Skip to main content

Mengambil Hak Orang Lain? Hello!! Saya Cuma Wayang, Situ Dalangnya

Seperti biasa, setiap pembelian karcis kereta api, haruslah ngisi formulir terlebih dahulu. Yup, begitupun yang kulakukan. Kuisi nama lengkap, no Id, alamat rumah, nama kereta, tujuan, tanggal keberangkatan lengkap dengan nomor hape.

Tujuanku adalah Cipari (Salah satu kecamatan kecil di Cilacap) naiknya dari Lempuyangan. Nah, tentu saja biasanya di karcis akan tertulis dari Lempuyangan ke Tasikmalaya. Karena Cipari stasiun kecil. Tapi, akhir-akhir ini aku beli karcis dengan tujuan yang sama akan tertulis, Lempuyangan ke Kiara Condong atau Kiara Condong ke Lempuyangan ketika beli karcis yang pulang pergi.

Oke, kupikir ada peraturan baru. Toh harga tetep sama. 35 ribu rupiah kelas ekonomi. Kewajibanku hanyalah mengisi formulir dengan benar dan memanjakan kebodohanku dengan ogah bertanya. Tapi, di stasiun Cipari menjadi lain cerita.

"Kok, karcisnya dari Kiara Condong, Mbak? Berarti dari Kiara Condong ke sini bangku Sampeyan kosong dong? Harusnya Cipari-Lempuyangan ajah, Mbak. Tau nggak, Mbak sudah MENGAMBIL JATAH ORANG LAIN untuk bisa naik kereta api" Gludak.

"Mana saya tahu, Pak. Saya isi formulirnya ya Cipari. Nah kalau dikasihnya Kiara Condong, saya sih oke-oke aja. Kemarin juga begitu, Lempuyangan-Kiara Condong. Saya sih oke oke aja. Asal nggak dikasihnya sampai Kebumen, bisa turun di jalan dong saya" jelasku. Bete kali ya, pemeriksa karcisnya.

"Mbaknya tuh harusnya tanya" Idih ni, Bapak. Kenapa saya yang kudu tanya? Kan situ yang seprofesi di KA. Bisa aja kan petugas loket di Lempuyangan tuh nggak tau di mana Cipari, males cari, makanya langsung dikasih Kiara Condong. Beres dan Cepet (Petugas Juga Males Ribet Man). Atau, sekarang kan zamane komputer, dataku bisa aja dientri ke internet. Jadi bisa dilacak di mana ajah. Jadi semua petugas bisa tahu, kalau tiketku cuma sampai Cipari, meski di karcis tertulis Kiara Condong.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Resep Membunuh Jamur di Lemari Serbuk Kayu

Pernah nggak sih mengalami perasaan jijik yang iyehhh banget pas melihat lemari pakaianmu dipenuhi jamur? Saya pernah.  Baru beberapa bulan dibeli, lemari kayu saya sudah dipenuhi jamur. Antara jijik, jengkel, ada juga rasa menyesal karena nggak percaya sama suami sendiri. Coba nggak beli lemari serbuk kayu, kejadiannya pasti nggak bakal kayak gini.  "Salahnya Adik sih, nggak mau dengerin pendapat Mas" begitu kata suami.  Dia memang sempat nggak setuju saya beli lemari kayu di toko furniture. Penginnya dia, kami mendesain lemari sendiri, lalu membawa desain tersebut ke tukang kayu. Selain bakal awet, kan desainnya sesuai dengan keinginan hati. Tapi saya menolak. Ribet dan lama jawab saya waktu itu. (Sebenernya, kalau tahu bakal berjamur begini, sumpah deh, saya mendingan ribet di awal tapi nggak repot di kemudian hari). Tapi kan semuanya sudah telanjur.  Nggak mungkin juga, kejadian beberapa bulan lalu bisa dicancel. Pada akhirnya, SEKARANG kami tetap har

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil