Skip to main content

Kematian yang Begitu Dekat

Bagiku, sarapan sebelum berangkat kerja itu menyenangkan. Seperti pagi tadi, menu sarapan kami adalah rempelo ati, tempe dan bergedel kentang. 



"Hati itu sumbernya racun kan Mbak, penyaring racun. Kalau nggak karena darah rendah, aku ogah makan rempelo ati" Itu kata temenku. Aku geli mendengarnya.

"Ow, jadi, mereka ndak perlu dong yah mengambil hatimu buat jadi pacar. Hatimu kan beracun, kenapa nggak ambil aja jantungmu, bisa mati dong yah" Glek. Sungguh. Ini kalimat bercanda yang ngeri bagiku, sebelum akhirnya aku menyesal sampai hati. Sepagi ini membicarakan kematian di meja makan itu seperti menyusun penyesalan dan rasa cemas. 

Setelah selesai makan. Kami berpisah di depan warung. Menaiki motor masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Aku merasa perjalananku menuju kantor jadi sangat aneh. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi, sampai di lampu merah simpang empat Condong Catur, pikiran buruk itu menjelma derit rem, klakson yang menghentak-hentak di belakangku. Di sampingku Trans Jogja berebut jalan. Aku masih sempat melihat spion sambil menancap gas lebih kencang. Ah, aku selamat. Meski aku melihat tak seorangpun secemas aku. 

Lalu, aku melanjutkan perjalanan dengan hati gamang. Melewati JIH. Melewati ring road depan UPN. Aku melihat orang-orang berkerumun dengan perasaan yang mungkin sama. Takut, cemas dan penasaran. Aku melihat sekilas ke arah mereka sebelum tukang parkir itu menyuruhku lekas maju supaya lalu lintas kembali normal. Sebuah mobil yang remuk menabrak pembatas jalan. Serpihan kaca, helm dan puing-puing lainnya masih berserakan di sepanjang jalan itu. 

Di simpang empat berikutnya aku kembali bertemu dengan temanku.
"Lemes lihat kecelakaan tadi, Mbak" katanya. 
"Emang gimana sih ceritanya?" Aku melihat lampu apil masih merah.
"Kayaknya sih, tabrakan. Dua mobil dan motor juga" jelasnya. Ah masa iya? Jalanan untuk motor dan mobil kan dipisah? Ah, tapi ndak ada yang mustahil, kan? Ketidaktertiban kadang emang bikin musibah. Ada yang tau cerita lengkapnya?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil