Skip to main content

Tiga Cara Membuat Outline (Buku)

Hampir setiap bulan saya membuat outline buku. Menyusun bab demi bab, lalu mengirimkannya kepada pimpinan redaksi untuk dipertimbangkan. Dari pengalaman berbulan-bulan itu, setidaknya ada tiga cara yang pernah saya lakukan.





Cara Pertama : 
  • Outline disusun serupa daftar isi. 
  • Pemberian judul bab per bab masih buruk. Masih sebatas ide-ide yang disusun semau saya. Satu dua kata kadang masih ambigu, dan tentu saja yang bisa memahami isi outline ini hanya saya. Sebab, bentuknya masih serupa catatan pengingat si penulis. 
  • Saya mengirimkan outline model begini biasanya ketika diorder nulis oleh penerbit yang memang benar-benar editornya sudah dekat. Jadi, akan ada penjelasan lisan ataupun keterangan-keterangan yang tidak formal untuk memperjelas maksud dari outline tersebut. 
  • Pesan: Jangan kamu lakukan model pembuatan outline pertama ini jika jalur yang ditempuh adalah pengajuan outline ke penerbit secara reguler. Karena ketika kamu mengirimkan outline seperti ini, pasti banyak ditolaknya. Kenapa? Coba renungkan, bagaimana seorang editor akan meng-ACC outline tersebut jika tampilannya saja sudah tidak menarik. Pun editor yang mengakuisisi bisa saja gagal memahami apa yang akan kamu tulis. 

Cara Kedua : 
  • Outline disusun serupa daftar isi.
  • Gagasan-gagasan yang ada sudah diolah dalam diksi yang tepat sehingga tercipta judul bab yang menarik. 
  • Bab per bab tersebut masih berupa judul yang menarik saja, tidak disertai penjelasan untuk memperjelas apa yang akan saya tulis. 
  • Kelemahan model ini adalah akan menimbulkan perbedaan persepsi antara editor dengan penulis. Maksudnya, karena tidak ada penjelasan yang detail, maka editor bisa kepleset memahami maksud kita. 
  • Kelemahan lainnya, yakni ada saat di mana ingatan kita yang terbatas ini tidak sanggup mengingat apa yang akan ditulis nanti. Meskipun judul cantik tadi sudah tertulis sebagai judul. 

Cara Ketiga
  • Outline disusun serupa daftar isi. 
  • Gagasan diolah dengan diksi yang tepat untuk dijadikan judul bab yang menarik. Kemudian disertai dengan penjelasan yang detail. 
  • Bagi penulis, model ini sebenarnya menguntungkan karena membuat lebih fokus pada apa yang akan ditulis. Selain itu, juga lebih mudah dipahami editor dan menarik perhatiannya. Apalagi kalau niatnya untuk diajukan ke penerbit secara reguler, atau diikutkan lomba. Jadi, pilihlah model ini. Hanya saja, jika saya diorder penerbit untuk membikin outline sesegera mungkin, cara ini tidak dilakukan karena ribet hahaha. 
Gitu aja deh, curhat kali ini. 

Comments

  1. Eh, poin satu, dua, tiga kok sama ya? hanya keterangannya yang berbeda; Atau saya yang salah baca?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sama Mbak, karena itu bukan judul tekniknya. Tapi langkah awalnya atau model fisiknya hahaha. Sudah saya edit biar lebih mudah dipahami.

      Delete
  2. saya ingin bisa menulis buku. langkah awalnya buat outline. nice tips,terima kasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil