Skip to main content

RIP, Makde Barku

Saudara kandung satu-satunya Bapak, meninggal hari ini. Makde Barku yang paling baik. Semoga amal baiknya dilipatgandakan oleh Allah untuk mempermudah jalan menuju surga. Amiiin. 

Mendengar Makde berpulang pada tanggal 5 Maret 2015 pukul 09.00 WIB, aku tidak bisa menahan tangisku yang begitu saja tumpah ketika menelepon Bapak. Ah, Bapak. Aku pun tidak sanggup membayangkan perasaanmu menghadapi ini. Satu kehilangan lagi, dari sekian kehilangan yang menimpa hidupmu selama ini. Semoga Bapak selalu diberi kesehatan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama kami dalam waktu yang lama. Ya, Bapak. Aku mencintaimu. 

Bapak ditinggalkan ayahnya sejak masih dalam kandungan. Tiga tahun lalu, Mbah Surip, ibunya pun meninggalkan Bapak, setelah lebih dulu kakak dan adiknya meninggal dunia. Dari lima bersaudara, sekarang tinggal Bapak seorang diri. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Bapak. Tapi, satu kehilangan saja mungkin aku tidak akan sanggup. 

Dan, jauh sebelum hari ini tiba. Aku telah memiliki niatan untuk pulang ke kampung halaman di bulan Maret. Ya bulan Maret tahun ini. Niatnya aku akan cuti bekerja untuk beberapa bulan, dan menggarap sebuah buku tentang keluarga Bapak. Mengingat usia tidak pernah berkurang, dan silsilah keluarga semakin menghilang, aku berniat mencatatnya dalam sebuah novel selagi masih ada narasumber-narasumber yang bisa kutanyai. Ini adalah permintaan almarhum Lik Ipung, adik Bapak. 

Namun, pada bulan Maret ini, ternyata niat kepulanganku harus diubah. Ada hal yang lebih penting yang harus kukejar demi masa depan keluargaku sendiri. Meski kerinduan pada rumah telah nyampai di ubun-ubun, aku tidak bisa apa-apa. Waktu dan keadaan membuatku harus tetap berada di balik layar monitor untuk mengejar deadline-deadline menulis. 

Sampai kemarin malam, dadaku masih terasa begitu panas mengingat rindu yang membuncah-buncah. Aku telepon Mama dan Bapak, dan kemudian hatiku tenang. Namun di puncak malam aku kembali sesenggukan seorang diri. Aku SMS Mas Ipur, anak tunggalnya Makde Bar. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin say hai ke Mas Ipur. Tapi tidak ada balasan. Bahkan terkirim pun tidak. 

Karena rindu yang begitu dalam. Aku bertemu dengan Mbah Surip dalam sebuah mimpi. Ada banyak sanak saudara jauh Bapak yang berkumpul. Tapi tidak ada Bapak. Aku hanya dapat melihat begitu berseri-serinya Mbah Surip dalam mimpiku. 

Saat aku terbangun. Aku merasakan kekhawatiran yang aneh. Kenapa saudara Bapak berkumpul? Pertanda apakah mimpiku? Mungkinkah hal yang buruk akan terjadi seperti yang kami percayai ketika mimpi itu datang. Ah, aku tidak berniat membagi kecemasan ini dengan menceritakannya kepada Bapak. 

Namun, sore ini pertanyaan itu terjawab. Makde Bariah meninggal dunia. 
Ingin sekali rasanya aku pulang. Tapi tidak bisa. Sungguh-sungguh tidak bisa. Makde dikebumikan di Garut yang aku sendiri kemungkinan akan tersesat jika mengunjunginya. Kami menerima lelayu di sore hari, yang artinya jika ditekadkan berangkat akan sampai pada dini hari. Bagaimana kami di jalan? Bapak sendiri tidak memberi izin karena mengkhawatirkan kami di jalan. Sedangkan Bapak dan saudara saudara lain telah berangkat selepas ashar dari Cilacap. Akhirnya, demi Bapak kuputuskan untuk menurutinya. Aku tidak ingin memberi beban baru di pundak Bapak dengan rasa khawatir. Ya, Allah, semoga Makde Kau tempatkan di sisiMu yang terbaik. 

Makde, Tikah yakin sekarang Makde telah bahagia setelah bertemu dengan Mbah Surip dan saudara-saudaramu semua di surga. Semalam Mbah Surip saja begitu semringah mengetahui engkau akan datang. Terima kasih Makde telah begitu baik kepada Bapak dan kami semua. Terima kasih Makde. 

Semoga Pakde Ikin, Maya, Mas Ipur, dan Bapak diberi ketabahan yang lebih untuk kehilangan yang berat ini. Alfatikhah. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil