Skip to main content

Haruskah Kita Patuh pada 'Arsip Memori'?

Di post sebelum ini, saya menulis tentang apa itu arsip memori. Jadi, saya temukan istilah ini dari bukunya Dr. Ibrahim Elfiky, di mana dijelaskannya bahwa otak kita sebenarnya mempunyai folder-folder memori. Folder tersebut bertugas untuk mengarsip setiap perasaan yang kita alami. Jika pengalaman itu berulang terus menerus, maka folder tersebut akan semakin kuat menjadi kebiasaan. 

Contoh sederhana misalnya ketika kita sedih, biasanya akan sembuh ketika menonton film. Aktivitas itu kita ulang berkali-kali. Sedih --> nonton film --> sembuh. Putaran aktivitas tersebut pada akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Otak kita seperti memprogram kita untuk sembuh dari kesedihan hanya jika menonton film. 

Cerita kali ini adalah tentang suami saya. 
Ya, suami saya adalah tipe lelaki yang mudah sekali meledak. Hal-hal sepele sekalipun akan sangat mudah memantik kemarahannya. Sejak kami pacaran, dia kerap bersuara tinggi ketika marah. Program otaknya barangkali memang sudah seperti itu. Menerima pemantik, tersulut, lalu marah dengan suara tinggi. Dia bilang, dia tidak akan bisa berubah. Yap, padahal seseorang yang menolak perubahan adalah tipe kepribadian negatif. Namu, meski begitu saya tetap menerima sisi gelapnya ini dengan lapang dada karena saya sangat mencintainya. Bertahun-tahun hidup dengan dia, tentu saja saya memiliki peredamnya sendiri. (Hussst, jangan pengin tahu. Itu rahasia ya)

Soal kebiasaannya yang marah untuk hal-hal sepele, saya sudah sangat hafal. Misalnya, saya berkata "Mas tadi dicari Hina?".  Kerna perkataan saya keliru maka dengan suara lantangnya dia akan bilang "Hina??? Hilna maksudmu!!!" (Pakai L Tik, pakai L). Saya kerap membatin, biasa aja kali Mas. Tapi begitulah dia. (Mungkin suatu hari, saya akan memberi tamparan pada program otaknya, sehingga hal sepele seperti ini tidak akan membuatnya 'Mbengok'). 

Soalnya kebiasaan mbengoknya ini sangat mengerikan. Memang sih, dia mbengok karena saya keliru, dan dia yang mudah marah. Tapi kan nggak harus sebegitu juga. 

Karena kebiasaan tersebut, saya menjadi ketakutan untuk menjadi salah di depan dia. Maka, suatu hari kami membacakan sebuah naskah drama di radio. Tidak ada latihan. Kami hanya membacanya sekilas. Dalam naskah ada dialog seperti ini, " ...jika hasan jamin akan mati terkena influinza hongkong?" itu dialog saya yang kemudian ditabrak oleh dialog suami yang berteriak "yamin ... yamin ...!!" bentaknya yang kemudian secara reflek saya menyahutnya kembali dengan kata "Iya yamin". Padahal dialog terakhir itu tidak ada dalam naskah. Tapi otak saya seperti terprogram untuk melakukan itu. Suami saya mbengok, artinya saya keliru dan dia marah. Makanya, saya kira, saya salah baca naskah dan kemudian suami memperbaikinya dengan bilang "yamin ... yamin" (bukan jamin). Eh, ternyata dialognya memang seperti itu. 

Kejadian yang masih saya ingat juga terjadi ketika kami sedang sarapan. Karena tidak ada yang memulai bicara, saya basi basi bertanya "Besok Mas ngisi acara di BPAD ya" tanya saya. Sumpah, ini cuma basa basi nggak penting. Karena jawabannya sudah saya ketahui. Tapi suami malah mbengok "BPKB!!!!" (Bukan BPAD). Ya, ampun! Biasa aja kali Mas. 

Saya seringkali basa basi nggak penting malah menimbulkan sakit hati. Tapi ya mau bagaimana, toh lain hari pasti akan saya ulangi lagi. 

Sampai kemarin hari, arsip memori tentang bengokan suami ternyata mengacaukan segalanya. Cerita ini dimulai ketika ia mengabarkan akan ada jadwal jadi pembicara di tanggal 12 dan 13. Karena acara tersebut sangat penting, dia meminta saya mengingatkan. Tentu saja, harus saya yang mengingatkan karena dia tipikal pelupa akut. Apalagi acaranya pagi hari. Jadi, tugas saya adalah mengingatkan dan membangunkan dia sepagi mungkin. Saya seperti alarm. 

Maka, sehari sebelum tanggal 12, saya basa basi bertanya "Acaranya Mas besok kan?" tanpa aiu suami malah lantang menjawab "tanggal 12!!!". Mendengar bengokan itu, otak saya langsung membuka file andalan bahwa artinya saya keliru dan dia marah. Padahal, besok dan tanggal 12 itu waktu yang sama. Tapi karena bengokan itulah, saya jadi berpikir ulang bahwa besok bukanlah tanggal 12, melainkan tanggal 11. Yap, catat, besok itu bukan tanggal 12. Wajar suami mbengok seperti biasanya, karena saya memang salah. 

Pagi hari di tanggal 12, saya membangunkan suami di waktu subuh. Setelah itu kami tidur kembali karena merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan pagi hari. Pada pukul 10.00, suami ke kamar mandi dan membuka handphone. Halah dalahhhhhhh, dia teriaaak histeris. "Ya Alllllllloooooooh Deeeek!", saya yang masih di atas kasur langsung loncat dan berlari ke ruang tamu. "Adaaa apa e!", jawab saya panik luar biasa. 

"Acaranya ki dino iki!! Aku telaaaat. Wis diteleponi dari pagi"
"LHO SEKARANG KAN TANGGAL 11" saya masih bersikeras ngeyel. Sampai kemudian saya melihat kalender. Iya, hari ini adalah tanggal 12. Suami seharusnya menjadi pembicara pukul 08.00. Saya menyesal sekali karena patuh pada arsip memori sialan tersebut. Kalau saya tidak patuh, pasti saya akan mengecek kalender dan memastikan bahwa hari ini adalah tanggal 12, bukannya tanggal 11. 

Huffft! Lalu siapa sebenarnya yang salah?
Suami terus saja menyalahkan saya, karena telah menjadi alarm yang buruk. Dan, saya juga menyalahkan dia kenapa harus mbengok seperti biasanya. 

Jadi, haruskah kita patuh pada arsip memori?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil