Skip to main content

Aku Homesick, Tolong Jangan Katakan 5 Kalimat Ini

Siksaan bagi seorang perantau adalah ketika mengalami perasaan homesick tapi tak bisa mudik. Serius deh menyiksa banget, kan? Kamu pernah mengalami? 

Kalau aku sih sudah langganan. Sejak merantau ke Jogja aku kerap dikoyak rasa kangen dan kesepian luar biasa tiap ingat rumah. Pengin mudik, tapi skripsi belum kelar. Mau mudik, tapi malas ditanya kapan kawin. Berani mudik, eh lah gajian malah keburu habis buat bayar utang. 

Beruntunglah sekarang sudah lulus dan punya partner hidup yang sah. Tapi apakah itu membuatku jadi sering mudik? No! Setelah menikah, untuk mudik ternyata justru butuh pertimbangan ini itu. Pasti enggak cuma aku kan yang mengalami? 

Mungkin biaya perjalanan sudah siap, tapi libur kerjanya tak bisa bersamaan. Mau mudik sendiri takut dilanda kangen sama partner. Alasan klise yang selalu bikin kita nyesek, lalu mojok di sudut kamar sambil ngabisin tisu. 

Namun sebenarnya, selain tak bisa mudik, banyak orang merasa lebih sedih saat homesick adalah ketika pasangan mengucapkan 5 kalimat berikut:


via cosmopolitan.co.id


"Rumahmu jauh sih...."
Sebelum kawin, jarak seperti tak jadi soal untuk menyatukan dua hati. Kenapa sekarang bilangnya begitu? Apakah rumah pasanganmu sudah pindah? Alih-alih menenangkan, malah menyalahkan jarak. 

"Ngapain mudik sih, emang ada apa di kampungmu?"
Nyebelin banget enggak sih, kalau lagi homesick malah dituntut harus punya alasan. Ingat dong setiap orang itu memiliki historinya sendiri-sendiri. Termasuk pasanganmu. Histori itu mungkin tidak penting buat kamu, tapi bagi dia bisa saja menjadi sangat berarti. Bukan mustahil kan, kalau keinginannya mudik lantaran di sana tertinggal kenangan masa kecilnya yang indah. Kamu bilang ngapain mudik? Emang kangen aja enggak cukup ya buat jadi alasan? Emang harus ada apa-apanya dulu?

"Aku bingung mau ngapain di sana"
Banyak orang mengalami perasaan asing di tempat mertua. Hasilnya kemudian menjadi salah tingkah karena bingung harus berbuat apa. Tapi kebingungan itu adalah urusanmu sendiri. Bukan masalah pasanganmu. Karena bisa saja kan, pasanganmu juga mengalami hal serupa jika berada di rumah keluargamu. Jadi urusanmu, selesaikanlah sendiri. Tak perlu mengucapkan kalimat itu yang pada akhirnya justru membebani pasanganmu. Ketika terbebani, homesick yang ingin diobati dengan mudik jadi enggak asyik tahu. 

"Pulang ke kampungmu itu mahal"
Setiap orang juga tahu bahwa kangen itu obatnya kadang bisa sangat mahal. Bisa tidak cukup dengan telepon. Tidak cukup dengan memandangi potret usang masa kecil. Tidak cukup! Tidak cukup! Aku homesick. Aku butuh mudik. Kalau emang mahal, terus kita tak harus mudik ke kampungku begitu? Plis deh jangan katakan kalimat ini ke dia. Karena kesannya kamu keberatan sekali mengeluarkan uang untuk kebahagiaannya. Seakan-akan pulang ke kampung pasanganmu adalah sebuah beban yang kemudian membuatmu jatuh miskin. Padahal, kadang si dia hanya butuh diajak bicara, diajak berusaha bersama. Dia lebih paham kali biaya untuk pulang ke kampungnya. 

"Males ah pulang ke sana"
Mungkin alasanmu banyak untuk tidak memenuhi ajakan pasanganmu mudik. Bisa karena deadline kerjaan, biaya perjalanan, hubungan keluarga yang tidak akrab, bingung mau ngapain, sampai hal remeh temeh lainnya. Tapi jangan sampai kamu mengatakan ini ke partner loh ya. Karena bisa aja suatu hari malah jadi bumerang buat kamu. Coba deh rasakan kalau di kemudian hari dia membalasmu dengan kalimatmu sendiri. Sakit enggak kalau keluargamu ternyata membuatnya malas untuk pulang kampung? So, stop katakan ini ya. 

Nah, demikianlah 5 pantangan yang sebaiknya tidak perlu kamu ucapkan ketika pasanganmu sedang homesick dan butuh mudik. Orang kangen itu bisa berbahaya loh Gaes. 

Eittt, tapi ada kalimat lain yang lebih nyakitin enggak sih, yang harus tak boleh diucapkan ke pasangan? Jangan-jangan yang lima ini cuma terlalu baper kwkwkw. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil