Skip to main content

Burung-burung dari Negeri Dongeng #2

Kepergianmu seperti ranting patah tepat ketika aku sedang bersandar. Begitu tiba-tibanya, sehingga siapapun akan sangat wajar jika tersentak. Bagaimana tidak tersentak, jika aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk jatuh ketika kamu patah. 

Ya, kamu patah. Akhirnya kamu menyerah.
Satu-satunya alasan kamu menyerah adalah aku yang membebanimu terlalu berat. (Meskipun pada waktu-waktu tertentu, aku memikirkan alasan lain. Bahwa mungkin saja, kamu merasa harus patah supaya tak lagi mampu menemuiku. Bukankah dengan begitu, tak akan ada lagi seseorang yang hatinya patah karena kita. Benarkah seperti itu?). 

"Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu.
"Aku juga."
"Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku"
"Aku juga"
"Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku"
"Ya. Terserah kamu"

Aku benar-benar tidak peduli kamu pergi. Seperti terjatuh dari ranting patah, aku hanya tersentak sedikit, lalu tertawa geli, meninggalkan patahanmu begitu saja dan mencari ranting lain untuk bersandar. Harusnya semudah itu. Iya, harusnya semudah itu melupakanmu. Tapi, emm ... karena kita mengakhirinya dengan cara yang berbeda, aku merasa tidak biasa. (Bagiku, ini terlalu aneh untuk akhir sebuah pertemanan. Bukankah, tanpa penegasan segala rupa itu, toh dengan sendirinya kita pun akan berakhir karena jarak dan waktu?) 

Tapi karena dialog sialan yang kita buat itu, ini semua menjadi tidak alami untuk dilupakan. Kita menegaskan diri harus berpisah, sama halnya menggaris batasan untuk sesuatu yang diada-adakan. Semacam drama. Batasan itu dipenuhi aliran listrik supaya satu diantara kita tidak ada yang melanggar. Dan sialnya, tiap kali seseorang membicarakan kamu, dadaku terasa disengat aliran listrik. (Bahwa aku tidak boleh mengkhawatirkanmu, menghubungimu, menyapamu, menganggap mengenalmu, memiliki kenangan tentangmu. Ah, kamu benar-benar sialan. Seharusnya aku membencimu karena telah membuat dadaku berubah penuh ketika mengingatmu.)

"Aku sangat terganggu dengan suara-suara mendesah di balik kamarku", katamu. Ya, akhirnya kamu menghubungiku setelah lama menghilang.

Waktu itu menjelang subuh. Handphonemu memang tidak selalu available. Hanya sesekali menyala, karena (mungkin) terlalu takut diketahui seseorang. 

Aku tidak benar-benar tahu, apa yang telah kamu alami setelah kita memiliki jarak. Tapi, ketika kamu tiba-tiba menghubungiku dengan obrolan 'panas', aku merasa begitu asing. Itu bukan kamu milikku. Bukan kamu. (Dan kamu terus mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkanku, sampai akhirnya aku menolak)

Salahkah aku mengabaikanmu? Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku diperlakukan seperti itu? (Karena aku menolak, kamu lagi lagi mengatakan bahwa aku tidak pernah ada saat kamu membutuhkanku. Ah, taik kucing!)

Meski obrolan itu melobangi dadaku, tapi toh aku tetap menghubungimu di hari berikutnya. Aku kembali bersandar padamu atas kegelisahan lain tentang diriku. Tentang study-ku yang hampir usai. Kecemasanku. Kegelisahanku untuk menempuhnya. Dan ... tiba-tiba saja dengan frontalnya kamu berkata untuk tidak lagi bersandar kepadamu. "Memangnya pacarmu kemana? Kenapa harus selalu bersandar kepadaku?" Begitu katamu. 

Lalu aku harus menjawab apa? Empat tahun lamanya semua ini tidak menjadi masalah. Kenapa akhirnya kamu mempermasalahkannya? Inikah waktu yang tepat bagimu? Saat dadaku berlobang, kamu patahkan sekalian. Benarkah ini bukan skenario? 

"Berhenti bersandar kepadaku"
"Oke"
.....................
"Aku tidak akan menghubungimu lagi" katamu.
"Aku juga."
"Aku akan menghapus nomermu dari handphoneku"
"Aku juga"
"Aku akan mendelet akunmu dari sosmedku"
"Ya. Terserah kamu"

Silakan kau hapus nomerku, kau hapus sosmedku, hapuslah semaumu, hapuslah segala-galanya tentangku.Hapuslah. Tapi benarkah kau mampu?

*Di lain hari, seseorang bertanya padaku bahwa kita (katamu) telah benar-benar berakhir.(Menurut versimu, kesalahan ada di pihakku). Tapi benarkah? Benarkah ini bukan skenario?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil