas tiga SMP.

"Wingi malah kegasruk. Samparane dijahit ping 7. Teng mriko niku Mbak" Ia menceritakan kejadian kecelakaan sambil menunjuk lokasi di sebelah rumahnya.

Cucu nggih Bu? Berapa yang ikut di sini? "Sanes, Mbak. Putro kulo" jawabnya dengan lemah lembut.

Wow, setua dia masih punya bungsu kelas tiga SMP? Keren.

"Namung setunggal niku putro kulo, Mbak" Hah? Anak tunggal seusia kelas tiga esempe? Jadi sekarang usia ibu ini berapa ya? Waktu hamil anak pertama usia berapa? Bagaimana kehidupannya di masa lalu. Aih, aku speechless. Mematung, tak bicara. Aku bahkan tidak ingat kalau sedang buru-buru pergi.

"Kulo diparingi kepercayaan pun sepuh Mbak. 38 nembe diparingi putro". Oke, ini kisah yang amazing sebenarnya. Tapi aku mesti buru-buru.

Maka sambil tersenyum, kuangsurkan uang pas, dan lantas berpamitan.

Dalam perjalanan aku mulai berhitung. Usia 38 hamil. Kira-kira saja di usia 39 baru melahirkan. Anaknya kelas tiga MTS; biasanya usia 7 tahun masuk SD, menempuh enam tahun masa studi jadi usia lulusnya 13 tahun, lalu MTS selama 3 tahun. Tambah-tambah tambah, kira kira sekarang usia perempuan itu 55 tahun.

Lah kok sudah sesepuh itu ya fisiknya? Sudah seperti usia kepala 6. Atau jangan-jangan aku salah denger, bahwa sebenarnya dia diberi momongan di usia 48? Soalnya aku terkejut sekali waktu itu. Tapi usia 48, itu amazing banget kalau masih produkti dan belum menopause.

Ah, apa sih bagi Gusti Allah yang tidak mungkin.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil